Thursday, June 20, 2013

Budaya Materi

Apa makna benda-benda bagi manusia? Baik dari sudut pandang masyarakat tradisional maupun masyarakat modern pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua hal, yang merupakan pokok kajian budaya materi (budaya pemanfaatan benda-benda oleh manusia, bagaimana manusia berhubungan dengan benda). pertama, benda-benda bisa diletakkan dalam perspektif fungsional saja. Dalam perspektif ini sebuah piring berfungsi sebagai wadah makanan, senjata berfungsi sebagai alat berburu dan mempertahankan diri terhadap serangan musuh, sepatu berfungsi sebagai pelindung kaki dsb. Fenomena peradagangan/ekonomi juga masih termasuk dalam perspektif ini. Yang kedua, benda-benda bisa juga diletakkan dalam perspektifnya sebagai totem, yaitu diasosiakan secara simbolik dengan sesuatu yang lain. Di sini benda-benda berperan sebagai pembawa maknamakna sosial tertentu. Cincin misalnya, yang tak terlalu penting dalam perspektif fungsional, dalam perspektif totem bisa bermakna kecantikan, kekayaan, atau ikatan kesetiaan dsb. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa benda-benda, seperti diteorisikan Mary Douglas (antropolog) dan Baron Isherwood (ekonom) (1979), mampu mengkongkretkan makna-makna sosial yang abstrak seperti kesetiaan, kepatuhan, dsb.


Menurut Douglas dan Isherwood konsumsi benda-benda yang terjadi dalam semua masyarakat adalah juga di luar perdagangan, ia selalu merupakan sebuah fenomena kebudayaan, selalu berkaitan dengan nilai-nilai, makna-makna, dan komunikasi. Benda-benda bukan hanya dipakai untuk melakukan sesuatu, melainkan juga punya makna dan bertindak sebagai tanda makna dalam hubungan sosial, selalu memamerkan seperangkat nilai tertentu. Hal ini juga berarti bahwa dalam sirkulasi benda-benda telah terjadi sebuah pertukaran simbolik.

Douglas dan Isherwood secara khusus menyelidiki upacara-upacara, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, yang menurut mereka berfungsi sebagai tempat untuk penciptaan makna benda-benda dengan cara memperlihatkan kegunannya dalam upacara. Karena upacara-upacara merupakan acuan klasifikasi seseorang dalam masyarakat, maka benda-benda secara langsung berperan sebagai sumber identitas sosial dan pembawa makna sosial.

Marshal Sahlins (1976) mengembangkan konsep totemisme ini untuk menyelidiki konsumsi benda-benda dalam masyarakat modern. Menurutnya, jika masyarakat tradisional menggunakana benda-benda 'alamiah' (kayu, batu, tulang dsb.) sebagai totem, maka totem masyarakat modern adalah benda-benda buatan pabrik. Ia menunjukkan bagaimana sistem pakaian masyarakat modern bukan sekedar seperangkat objek materi untuk membuat hangat tubuh dsb., tetapi sebagai kode simbolik untuk mengkomunikasikan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial (priawanita, kelas ataskelas bawah dsb.). Lewat pakaian masyarakat modern mengkomunikasikan keanggunan perempuan, keperkasaan lakilaki, dan kehalusan kelas bangsawan.

McCracken (1988) juga mengidentifikasi pemanfaatan benda-benda konsumen dalam ritual-ritual masyarakat kontemporer. Ia mengajukan beberapa ritual masyarakat kontemporer paling penting. Pertama, 'upacara pemberkatan', yang meliputi pengumpulan, pembersihan, perbandingan, dan pertunjukkan benda-benda. Dekorasi kamar tidur dengan poster-poster. Upacara ini memungkinkan pemiliknya mengklaim hak atas makna sebuah objek di luar batas kepemilikan biasa. Ini merupakan cara mempersonalisasikan objek, cara memindahkan makna dari dunia individu kepada benda yang baru diperoleh. Ia mencontohkan upacara hadiah, misalnya pada hari ulang tahun, hari natal, atau hari kasih sayang. Pemilihan dan pemberian benda-benda konsumen oeh seseorang dan diberikan kepada orang lain merupakan sebuah perpindahan makna. Seringkali sebuah benda dipilih sebagai hadiah karena benda tersebut memiliki makna kepemilikan yang penuh yang ingin diberikan kepada orang lain. Misalnya, seorang perempuan yang menerima sebuah pakaian diundang untuk mendefinisikan dirinya menurut makna gayanya; pemberi bunga atau coklat mungkin meminta penerimanya untuk menunjukkan sifat kelembutan atau sifat yang manis. Dari perspketif ini, pemberian benda-benda pada suatu upacara (hari ulang tahu, hari raya dsb.) dapat dipandang sebagai sarana yang paling tepat dalam komunikasi antarpribadi atau pengaruh antarpribadi.

