Adalah media massa Amerika yang telah
meraih apa yang tidak mungkin bisa dilakukannya melalui politik, yakni dominasi
Amerika atas dunia. Hollywood sukses, sedangkan Pentagon justru gagal! Padahal
pada kenyataannya, film maupun alat-alat pertahanan adalah dua bidang yang
memberikan penghasilan terbesar bagi ekonomi Amerika. Dunia menonton dengan
keterpikatan hipnotis pemutaran ulang episode-episode opera sabun Amerika; di
seluruh dunia orang bertanya ''siapa yang menembak JR?'' dalam serial Dallas
atau ''siapa yang membunuh Laura Palmer?'' dalam film ''Twin Peaks''. Impian
Amerika dianggap tak bisa dilawan. (''Lubang Hitam Kebudayaan'', Hikmat
Budiman).
''MALAM Tahun Baru 2004 menampakkan citra
budaya populer yang didominasi budaya Amerika. Pawai sporadis dengan kendaraan
berbagai merek dan jenis memenuhi semua jalur lalu lintas. Tontonan wayang
kulit, joged, arja dan gambuh nyaris digerus hingar-bingar musik pop,
seakan-akan kita tidak lagi hidup di Bali, tapi LA, New York atau paling tidak
Tokyo. Bungkus dan puntung rokok yang didominasi produk berlisensi maskapai
Paman Sam serta tutup botol minuman berstandar western berserakan di
pigngir-pinggir jalan. Kedai-kedai McDonald, Kentucky serta Texas Friend
Chicken diserbu para pengunjung muda yang secara sadar atau tidak adalah
pendukung budaya Barbie yang melambungkan konsumerisme modern,'' komentar
Minggik sebagai alasan malam itu menggelar Joged Bumbung di halaman rumahnya
dan dipadati kawan-kawannya.
''Persis seperti pendapat Akbar S. Ahmed
yang dikutip Hikmat Budiman dalam bukunya, 'Lubang Hitam Kebudayaan', tentang
dominasi budaya pop Amerika yang menjadi diterminan budaya dunia. Ironisnya, di
negeri semiskin negara kita ini, budaya tersebut terserap seperti tanpa filter.
Cocok pengandaian Hikmat, bahwa dunia, khususnya bangsa-bangsa di negara
berkembang bagaikan kumpulan bintang, yang membentuk lubang hitam, seperti
teori yang dipaparkan fisikawan Sthephen Hawking. Dengan gravitasi yang kuat
lubang itu menyedot dan melumat apa saja yang mendekatinya. Kitalah yang
diandaikan sebagai bagian dari lubang hitam, yang menyedot dan melumat segala
budaya yang mendekat itu. Dari sikap hidup, cara berbusana, penggunaan
ikon-ikon asing, bahasa hingga aktivitas seksualitas, kita tiru dari budaya luar.
Lalu bagaimana nasib program Ajeg Bali ke depan? Apakah dia akan tetap jadi
sekadar slogan, seperti slogan-slogan masa lalu, misalnya; tinggal landas,
manusia seutuhnya dan Indonesia Incorporation?'' sahut Rubag.
''Budaya pop yang juga disebut budaya massa,
menurut Dominic Strinati, adalah budaya yang dihasilkan melalui teknik-teknik
industrial produksi massa yang diharapkan menghasilkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dari konsumen massa. Budaya ini diciptakan oleh para ahli
yang direkrut para usahawan, yang kemudian disebut budaya tinggi, karena
awalnya dipopulerkan para tuan atau kaum elite. Ketika budaya ini menjajah dan
mempengaruhi perilaku serta budaya masyarakat, maka hancurlah pertahanan budaya
rakyat yang berorientasi pada tradisi. Khususnya, masyarakat yang tidak
mengerti sama sekali akan hakikat seni dan budaya, yang sekaligus juga tidak
bisa membedakan kualitas seni dan budaya, maka budaya yang setara dengan opera
sabun menguasai pasaran. Coba simak popularitas dan sekaligus kekayaan material
yang dikumpulkan para artis musik maupun film dewasa ini, sungguh mengagumkan!
