Televisi memang telah jadi
perhatian studi-studi kebudayaan
sejak lama, dan menurut saya
memang tidak ada media lain yang
menyamai televisi dalam hal
besarnya volume teks-teks budaya
populer yang dihasilkan.
Rasanya, televisi selalu mampu
melahirkan bagian-bagian baru
yang menarik untuk diamati dan
dianalisa, mulai dari siaran
berita, iklan televisi, sinetron,
sebagainya. Dengan demikian
televisi juga merupakan ruang
eksperimen yang menarik bagi
para ilmuwan sosial untuk
mencobakan berbagai macam
metode dan teori sebagai pisau dan
alat-alat untuk menganalisa
persoalan kebudayaan. Karenanya,
banyak hal yang harus
dipahami dari televisi. Mulai dari teks,
hubungan antara teks dan
penonton, aspek ekonomi-politik yang
melingkupinya, hubungan
televisi dengan aspek-aspek lain
diluarnya, sampai pola makna
budaya yang ada dalam televisi.
Tulisan ini akan melakukan
analisa terhadap sinetron sebagai
bagian dari dunia televisi.
Memang benar bahwa
tulisan-tulisan yang beredar selama ini
tentang sinetron seperti
selalu memberi kita bayangan gelap
akan kehidupan
sinetron—buruknya mutu penulis naskah sinetron,
rendahnya etos kerja para
pekerja sinetron mulai dari pemain,
sutradara sampai
pekerja-pekerja teknis yang ada disitu,
ketiadaan festival atau wadah
untuk mengukur mutu
sinetron-sinetron yang
beredar, ketiadaan kritikus sinetron
yang baik, sampai penghargaan
yang rendah pada diri penonton,
dan sebagainya, dan karenanya
percakapan tentang sinetron
menjadi membosankan dan tidak
menyenangkan karena kita
seolah-olah sudah mengetahui
semua hal-hal buruk tentangnya.
Tetapi bukankah memang sebuah
tulisan tidak berniat untuk
memberikan sebuah penilaian
final tentang sesuatu hal?
Yang saya lakukan dalam
tulisan kali ini adalah memberikan
penajaman pada aspek resepsi
penonton dan aspek
ekonomi-politik dari sinetron
indonesia .
Penonton menempati
posisi penting dalam
pembacaan suatu fenomena kebudayaan.
Sayangnya mereka sering luput
dari perhatian publik, termasuk
oleh para peneliti
kebudayaan. Proses pembacaan penonton
sebuah pameran, sebuah film,
sebuah sinetron, apa yang
mempengaruhi interpretasi
mereka dan bentuk komunikasi seperti
apa yang sebetulnya sedang
terjadi antara seniman dan
penonton, antara
sutradara/penulis naskah dan penonton,
seharusnya bisa menjadi tema
yang menarik untuk diteliti.
Selain dimensi resepsi
penonton, dimensi lain yang juga
terlupakan adalah dimensi
ekonomi-politik. Hal ini dilakukan
mengingat dalam sebuah
sirkuit kebudayaan yang berjalan, tidak
hanya terdapat aspek produksi
dan konsumsi, tetapi terdapat
aspek-aspek lain seperti
aspek distribusi, regulasi,
representasi dan pembentukan
identitas, yang semuanya saling
berhubungan erat.
Dunia Romantis dan Ekonomi
Politik Sinetron
Saat ini terdapat sekitar 55
buah sinetron yang sedang diputar
di stasiun-stasiun televisi
swasta di Indonesia .
Jika
dideskripsikan lebih jauh,
berbagai macam sinetron yang
beredar di televisi tersebut
mewakili beberapa karakter utama
yaitu: karakter cerita yang
terbuka dan karakter cerita yang
terpusat pada tema hubungan
interpersonal pemainnya. Dalam
karakter yang pertama,
rangkaian episode-episode sinetron
berjalan mengalir begitu
saja. Setiap episode menampilkan
jalinan cerita yang berbeda.
Tidak ada persoalan-persoalan
tertentu yang dicoba untuk dipecahkan
dari awal episode sampai
seri episode sinetron ini
berakhir. Sedangkan dalam karakter
yang kedua, cerita sinetron
terpusat pada hubungan pribadi
manusia: pertikaian keluarga,
jatuh cinta, pernikahan,
perpecahan, perselingkuhan,
balas dendam, dan sebagainya. Poin
yang menarik adalah dari
bermacam-macam sinetron yang diputar
tersebut, 80% diantaranya
berujung pangkal pada persoalan
cinta dan segenap romantismenya.
Setiap kita melihat sinetron,
ada hawa romantisme kuat yang
berhembus disitu.
Bahkan sinetron-sinetron yang
berbasis cerita misteri dan aksi
laga yang sedang banyak
digemari penonton seperti Misteri
Gunung Merapi (Indosiar,
Minggu, 19.30 WIB), Dendam Nyi Pelet
(Indosiar, Senin, 18.00 WIB),
Misteri Nini Pelet (SCTV, Senin,
19.30 WIB), juga Angling Darma
(Indosiar, Rabu, 19.30 WIB) dan
Prahara Prabu Siliwangi
(SCTV, Selasa, 19.30 WIB) sebenarnya
juga berpangkal pada
persoalan cinta kasih yang romantis.
Dendam Nyi Pelet misalnya
bercerita tentang seorang gadis yang
dendam pada semua laki-laki
karena pemuda pujaannya ternyata
mempunyai kekasih lain. Maka
ia berguru, menguasai ilmu hitam,
dan berubah menjadi Nyi Pelet
yang selalu siap menyebar maut
bagi para pemuda yang
ditemuinya. Dari sini terlihat bahwa
sebenarnya demokratisasi
wacana dalam sinetron Indonesia
itu
tidak ada. Yang ada justru
keseragaman wacana karena semua isu
ditarik dalam persoalan
cinta..
