Term cyberspace diperkenalkan
tahun 1984 oleh William Gibson
dalam novelnya Neuromancer
(sebelumnya cyberspace disebut
sebagai the Net, the Web, the
Cloud, the Matrix, the
Metaverse, the Datasphere,
the electronic frontier, the
Information Superhighway,
dll.). Cyberspace menjadi setting
utama novel-novel Gibson
selanjutnya, Count Zero (1986), Mona
Lisa Overdrive (1988), dan
Virtual Light (1993). Belakangan
karya fiksi yang memakai gaya Gibson disebut
cyberpunk. Tokoh
utama cyberpunk, selain
Gibson, adalah Pat Cadigan yang
menulis Patterns (1989),
Synners (1991), dan Fools (1994).
Dalam Neuromancer Gibson
menjelaskan cyberspace sebagai
"pamandangan yang
dihasilkan oleh komputer-komputer yang
‘ditancapkan langsung’—kadang
juga dengan langsung memasukkan
elektroda-elektroda ke dalam
soket-soket yang ditanamkan di
Yang dijumpai dalam
cyberspace adalah representasi 3
dimensional semua informasi yang
ada dalam "setiap komputer
dalam sistem
manusia"—sebuah gudang yang sangat besar dan
sebuah lautan data. Atau
dalam penggambaran Gibson, "...sebuah
tempat dengan kompleksitas
yang tak terpikirkan, dengan
kelompok garis-garis cahaya
dan merupakan
konstelasi-konstelasi data.
Seperti sebuah kota
cahaya..."
Apa yang paling penting dari
cyberspace sebenarnya bukanlah
kabel-kabel, telepon, atau
komputer jaringan. Sebab semuanya
itu hanyalah menunjuk pada
kendaraan, hanya menunjuk jalan
raya informasi, dan bukannya
tujuan yang disebut Gibson:
kecemerlangan kota cahaya di
akhir jalan itu. Lebih dari
sekedar "wiring
system" ataupun internet, cyberspace adalah
sebuah pengalaman, adalah
tentang masyarakat yang memakai
teknologi baru untuk
melakukan sesuatu yang sebenarnya secara
genetis sudah mereka
programkan, yaitu berkomunikasi.
Studi Cyberculture dalam
Cultural Studies
Dalam cultural studies,
cyberspace didekati melalui kritik
yang lebih luas (semua ini
bisa dimasukkan dalam ranah studi
cyberculture), yang meliputi
aspek-aspek sosial, ekonomi, dan
terpenting adalah aspek
ideologi politik dari cyberspace.
Alasannya, menurut Krista
Scott, karena revolusi digital
sesungguhnya adalah tentang
kekuasaan.
Sherry Turkle mungkin bisa
disebut sebagai pelopor studi
cyberculture dalam cultural
studies. Ia sudah mulai meneliti
hubungan antara manusia,
komputer, dan kepribadian sejak awal
‘80-an. Dalam buku
mutakhirnya, Life on the Screen: Identity
in the Age of the Internet
(1995) ia mengatakan bahwa dulu
komputer merupakan metanaratif
modernisme yang terbesar,
komputer adalah kisah
bagaimana pekerjaan dibuat menjadi lebih
ringkas dan menarik.
Sekarang, di era postmodern, dengan
komputer yang mampu
menciptakan "budaya simulasi", konstruksi
ideologi modernisme tentang
komputer mulai bergeser. Komputer
bahkan memberikan jalan untuk
berpikir lebih konkret tentang
krisis identitas.
Menurut Turkle, dalam dunia
simulasi identitas dapat mencair
dan menjadi multi-identitas.
Internet adalah contoh yang
paling eksplisit tentang
multi-personalitas. Cyberspace
memungkinkan pemakainya untuk
menggunakan identitas yang
diingininya. Seseorang bisa
dengan mudah mengasumsikan dirinya
sebagai laki-laki atau
perempuan ("dalam cyberspace tak ada
yang tahu bahwa Anda adalah
seekor anjing"). Jenis identitas
seperti ini membuat orang
merasa lebih memahami aspek-aspek
tersembunyi dari diri mereka
sendiri lewat merayakan kebebasan
dalam dunia anonimitas. Ia
menyim-pulkan bahwa internet telah
menjadi laboratorium sosial yang penting
dalam percobaan
mengkonstruksi dan
merekonstruksi diri yang mencirikan
kehidupan postmodern. Dalam
cyberspace, self menjadi
self-fashion dan self-create.
