Netsains.Net- Sangat jarang fisikawan di Indonesia yang menguasai bidang
nanosciences dengan kekhususan nanomaterial. Bpk. Hendry Izaac
Elim, SSi., MSi., Ph.D. adalah salah satu diantaranya. Fisikawan kelahiran
Ambon, 22 Januari 1969 ini memiliki berjuta pengalaman riset bertaraf
Internasional. Salah satunya adalah riset pra-doctor, research Fellow (type B)
di Chemical and Biomolecular Engineering, National University of Singapore
(NUS), Singapore dibawah asuhan Prof. Lee Jim Yang, kemudian sebagai postdoctoral
di NUS, Singapore oleh asuhan Prof. Ji Wei di Jurusan Fisika, dan IMRAM
(Institute of Multidisciplinary Research for Advanced Materials), di
Universitas Tohoku University, Katahira, Aobaku, Sendai, Jepang, dengan
supervisor Prof. T. Kaino, Prof. T. Adschiri, dan Prof.Okihiro Sugihara.
Pengalaman sewaktu di NUS membuat Ia telah banyak meneliti berbagai sifat
nonlinear optics dari berbagai nanomaterials baru, baik itu material-material
super seperti Fullerene, Carbon nanoballs maupun Carbon Nanotubes, serta berbagai
material campuran atau modified nanomaterials dan polymers. Sewaktu Ia di
University of Tohoku, Ia hanya meneliti sifat-sifat linear optics yang
berkaitan dengan Rayleigh dan Mie scatterings dari nanohybrid materials seperti
TiO2-polimers.
Uniknya,
fisikawan pengagum Albert Einstein, Murray Gell-Mann, Richard Phillips Feynman
dan Steven Tong, ini mengaku belum punya cita-cita pasti sejak kecil. Meskipun
demikian, ia mengakui kalau masa kecilnya teramat bahagia.
“Masa kecil saya sangat bahagia. Saat kecil, saya suka bermain main layang-layang, pernah berenang di sungai, mendaki gunung, bermain kelereng, gasing, petak umpet, bermain kartu domino, dsb. Saat remaja barulah saya aktif dengan mengikuti persekutuan Kristen remaja.”
Memang
tak banyak yang tahu, kalau ilmuwan penyuka buku berbobot dan hobi mendengarkan
musik (pop, jazz, slow-rock, classic) ini lancar membaca saat kelas 1
SD. Dengan rendah hati, ia mengakui bahwa saat itu diajari bapak kok nggak
bisa-bisa. Bahkan hingga dimarahi bapak. Namun setelah melihat guru mengajar
malah jadi bisa sendiri. Saat SD, Hendry mengakui paling menyukai pelajaran
matematika. Ia mulai suka pelajaran fisika setelah SMP. “Ya, mulai SMP dan SMA
saya punya kelompok belajar dan belajar fisika bersama teman-teman, tanpa guru.”
tutur Hendry.
Pengalaman
SMA adalah yang paling berkesan. Hendry menjelaskan sewaktu kelas 3 di SMA 1
Ambon, ada teman yang suka bisnis. Nah, ia berlangganan nilai 100 karena sudah
mendapatkan soal sekaligus penjelasannya dari teman.
Memasuki
dunia perkuliahan, Hendry bercerita kalau dirinya pernah merasakan kuliah
selama 1 tahun di fakultas pertanian (hama dan penyakit tumbuhan) Universitas
Pattimura, Ambon melalui jalur PMDK.
Nah,
saat inilah, fisikawan yang punya semboyan “bergantung pada Kasih (LOVE) Tuhan”
ini merasakan kerasnya perjuangan hidup. Hendry bercerita saat itu papa sudah
tidak bekerja dan ibu berjualan barang-barang kelontong (seperti: jam tangan,
sandal, sepatu, baju anak-anak dan dewasa), sementara adik-adiknya berjumlah
lima orang. Di keluarganya, Hendry anak tertua. Ia enam bersaudara.
Beruntunglah
saat itu ada CIDA (Canadian International Development Agency). CIDA
adalah bentuk kerjasama antara pemerintah Canada dengan pemerintah Indonesia
bagian timur, terutama dengan beragam universitas, seperti: Pattimura,
Cendrawasih, Sam Ratulangi, dan beberapa universitas di Kendari. CIDA ingin
mendirikan fakultas MIPA di universitas-universitas tersebut. Nah, yang pertama
kali mengadakan kerjasama adalah universitas Pattimura.