Padahal kualitas suara atau akting mereka tidak di atas para artis lainnya,
yang kukuh mempertahankan budaya rakyat. Ini berkat pengaruh budaya massa atau
pop, dimana kebanyakan konsumen ikut-ikutan mengatakan baik atau hebat untuk
hal-hal yang mereka tidak pahami, lalu menyebut diri fans fanatik dan rame-rame
mengenakan T-shirt bergambar idolanya. Dalam bahasa Bali, itu disebut suryak
siyu,'' komentar Sumadi.
''Jadi pas apa yang dikatakan Akbar S.
Ahmed. Amerika boleh gagal dalam operasi militer di Vietnam, Kamboja dan
Somalia, tapi McDonald, Bill Gates dan dolar AS mendominasi bisnis dunia tanpa
harus menjatuhkan bom Napalm atau memuntahkan peluru M 16. Malah boneka-boneka
cantik, seksi, merangsang, berambut blonde dan berbusana superminim bernama
Barbie dijadikan model serta ditiru penampilannya oleh gadis-gadis remaja.
Britney Spears menghidupkan boneka tak bernyawa tersebut di atas pentas
konsernya lewat penampilannya, lalu penampilan pop rocker itu ditiru, bahkan
oleh mereka yang tidak tahu Barbie bahkan tidak pernah melihat Britney. Coba
sempatkan waktu untuk duduk di bangku ruang yang disediakan mall atau swalayan,
khususnya saat hari-hari libur. Cewek-cewek dengan tank top dan jeans ketat
yang entah sengaja atau tidak berseliweran di lobby, dengan puser atau punggung
bagian bawah kelihatan jelas. Mereka pura-pura malu kalau mata laki-laki nyaris
melotot memandangnya, lalu berupaya menarik ke bawah bagian depan tank top, sehingga
bagian belakangnya tertarik ke atas menyebabkan selokan punggung tampak lebih
terbuka. Hahaha, mereka sudah tahu kejadiannya akan seperti itu,'' kilah Jernat
yang mengaku sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, bukan untuk belanja,
tapi buat cuci mata.
''Bukan hanya gadis-gadis belia yang
berpenampilan seperti itu, tapi juga ada wanita yang sudah berstatus ibu rumah
tangga. Rupa-rupanya semangat woman liberation movement atau gerakan kebebasan
kaum perempuan di AS tahun 1960-an, sudah meruyak ke mana-mana. Ini membuktikan
bahwa teori biologi klasik yang mengatakan bahwa tidak ada bedanya laki-laki
dan perempuan, mendekati kebenaran. Masing-masing sel manusia, pria maupun
wanita, terdiri dari 46 kromosom yang terbagi 23 pasang. Setiap pasang diturunkan
dari ayah dan ibu. Cuma satu dari 46 kromosom tersebut, tulis Anthony Synnott,
yang menentukan gender, dengan jumlah kromosom pembeda maksimal, 2,17 persen
saja. Dengan kata lain, 98 persen kromoson wanita dan pria identik. Malah
keberadaan wanita dan pria, karena perbedaan kelamin, tidak harus
diperlawankan, karena keduanya sebenarnya saling melengkapi dan saling
membutuhkan. Seperti risalah Plato dalam 'Symposium'-nya, manusia yang asalnya
bulat dan kuat dibelah jadi dua oleh Dewa Zeus sehingga senantiasa dihinggapi
hasrat kerinduan untuk bersatu,'' ujar Kadek Bekul.