Teoritisi lain—seperti
Stephen Levy, John Markoff, Hugo
Cornwall, dll.—mengembangkan
konsep tentang identi-tas dan
anonimitas ini ke wilayah
politik. Dalam cyberspace
sesungguhnya sejarah manusia
telah memasuki sebuah era akhir
sosial. Transparansi sosial
memuncak, ditandai dengan
lenyapnya kategori sosial,
batas sosial, dan hierarki sosial
yang sebelumnya membentuk
suatu masyarakat. Pemikir Perancis
Jean Baudrillard menyatakan
bahwa dalam cyberspace yang
berlaku bukanlah hukum
kemajuan—sebab kemajuan selalu berarti
ekspansi teritorial—melainkan
hukum orbit. Lewat hukum orbit
segala sesuatu berputar
secara global, berpindah dari satu
tempat ke tepat lain, dari
satu teritorial ke teritorial lain,
dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lain. Dalam proses
perputaran itu semua wujud berubah menjadi
virtual.
Mengikuti teori Michel
Foucault tentang hubungan kekuasaan dan
pengetahuan, beberapa pemikir
sampai pada kesimpulan bahwa era
cyberculture adalah era
matinya politik. Kesimpulan ini
berangkat dari asumsi bahwa
cyberspace adalah dunia informasi.
Informasi berbeda dengan
pengetahun (knowledge), sebab
informasi tidak membutuhkan
basis pengalaman. Cyberspace
hanyalah lalu lintas
informasi, data-data yang bersliweran.
Sebagai konsekuensi pemikiran
semacam ini, maka kekuasaan
menjadi tidak ada. Sebab
bagaimana mungkin kekuasaan bisa
bekerja tanpa pengetahuan?
Wajar jika kemudian Dan Thu Nguyen
dan Jon Alexander
mendeklarasikan sebuah era berakhirnya
politik.
Nicholas Negroponte, pendiri
MIT Media Lab, mengajukan sebuah
"metafisika
cyberspace". Menurutnya dalam cyberspace partikel
fundamental bukanlah
atom—sebagaimana dalam "dunia
nyata"—melainkan bit
(digit biner). Bit merupakan unsur atomik
terkecil dalam DNA informasi.
Bit disimbolkan sebagai 1 atau 0
(menunjuk keadaan dua
keadaan: on-off, atas-bawah,
hitam-putih, dst.).
Bit selalu menjadi partikel
dasar komputasi digital. Ciri
utamanya: tidak mempunyai
berat dan mampu bergerak dalam
kecepatan cahaya. Dalam
cyberspace, semua produk kebudayaan
selalu berbentuk bit (prinsip
sebenarnya: bentuk atomis yang
dimampatkan menjadi digital).
Dulu untuk mengirim lukisan Andi
Warhol dari Amerika ke
Indonesia dibutuhkan kemasan yang besar
dan bisa makan waktu
berminggu-minggu. Untuk hal yang sama,
dalam cyberspace hanya dibutuhkan
waktu sepersekian detik saja
tanpa butuh jasa FedEx.
Jika kebudayaan lama
digerakkan oleh atom, kata Negroponte,
maka cyberculture digerakkan
oleh bit. Ekonomi lama yang
mengandalkan industri
benda-benda, dalam cyberspace digantikan
oleh industri
informasi/industri bit. Nilai sebuah bit
ditentukan oleh kemampuannya
untuk dipakai secara
berulang-ulang (karenanya bit
Mickey Mouse lebih mahal
ketimbang bit Forest Gump).
Logika ekonomi lama (semisal teori
bahwa pabrik dan toko yang
besar adalah modal yang amat
berharga) dijungkirbalikkan
dalam cyberspace (karena yang
dibutuhkan sebenarnya
hanyalah sebuah homepage, dan sebuah
pabrik atau toko yang besar
justru adalah pemborosan).
Dalam perkembangannya yang
mutakhir, studi cyberculture sudah
meliputi tema-tema yang amat
luas. Donna Haraway misalnya,
menulis feminisme dengan
basis technoscience dalam sebuah buku
unik:
Modest_Witness@Second_Millenium.FemaleMan©_
Meets_OncoMousetm: Feminism
and Technoscience (1997). Maurice
Estabrooks menulis tentang
masa depan kapitalisme dalam
cyberspace, Programmed
Capitalism: A Computer Mediated Global
Society (1988). Tema-tema
yang membahas tentang yang virtual
dan yang nyata juga sangat
populer, misalnya Jean Baudrillard
menulis Hyperreal America
(1993), Michael Heim menulis The
Metaphysics of Virtual
Reality (1993), atau Arthur Kroker yang
menulis Data Trash: The Theory of
the Virtual Class (1994).
Ada juga kelompok ilmuwan
inter-disipliner dan para
partisipan, misalnya
mahasiswa, operator komputer, profesor,
dan konsultan komputer. Para
anggota tetap kelompok yang
bernama ini Interrogate the
Internet terdiri dari Heather
Bromberg , Marco Campana,
Wade Deisman, Reby Lee, Rob Macleod,
Thomas Pardoe, dan Marc
Tyrell.
Newsletter KUNCI No. 2,
September 1999
No comments:
Post a Comment