“Waktu
itu, puji Tuhan, IP saya tertinggi, sehingga dosen Fisika saya merekomendasikan
untuk melanjutkan studi Fisika di Fakultas MIPA UGM. Sehingga mulai tahun 1989,
saya mulai belajar fisika di UGM.
Lalu,
apa sih yang membuat Hendry tertarik pada fisika? “Sebenarnya saya suka pada
pelajaran fisika matematika. “Ceritanya begini, ketertarikan saya bermula dari
saat mempelajari Pengantar Fisika Matematika, lalu berkembang menjadi fisika
matematika 1-4 yang dipelajari dari semester 3 hingga 7.”
Kecintaan
itu berlanjut pada mata kuliah kalkulus 2. “Dosennya saat itu, (kalau nggak
salah) bernama Sri Wahyuni atau Sriningsih, emmm saya agak lupa…. Tapi yang
pasti, lumayan cantik sih, he he he….”
Kecintaan
Hendry pada dunia fisika tentunya berbeda dengan kisah cintanya pada Susanviani
Yapiawan, istrinya. Ia menuturkan kepada Netsains pertama kali bertemu istrinya
itu di ITB Bandung. Saat itu, ia sedang studi S2 fisika teori di ITB. Ia
bertemu istri di grup pipit English Programme saat mengisi bahasa
Inggris di radio Maestro pada September tahun 1997. Kalau ditanya hal apa yang
paling ia sukai dari sang Istri, ayah dari Deniel Ezekiel ini mengakui kalau ia
menyukai betisnya yang indah. Saat mengetahui bahwa bidadari pujaan hatinya itu
terampil bermain piano, maka rasa cintanya pun semakin bertambah.
Rahasia
Sukses
Pria
penggila film-film action buatan Hollywood ini menceritakan kalau
rajin dan suka baca buku yang berbobot adalah kiatnya untuk sukses.
“Saya
suka habiskan uang beasiswa saya untuk memfotokopi buku-buku textbooks luar negeri
yang bermutu tinggi. Sayangnya saat itu belum ada ebooks. Saya mulai
kenal internet saat S2. Ada banyak jurnal-jurnal online di bidang fisika
di situs arXiv.org yang berpusat di Los Alamos, USA. Mulai dari fisika
komputasi, fisika nuklir, fisika modern, fisika biologi, fisika biofisik, dan
hampir semua jurnal ada.”
“Kita
bisa publish jurnal secara gratis dan suka sharing ilmu.
Fisikawan itu suka berbagi-bagi ilmu dan tidak suka menyimpan ilmu.” tuturnya
kepada netsains.
Selain
itu, pria penyuka warna kuning, biru, dan orange ini mengaku suka
belajar dengan dosen yang paling pandai. “Saat S1 saya belajar langsung dengan
DR. Muslim, beliau adalah ahli fisika teori (fisika matematika dan fisika
kuantum) di UGM. DR. Muslim itu lulusan dari Purdue University. Beliau ini
jenius, dia hafal semua rumus-rumus fisika dan matematika di luar kepala. Dia
tahu konsep dasarnya. Jadi, kita harus tahu darimana asal rumus itu. Nah, ini
kunci di dalam belajar fisika. Jadi bukan menghafalkan rumus.”
Fisika
itu bukan menghafalkan rumus, kita harus tahu darimana asalnya. Sehingga bisa
menurunkan dengan mudah dan bisa mengembangkannya.
Nah,
yang paling rumit di fisika adalah mekanika kuantum. Karena berisi fisika
matematika yang rumit sebagai tool untuk menyelesaikan berbagai
persoalan fisisnya. Misalnya: pada tumbuhan ada klorofil. Bagaimana klorofil
itu menyerap dan menyimpan energi foton dari sinar matahari dan mengubahnya
menjadi energi, seperti sistem solar cells. Ini ilustrasi cara berpikir
fisikawan. Jelaslah bahwa semua problematika di alam ini tidak dapat dilepaskan
dari fisis.
Singapura:
Surganya Soliton
Setelah
S2 di ITB, Hendry melanjutkan studi ke NUS (National University of Singapore)
Singapore. Ia mempublikasikan riset-risetnya saat studi S2 di situs
arXiv.org . Rupanya Dewi Fortuna sedang berpihak kepada Hendry. Saat itu,
kebetulan ada profesor bernama Dr. Nail Akhmediev, ahli non-linear optics
yang berhubungan dengan teori Soliton. Soliton itu gelombang yang biasa dipakai
di dalam berkomunikasi, yang merambat di serat optik.