''Kalau semua orang memahami, baik secara
ilmiah maupun mitologis tentang gender itu, agaknya upaya memecah belah yang
dilakukan kalangan tertentu akan sia-sia. Sebenarnya kita sudah bosan dengan
konflik. Suku, agama, ras dan golongan telah beratus-ratus tahun dijadikan
sumber konflik. Sekarang muncul debat ikhwal gender, dimana kuota 30 persen
bagi wanita untuk kursi parlemen dijadikan pelatuk perpecahan. Aku khawatir,
monyet yang biasanya berperilaku usil dan menurut astronomi Cina diramalkan
menjadi karakter tahun 2004 ini sehingga disebut Tahun Monyet akan
memperpanjang dan menyambung rangkaian konflik. Malah di layar kaca pun muncul
iklan layanan masyarakat yang provokatif, dimana disarankan agar partai politik
yang tidak memenuhi kuota 30 persen untuk caleg ditinggalkan. Akibatnya,
rame-ramelah parpol merekrut wanita dan menyetor nama mereka ke KPU saat
jam-jam terakhir batas pendaftaran. Tentu cara rekrutmen seperti ini bukan
pengaruh budaya pop atau Amerika kan?'' komentar Dewa Ngurah. ''Kita tidak bisa
mendiskreditkan monyet, lantaran dia tidak bisa bicara untuk menangkis tuduhan
kita. Sebaiknya diusulkan agar dalam kalender Cina ada tahun yang disebut Tahun
Manusia, mengingat perilaku manusia tidak lebih terpuji dibanding monyet,
anjing, kuda atau ular yang biasa dipakai menyebut nama tahun. Eh, bicara soal
ular, aku jadi geli mendengar kisah ular besar dan panjang yang sempat dianggap
keramat, lalu dikandangkan dan disampingnya didirikan pelinggih. Mungkin karena
banyak orang bingung, akibat multikrisis berkepanjangan sehingga memerlukan
ketenangan jiwa, maka berjubellah orang sembahyang ke sana dan menghaturkan
sesari. Tahu-tahu, konon, suatu hari seorang bule datang mengaku sebagai
pemilik ular 'keramat' tersebut dan menuturkan bahwa hewan melata itu
meninggalkan kandangnya karena ditinggalkan pulang kampung. Setelah memanggil
nama ular itu dan bersiul, katanya, binatang yang sudah sebulan lebih
dikeramatkan itu mendatangi induk semangnya dan membelitnya. Tempat yang
biasanya ramai didatangi pemedek itu sekarang sepi, para pedagang canang pun
kabur. Pantas ular itu tidak doyan bebek atau ayam hidup, karena dia terbiasa
menyantap hidangan dari budaya populer, yakni hamburger, fried chicken, hot
dog,'' ujar Rubag nyengir, sembari melangkah ke tempat pertunjukan joged.
* aridus
Kompetisi, Kompetensi dan Pembangunan Daerah
Oleh Andrinof A. Chaniago
Tuntutan
berkompetisi untuk mencapai hasil optimal saat ini dan di masa akan datang bukan
lagi milik para pelaku usaha. Berkompetisi untuk mendapatkan hasil terbaik bagi
pelaku kompetisi itu sendiri maupun bagi masyarakat keseluruhan, kini menjadi
keharusan bagi seorang profesional, organisasi pemerintah maupun nonpemerintah
yang berbasis di daerah-daerah di Indonesia.
Namun untuk
membuat kompetisi bisa menghasilkan kebaikan bersama tanpa mengurangi kebaikan
bagi pelaku utama, atau sebaliknya, yang memberi kebaikan bagi pelaku utama
tetapi tidak merugikan kepentingan umum, tentu harus disertai dengan sejumlah
syarat etik pada sistem maupun pada pelaku. Pada tataran sistem, mekanisme
kompetisi harus dibebaskan dari iklim monopolistik dan struktur yang memberi
peluang mendominasi bagi pelaku tertentu. Pada tataran individu, kompetisi
harus bebas dari penyalahgunaan informasi dan tanggungjawab yang dikenal dengan
moral hazard.
Selain syarat
etik yang bertujuan melindungi kepentingan pihak lain atau kepentingan bersama,
mekanisme kompetisi juga memerlukan syarat tertentu untuk mencapai hasil optimal
bagi pelaku maupun bagi publik secara keseluruhan. Pada tataran ini, ukuran
optimal atau tidaknya mekanisme suatu kompetisi memberikan manfaat bagi
individu, kelompok maupun organisasi tentu diukur dari skala ekonomi.