Lantas apakah sinetron
merupakan sebuah karya seni atau
kerajinan tangan? Jawaban
untuk pertanyaan yang sederhana
tersebut ternyata tidak
sederhana. Karena yang terjadi dalam
dunia posmodern, seperti yang
pernah diungkapkan oleh Mike
Featherstone (1991, 1995),
adalah kekaburan batas-batas antara
seni, kebudayaan, dan iklan
atau dunia bisnis yang berujung
pada estetikasi umum
kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak
seperti bukan karya seni,
sementara hal-hal yang tampak dalam
kehidupan sehari-hari tampak
begitu indah dan estetis.
Analisis ekonomi-politik
termasuk sisi produksi dan distribusi
di dalamnya selama ini
diabaikan. Analisis budaya lebih
memusatkan perhatiannya pada
analisis tekstual. Menurut
Kellner (1997), analisis ekonomi-politik
perlu lebih
ditekankan mengingat
kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada
dalam satu bidang
bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum,
negara, institusi-institusi
sosial, media massa
dan
dimensi-dimensi lain dari
realitas sosial. Kenyataan lain
yang harus dihadapi adalah
bahwa kebudayaan selalu diproduksi
dalam hubungan dominasi dan
subordinasi. Analisis yang
meletakkan kebudayaan dalam
sistem produksi dan distribusi
dapat membantu menguraikan
dan menjelaskan hal-hal yang
membatasi produksi suatu
artefak kebudayaan, wacana-wacana apa
saja yang sedang dominan
berlangsung dalam masyarakat saat
itu, juga pengaruh aspek
politik pada saat artefak kebudayaan
tersebut didistribusikan.
Sebenarnya, analisis ekonomi-politik
juga harus mempertimbangkan
persfektif-persfektif lain dalam
menganalisis sesuatu.
Perspektif-perspektif lain tersebut bisa
berupa persfektif gender,
ras, etnisitas, kelas, atau
nasionalisme. Semakin kaya
perpektif yang dipakai untuk
menganalisa, maka hasil
analisa akan semakin bagus. Mengingat
sinetron merupakan sebuah
fenomena yang kompleks maka
keberagaman persfektif mutlak
diperlukan.
Rumah produksi (production
house), sutradara, pemain, naskah,
pembuat naskah, industri
musik, iklan, stasiun televisi, dan
penonton adalah aspek-aspek
yang terdapat dalam sinetron dan
terentang dari proses
produksi sampai konsumsi. Mungkin masih
teringat saat TVRI merayakan
ulang tahunnya pada tanggal 20-26
Agustus 1999 yang lalu. Waktu
itu TVRI menayangkan acara
Sepekan Sinetron HUT TVRI.
Sinetron-sinetron yang diputar
dalam acara tersebut antara
lain: Orang Kaya Baru dari Teater
KOMA, Wagiyem, Karsih dan
Karsiman, serta Merobek Angan-Angan.
Munculnya Teater KOMA di TVRI
sangat menarik mengingat di masa
lalu Teater KOMA sempat
dilarang tampil di TVRI karena
naskah-naskah yang
dimainkannya dinilai berbahaya bagi
keamanan dan stabilitas
negara. Tema-tema naskah-naskah
sinetron lain yang tampil
juga berkisar pada persoalan politik
seperti perjuangan seorang
aktivis LSM, persoalan korupsi,
tahanan Pulau Buru serta
demonstrasi mahasiswa.
Sinetron-sinetron ini tidak
akan mungkin ditayangkan dengan
bebas sebelum peristiwa Mei
1998 terjadi di Indonesia.
Fenomena ini juga menunjukkan
perubahan sikap politik TVRI
karena dulu TVRI sangat
dikenal sebagai corong utama orde
baru.
Pemilihan sinetron-sinetron
yang ditayangkan oleh
stasiun-stasiun televisi juga
penting untuk dicermati
mengingat stasiun televisi
mempunyai kriteria dan
standar-standar tertentu yang
ditetapkan. Kriteria-kriteria
tersebut meliputi ide cerita,
siapa yang membuat naskah, siapa
sutradaranya, siapa saja
artis-artis yang dilibatkan. Semua
itu adalah nilai-nilai utama
dari sinetron yang menentukan
apakah sebuah sinetron layak
jual atau tidak. Selain
persoalan-persoalan diatas,
hal lain yang harus diperhitungkan
adalah kecocokan antara
cerita, jumlah slot tayang yang
direncanakan, dengan harga
yang ditetapkan.
Saat produksi sinetron
berjalan, aspek-aspek yang
mempengaruhinya juga semakin
banyak. Misalnya, jika rating
sebuah sinetron naik, dan jumlah
iklan yang masuk juga semakin
tinggi, sementara rangkaian
episodenya sudah hampir habis,
maka sutradara dan penulis
naskah dipaksa untuk
melipatgandakan jumlah episode dan melakukan pengembangan
cerita yang kadangkala
menyimpang dari ide cerita awal. Bahkan
seringkali terjadi
pengembangan cerita tersebut dilakukan
tanpa perencanaan khusus, dan
dilakukan langsung di tempat
pengambilan gambar berlangsung. Hal seperti
ini biasanya
terjadi pada
sinetron-sinetron yang jumlahnya sudah mencapai
ratusan episode. Sinetron
yang banyak digemari seperti Si Doel
Anak Sekolahan bahkan dapat
semakin terdongkrak popularitasnya
karena karakter sejumlah
tokohnya laris dipinjam untuk
memerankan iklan-iklan produk
dan iklan layanan masyarakat.
No comments:
Post a Comment