Gelombang
ini merambat namun amplitudonya tidak pernah mengecil. Ketika berinteraksi
dengan sesamanya, gelombang ini tidak berubah. Gelombang soliton ini pertama
kali ditemukan di pinggir pantai, saat Russel melihat gelombang laut di salah
satu pantai di Inggris.
Dr.
Nail Akhmediev tertarik dan berkirim email ke saya. Beliau kaget kok ada
orang Indonesia yang tertarik belajar gelombang Soliton. Hendry berkomunikasi
ke supervisor di ITB bernama Prof. DR. Freddy P. Zen. Prof Freddy adalah
fisikawan teori di ITB. Beliau merekomendasikan dan mengatakan ke Dr. Nail
Akhmediev kalau Hendry adalah salah satu murid terbaiknya.
Ketika
itu, Prof. DR. Freddy P. Zen sedang memiliki proyek kerjasama dengan Prof. DR.
Edy Soewono (ahli matematika di ITB). Dengan dana riset Prof. DR. Edy Soewono,
Dr. Nail Akhmediev diundang untuk presentasi ilmiah selama tiga hari di ITB.
Selama tiga hari guest lecture tentang Soliton di ITB, Hendry diminta
oleh Prof. DR. Freddy P. Zen dan Prof. DR. Edy Soewono untuk menemani Dr. Nail
Akhmediev. “Nah, saat itu saya ikut hadir, padahal yang kebanyakan hadir adalah
fisikawan dan profesor di bidang fisika teori,” ujar Hendry.
Segera
setelah mendapatkan informasi adanya NUS research scholarship di
Singapura, Hendry secepatnya memutuskan apply secara online di
warnet.
“Saya
memang belum tahu apa itu NUS (National University of Singapore). Untuk apply
saya meminta rekomendasi dari Prof. DR. Freddy P. Zen dan Prof. Dr. Nail
Akhmediev (sebenarnya rekomendasi itu untuk ke salah satu university di
America, tetapi saya menghapus the top part and menggunakan kontennya untuk
aplikasi ke NUS), padahal mereka berdua sedang melakukan riset di ANU (Australian
National University) di Canberra.”
“Akhirnya
sebulan saya ditelepon untuk interview. Kebetulan sedang berada di
Surabaya. Sebulan kemudian diberitahu via email kalau diterima. Saat itu, saya
baru menyadari bahwa saya adalah satu-satunya dari Indonesia yang diterima di physics
department sebagai post graduate student di NUS.”
“Karir
saya di bidang fisika eksperimen baru dimulai di NUS ini. Saya baru mulai
belajar dan mengetahui laser yang canggih (seperti Nano second laser, femto
second laser, dan berbagai continuous wave laser). Saya kebetulan
satu-satunya student yang melakukan riset di laboratorium milik Profesor
Ji Wei, ahli di bidang non-linear optics of nanomaterials.” cerita Hendry
kepada netsains.
Sekadar
diketahui, nano second laser dan femto second laser adalah pulse
laser dengan energi tinggi. Maksudnya, nano second laser adalah pulse
laser dengan 10 pangkat (-9) second, sedangkan femto second laser
adalah pulse laser dengan 10 pangkat (-15) second).
Lebih
lanjut, Hendry menjelaskan, kalau partikel-partikel nano ini saling menempel
satu sama lain (aggregation). Dalam aplikasinya, aggregation ini
tidak terlalu bermanfaat. Karena menimbulkan high-scattering atau high-absorption.
Untuk menghindari hal ini, kita menshakingnya dengan gelombang ultrasonic
di dalam solvent (larutan). Karena partikel-partikel ini lengketnya
sangat kuat, kita memakai microparticles bernama beads-milling
technique. Diaduk, sehingga microparticles ini “memukul” aggregation
dari nanopartikel, sehingga menghancurkan aggregation. Tujuannya adalah
untuk membuat nanohybrid particles with high transparency and high
refractive index. Ini untuk membuat optical switching pada alat-alat
telekomunikasi. Nah, kalau riset yang ini saya lakukan ketika berada di
Universitas Tohoku, Sendai Jepang.
-Bersambung-
No comments:
Post a Comment