Perlunya
Kompetensi
Salah satu
syarat untuk membuat mekanisme kompetisi di masa sekarang memberi hasil optimal
bagi pelaku maupun masyarakat secara keseluruhan adalah membangun kompetensi
atau kecakapan khusus yang memberi keunggulan pada diri pelaku. Jika pelaku
tersebut adalah sebuah unit usaha, maka unit usaha tersebut tentu harus
membangun kompetensi dalam menghasilkan suatu produk atau jasa. Jika pelaku
tersebut seorang individu profesional, maka ia harus membangun kompetensi di
dalam dirinya. Begitu juga, jika pelaku kompetisi adalah suatu daerah, maka
daerah tersebut tentu harus membangun kompetensi dalam menghasilkan komoditas
dan jasa-jasa ekonomi serta pelayanan publik yang terkait dengan kompetensi
intinya.
Masalahnya
sekarang adalah, salah satu penyakit yang menghalangi pencapaian hasil optimal
tadi adalah belum tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya membangun kompetensi
dan mekanisme kompetisi seperti apa yang dapat mengoptimalkan lahirnya berbagai
kompetensi. Pada tingkat individu profersional kita bisa melihat, orang-orang
seperti tidak berdaya menghadapi kekuatan budaya massa atau budaya pop dalam
membuat mereka kehilangan orientasi dan tidak menyadari potensi di dalam
dirinya sendiri untuk bisa menjadi orang yang berkompeten di bidang tertentu.
Kekuatan
budaya massa tadi merupakan hal yang harus dilawan terlebih dahulu karena hal
inilah pembunuh pertama potensi seseorang untuk memiliki kompetensi. Budaya
massa, atau dikenal juga dengan budaya pop, seringkali mengagung-agungkan
karya-karya yang berkualitas sangat rendah dan komentar-komentar instan dari
mereka yang dinobatkan sebagai "pakar". Masyarakat seakan dipaksa
untuk mengkonsumsi hasil karya-karya instan tersebut. Akibatnya, antara lain
tentu saja, karya-karya hasil pekerjaan serius terpendam.
Budaya pop
juga membuat kemerosotan kualitas itu tak terkontrol. Banyak orang populer dan
dinobatkan ahli segala hal, malahan "diberi" gelar Doktor karena ada
kekurangjelian sebagian pekerja pers untuk mengecek pendidikan formal tokoh
tersebut. Pembunuhan kompetensi ini seringkali menghambat pencapaian hasil
optimal bagi kepentingan bersama. Akibat budaya populer, misalnya, banyak
orang-orang yang berkompeten atau berpotensi untuk memiliki kompetensi tertentu
tetapi bersembunyi di daerah-daerah di luar Jakarta atau mereka yang betul-betul
setia dengan pengembangan ilmu di ruang-ruang laboratorium dan ruang penelitian
di Jakarta sendiri, tidak bisa menyampaikan hasil kerja seriusnya kepada
masyarakat.
Kompetensi
profesional local
Salah satu
masalah bagi pembangunan potensi sumber daya manusia di daerah akibat pengaruh
kuat budaya pop adalah, budaya pop seringkali memakan korban kaum profesional
atau calon profesional lokal yang semestinya bisa menjadi agen pemerataan
pembangunan nasional. Karena itu, sikap kritis terhadap budaya pop harus tumbuh
di dalam diri kaum profersional di daerah daerah di luar Jakarta agar mereka
bisa menjadi magnit utama pembangunan di daerahnya masing-masing. Jika mereka
berhasil melawan dominasi budaya pop dan akhirnya memunculkan kompetensi di
dalam diri mereka, mereka akan mendorong orang-orang muda lainnya di daerah itu
sendiri atau di daerah lain untuk percaya diri berkarya. Setelah berkarya dan
karya mereka memasuki pasar tentu mereka akan lebih dipercaya lagi untuk
berkarya dalam medan yang lebih luas, seperti penganalisis kebijakan, pembuat
kebijakan atau menjadi manejer kebijakan itu sendiri. Sebagai orang yang ikut
menentukan kebijakan mereka akan punya nilai lebih dibanding mereka yang selama
ini diobatkan sebagai pakar dan bercokol di Jakarta berkat dukungan budaya pop
tadi. Padahal, setidak-tidaknya kaum prorfesional lokal di luar Jakarta tentu
lebih tahu banyak kondisi empiris daerah yang dianalisisnya.
Sayangnya,
agenda ke arah pengembangan kompetensi para profesional lokal ini masih jauh dari
harapan. Hal ini disebabkan terutama oleh hegemoni budaya pop yang telah
membelenggu banyak orang. Hambatan lainnya tentu saja karena struktur
penyebaran sentra pertumbuhan kita yang masih Jakarta sentris atau Jawa
sentris. Model monosentris ini mendorong terus berlanjutnya hubungan yang
asimetris dalam pertumbuhan elit-elit nasional antara yang berbasis di Jakarta
dan Jawa dengan mereka yang berbasis di luar Jawa. Seorang Andi Mallarangeng
dengan cepat melesat menjadi tokoh nasional yang amat populer setelah ia
berbasis di Jawa dan meninggalkan Makassar. Namun tidak banyak orang yang
mengenal JJ Kusni, seorang Doktor tamatan Perancis yang berasal dari Suku Dayak
Ngaju yang pikiran-pikirannya sangat jauh menjangkau ke depan untuk pembangunan
kebangsaan di Indonesia (lihat, misalnya, bukunya berjudul Negara Etnik,
terbitan Fuspad, 2001). JJ Kusni adalah juga seorang budayawan dan penyair,
yang sangat kaya dengan pengalaman batin selama pengembaraannya di luar negeri
yang tampaknya sangat besar pengaruhnya terhadap bobot pemikirannya. Tetapi
Kusni tentu hanya satu contoh saja tentang seseorang yang terpaksa berada di
wilayah marginal elit intelektual Indonesia. Di wilayah Kalimantan, Sulawesi,
Sumatera dan lainnya, tentu masih ada beberapa orang yang tidak dimanfaatkan
kemampuannya secara optimal untuk kepentingan bangsa ini, seperti JJ Kusni.
Manfaat
Nasional Kompetensi Lokal
Dari
perspektif pembangunan wilayah yang bisa menjadi katalisator pembangunan
nasional, pembangunan kompetensi orang-orang luar Jakarta ini saat ini justeru
dibutuhkan. Terbentuknya kompetensi lokal akan mengoreksi sikap banyak elit
daerah yang berpikir latah dalam menyusun prioritas pembangunan. Para elit yang
suka latah ini seringkali tidak melihat potensi, tantangan dan peluang di luar
daerahnya. Akibatnya, produktifitas, efesiensi dan daya keberlanjutan
(sustainability) terabaikan dalam perencanaan pembangunan daerah. Sikap latah
elit lokal ini tentu tidak terlepas dari struktur penyebaran sumber daya
intelektual kita yang terkonsentrasi di Jakarta dan beberapa kota besar di
Jawa. Para elit lokal seringkali punya kepercayaan berlebihan terhadap para
pakar yang datang dari Jakarta, meskipun pakar tersebut amat jarang melakukan
penelitian ke daerah.
Dalam
beberapa hal kompetensi para pakar dari Jakarta tentu saja harus diakui,
misalnya dalam memberi perbandingan dan menganalisis secara makro. Tetapi jika
kompetensi makro tersebut tidak diimbangi dengan kompetensi lokal dan regional,
maka pembangunan daerah akan mudah terkena bias-bias cara pandang Jakarta. Hal
inilah yang terjadi sebetulnya dengan pembangunan nasional dalam merespon
wacana pembangunan global yang dikampanyekan oleh lembaga-lembaga donor dan
para ekonom neo-liberal dari negara-negara maju sejak awal tahun 1980-an. Para
perumus kebijakan di Jakarta dengan latah dan dengan mudah saja mengamini
tuntutan-tuntuan penyesuaian struktural (structural adjustment) yang
dikampanyekan oleh lembaga-lembaga donor multilateral dan para ahli ekonomi
mereka. Para perumus kebijakan nasional tidak mempu berpikir dan bersikap
otonom bukan semata-mata karena ada tekanan dari lembaga donor, tetapi karena
mereka tidak membangun kompentensi dalam menganalisis negerinya sendiri.
Akibatnya, gagasan penyesuaian struktural hampir ditelan bulat-bulat sementara
kondisi struktur internal tidak mereka perhatikan.
Para ilmuwan
di luar Jakarta tentu harus memiliki kemampuan berpikir nasional dan global,
seperti juga para perencana pembangunan kita di jaman Orde Baru yang harus
mampu berpikir global ketika membuat perencanaan nasional. Tetapi para ilmuwan
di luar Jakarta juga harus sadar dan percaya diri bahwa mereka berpeluang untuk
memiliki kompetensi sendiri, seperti juga yang seharusnya disadari oleh para
teknokrat kita pada masa Orde Baru yang seharusnya sadar bahwa mereka juga bisa
membangun kompetensi sendiri.
Membangun
kompetensi yang otentik sambil tetap berusaha memahami kecenderungan global
bagi para intelektual dan ilmuwan di luar Jakarta akan memperbesar pula
kemungkinan dihasilkannya penemuan-penemuan baru dan penemuan keunggulan lokal
di daerah-daerah. Dengan mengetahui potensi-potensi lokal, para ilmuwan di luar
Jakarta akan bisa merekomendasikan kebijakan-kebijakan untuk membangun
kompetensi lokal dan menyusun prioritas-prirotas pembangunan daerah.
Membangun
kompetensi tentu saja memerlukan sejumlah syarat. Pertama, tentu saja harus ada
kemauan kuat dari para ilmuwan lokal itu sendiri. Mereka jangan membiarkan diri
hanya menjadi pengkonsumsi neto karya orang lain, melainkan harus membiasakan diri
bersikap kritis terhadap karya orang lain. Selain itu para ilmuwan luar Jakarta
tentu juga harus membiasakan diri dengan manajemen riset di tengah terbukanya
peluang untuk menjelajahi dunia maya lewat internet. Pengalaman saya membuahkan
kesan, banyak sekali ilmuwan luar Jakarta yang tidak menyadari potensi yang
besar ini sehingga proses pembangunan komptensi dirinya mereka berjalan amat
lambat.
Kedua, selain
dari para ilmuwan sendiri, para pembuat kebijakan publik di tingkat lokal, baik
di legislatif maupun eksekutif, harus punya kesadaran untuk membangun
kompetensi lokal di daerah mereka. Konsekuensi dari kesadaran itu harus
bermuara dalam bentuk dukungan terhadap prasarana riset seperti pusat
dokumentasi, sistem informasi dan sebagainya. Sayangnya, lagi-lagi banyak
pengalaman mutakhir menunjukkan bahwa kesadaran dalam hal ini lebih
memprihatinkan lagi di di daerah-daerah di luar Jakarta. Para pembuat program
dan perancang anggaran pembangunan daerah masih saja terkungkung dalam pola
berpikir liniear. Mereka hanya berpikir menggunakan pola anggaran tahun
sebelumnya untuk menentukan besar peningkatan anggaran tanpa menganalisis ulang
apa sebetulnya yang menjadi tantangan dan prioritas kebutuhan saat sekarang
bagi daerah mereka.
Semua pihak
tampaknya perlu menyadari bahwa percepatan pembangunan dan penyebaran
kompetensi para ilmuwan daerah dan kompetensi daerah itu sendiri adalah jalan
strategis untuk mencapai tujuan pembangunan yang hakiki. Dengan membangun dan
menyebar komptensi para profesional di luar Jakarta dan membangun kompetensi
masing-masing daerah dalam menghasilkan barang atau jasa tertentu, kita akan
menuju pembangunan yang berimbang sekaligus optimal bagi kepentingan bersama,
serta menuju pembebasan dari struktur dominasi. Masalah awal yang harus
diselesaikan adalah, mampukah kita melawan dominasi budaya pop di dalam tradisi
"kepakaran" kita saat ini? Mungkin saatnya kita mulai membedakan
popularitas dan otoritas, antara gelar yang dimiliki dan status pakar yang
diberikan, dan sebagainya***
Suara
Pembaruan,
26 November 2002
Budaya Pop, Apa Lagi Itu?
Ada
orang yang mengatakan bahwa Music
Television (MTV) adalah budaya yang nge-pop. Ada pula yang beranggapan bahwa
gaya hidup terkini-lah yang disebut dengan budaya pop. Lalu sebenarnya apa yang
dimaksud dengan budaya pop?
Apa
itu budaya populer?
Secara sederhana, budaya populer-lebih sering disebut dengan budaya pop- adalah
apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu pakaian,
film, musik, makanan, semuanya termasuk dalam bagian dari kebudayaan populer.
Baik, sebelum kita lanjut lebih jauh, mari kita bahas definisinya satu persatu.
Definisi dari popular/populer adalah diterima oleh banyak orang, disukai atau
disetujui oleh masyarakat banyak. Sedangkan definisi budaya adalah satu pola
yang merupakan kesatuan dari pengetahuan, kepercayaan serta kebiasaan yang
tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan menyebarkannya ke
generasi selanjutnya. Selain itu, budaya juga dapat diartikan sebagai kebiasaan
dari kepercayaan, tatanan sosial dan kebiasaan dari kelompok ras, kepercayaan
atau kelompok sosial.
Jadi,
dapat didefiniskan kebudayaan pop adalah satu kebiasaan yang diterima oleh
kelompok-kelompok sosial yang terus berganti/berkembang di setiap generasi
Pengaruh Media dan Amerika
Dari perkembangannya, banyak orang yang menilai perkembangan budaya pop
berdasarkan pada media. Lalu, pengaruh Amerika sangat kuat dalam budaya pop di
berbagai negara Apakah itu benar? Terlepas dari itu, media memang memegang
peranan penting dalam penyebaran gagasan tentang budaya pop. Ini dapat terlihat
dari iklan-iklan mereka yang “menjual” satu kebiasaan atau produk yang nantinya
akan menjadi satu kebiasaan populer.
Tentang
Amerika, tidak dapat kita pungkiri bahwa pengaruhnya sangat kuat di berbagai
negara sehingga pernyataan tersebut tidak dapat disangkal. Kalau kita lihat,
seperti pakaian Levi’s dan sepatu Nike sudah menjadi “produk” dunia. Belum lagi
jika kita lihat dari musik dan gaya hidup Amerika yang banyak diserap oleh
berbagai negara.
Tetapi
yang jelas, budaya pop akan terus berkembang atau berganti dari setiap
generasi. Kita bisa lihat perkembangannya, mari kita ambil Indonesia sebagai
contohnya. Dari masa ’70-an hingga saat ini, budaya pop terus berganti seiring
dengan perubahan generasi.
Jika
kita kembali membahas tentang peranan Amerika dalam hal ini, banyak hal yang
bisa menjawabnya. Ini tidak terlepas dari satu sistem yang sering kita dengar
tentang kapitalisme. Dalam sistem ini, satu negara yang mempunyai modal
(kapital) akan menjadi produsen dan berusaha membuat negara lain menjadi
konsumtif sehingga produknya terus bisa terjual.
Bagaimana
budaya pop bisa berkembang?
Banyak hal yang bisa mempengaruhi perkembangan budaya pop di tengah masyarakat.
Dari penelitian yang dilakukan oleh salah satu sekolah di Kanada, terdapat
beberapa hal yang dapat mempengaruhi, antara lain:
Hiburan
Mau tidak mau, semua manusia membutuhkan hiburan dalam hidupnya. Menonton TV
dapat dikatakan kebiasaan yang paling populer di semua negara. Berbagai macam
jenis hiburan disediakan oleh layar kaca. Secara tidak langsung, sadar atau
tidak sadar, kita akan terbawa dengan apa muncul dalam hiburan tersebut.
Banyak
orang yang senang menghabiskan waktunya untuk menonton di TV di rumah. Ada juga
yang mencarinya di bioskop untuk menonton film atau mencari tempat-tempat yang
menyajikan hiburan.
Makanan
Banyak sekali jenis makanan yang menjadi populer di tengah-tengah masyarakat.
Kita sebut saja Mc’ Donalds, KFC, Dunkin Donuts, Coke, Pepsi, Pizza Hut dan
sebagainya. Banyak orang yang menjadikannya sebagai pilihan makanan utama saat
makan siang ataupun dalam kesempatan lainnya.
Makanan-makanan
tersebut sepertinya telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Indonesia.
Walaupun kita tahu bersama terkadang orang makan/minum hanya dengan
pertimbangan gengsi.
Fashion
Khusus untuk fashion, dapat dikatakan faktor yang paling mudah diterima. Kita
bisa lihat dari berkembangnya berbagai merek seperti Nike, GAP, Levi’s, Lea,
Tommy, Diesel dan banyak lagi yang digemari dan kerap kali menjadi ukuran dalam
pergaulan.
Remaja
kita cenderung mudah mengikuti mode yang berkembang. Mulai dari cara
berpakaian, pernak-pernik hingga potongan rambut. Terkadang cara berpakaian
juga di”sah”kan dengan penggunaan dress
code, baik di pesta hingga ke sekolah.
Gaya
Hidup
Penggunaan anting, tatto, telepon selular (ponsel) merupakan salah satu gaya
hidup yang paling mudah kita temui dikalangan remaja. Mungkin pada saat, ponsel
yang menjadi salah satu gaya hidup masyarakat. Bahkan hingga ke tingkat
pelajar, ponsel sudah menjadi barang yang sangat lazim dan tidak asing lagi.
Selain
itu, memiliki kendaraan pribadi, baik itu mobil maupun motor seperti sudah
menjadi hal yang “wajib” dalan kehidupan sehari-hari. Banyak remaja sekarang
yang menjadikan kendaraan tersebut sekedar buat mejeng tetapi menjadi
kebutuhan.
Musik
Siapa yang tidak kenal dengan Westlife atau Britney Spears? Mereka merupakan
penyanyi yang mempunyai daya tarik tersendiri terhadap remaja saat ini. Banyak
remaja yang senang pada penampilan atau musiknya saja. Remaja yang cenderung
senang terhadap lagu yang mempunyai beat/irama ceria
Mereka
cenderung melihat para penyanyi tersebut sebagai contoh yang baik dalam
kehidupannya. Mandiri, percaya diri, kaya, berhasil, cantik dan sekian banyak
alasan lainnya. Namun, banyak juga pihak yang tidak setuju dengan hal ini.
Tetapi yang jelas, mereka mempunyai daya untuk mempengaruhi kita.
Tempat
terkenal
Kalau kita ingat kata nongkrong, kita akan sangat teringat bagaimana kita
menghabiskan waktu kita selama berjam-jam dengan kawan-kawan kita. Tidak
sembarang tempat bisa menjadi tempat yang nyaman untuk nongkrong. Baanyak orang
yang memilih tempat seperti Mall, Café, dan tempat sejenis lainnya.
Kebiasaan
remaja untuk nongkrong berjam-jam di mall, eksekutif muda di café yang
menyediakan kopi, menghilangkan kepenatan di café seperti Hard Rock dan tempat
yang sejenis merupakan kebiasaan yang paling mudah kita temui saat ini.
Olah
Raga
Basket dan Sepak bola merupakan olahraga yang di gandrungi oleh hampir setiap
orang. Saat ini tengah berkembang berbagai olahraga yang sebenarnya bukan
berasal dari Indonesia, seperti Baseball dan Bowling. Pelan tapi pasti olahraga
seperti ini akan menjadi bagian dari kebiasaan kita sehari-hari.
No comments:
Post a Comment