Budaya materi, dalam pandangan Marx, adalah objektifikasi kesadaran sosial. Ini berawal dari distingsi Marx antara produksi yang bermanfaat langsung bagi pembuatnya dengan produksi yang semata-mata untuk kepentingan pasar. Proses yang terakhir inilah yang disebut Marx benda sebagai komoditas. Meskipun tak mengalami bentuk-bentuk budaya materi modern, ia kemudian sampai pada konsep fetishisme komoditas yang menggambarkan penyembunyian cerita tentang siapa dan bagaimana sebuah objek dibuat.

Dalam fetishisme modern, kegunaan benda-benda didistorsi secara sistematis oleh pencarian keuntungan kapitalis. Dan jelas bahwa kebutuhan untuk mencari untung ini telah secara dramatis melahirkan benda-benda baru yang dijual hanya untuk memanipulasi konsumen.

Theodore W. Adorno (1974), penginterpretasi Marx dari Kelompok Frankfurt yang dihormati, mengintrodusir konsep nilai guna sekunder. Konsep ini menunjukkan fenomena konsumsi dalam masyarakat industri dimana melalui kemasan, promosi dan iklan, benda-benda dicocokkan dengan topeng-topeng yang didesain secara ekspresif untuk memanipulasi hubungan yang mungkin terjadi antara benda-benda pada satu sisi serta keinginginan, kebutuhan dan emosi manusia di sisi lain. Nilai guna sekunder berjalan begitu dominasi nilai tukar telah diatur untuk menghapus ingatan mengenai nilai guna murni benda-benda. Ini adalah dasar bagi estetika komoditas, dimana komoditas berperan bebas dalam asosiasi dan ilusi budaya yang sangat luas. Iklan secara khusus mampu mengeksploitasi kebebasn ini untuk menampilkan citra romantis, eksotik, kepuaasan, atau kehidupan yang baik dengan memperkenalkan barang-barang konsumen seperti sabun, mesin cuci, mobildan minuman beralkohol. Ini persis dengan yang dikatakan Douglas dan Isherwood tentang kemampuan benda-benda untuk mengkonkretkan maknamakna sosial yang abstrak, tetapi dalam hal ini Adorno mampu menunjukkan peran media massa modern dalam proses pengkongkretan ini.

Sejalan dengan langkah Adorno, Celia Lury (1996) menunjukkan bahwa kelemahan studi budaya materi seperti yang dilakukan Douglas dan Isherwood adalah bahwa mereka hanya memperlakukan benda-benda sebagai media nonverbal untuk kemampuan kreatif manusia. Mereka gagal untuk secara meyakinkan mengkaji isuisu mengenai kekuatan dan kontrol simbolik.

Arjun Appadurai (1986) mempercanggih metodologi Douglas dan Isherwood dengan secara langsung memusatkan kajiannya pada 'kehidupan sosial benda-benda'. Ia menyatakan bahwa benda-benda bukan hanya bersifat sosial dan budaya semata, melainkan benda-benda itu mempunyai kehidupan: bobot dan otoritas benda dapat dipaksakan dalam kehidupan manusia, karena memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keyakinan, memberi kewajiban, penampilan, dan kesenangan. Walaupun dari sudut teoritis manusia sebagai pelaku menandai benda-benda dengan sebuah arti, namun dari sudut metodologis pergerakan bendalah yang meghiasi konteks sosial dan kemanusiaan mereka.
Secara agak mengejutkan, benda-benda dikajinya secara naratif, dituturkan sebagai kisah dengan sarana 'sejarah kehidupannya'. Pendeknya ia menelusuri narasi benda-benda dan jalur lintasannya: darimana benda berasal, siapa pembuatnya, apa gunanya, berapa 'umur' atau 'periode kehidupan' benda tersebut, apa ciriciri budaya untuknya, bagiamana kegunaan benda berubah sesuai umurnya dsb.

Contoh yang bagus untuk pendekatan model Appadurai ini adalah studi Dick Hebdige tentang "siklus skuter Itali" (1988). Hebdige menyelediki apa yang disebutnya dengan 'kepentingan budaya' sebuah objek. Kepentingan ini digali dengan menelusuri perubahan arah yang dialmpaui dalam sirkuasi benda-benda.

Strategi studinya adalah dengan mengikuti fluktuasi makna sosial skuter dan kemudian menarasikannya; Hebdige menunjukkan. bahwa skuter yang mula diasosiakan dengan status sosial yang rendah karena bentuknya yang mirip mainan anak-anak , kemudian melonjak menjadi objek yang dipuja karena diasosiakan dengan kenecisan dan modern pada awal '60an, dan kemudian status skuter yang sekarang adalah sebagai benda nostalgia. Pada awal peluncurannya, skuter didefinisikan sebagai 'perempuan', ia dianggap sebagai (bukan?) kendaraan lakilaki. Dan sebagai perempuan, skuter dihidupkan dalam harapan mengenai 'perkawinan'. Pabrikpabrik motor di Inggris, yang terkenal dengan 'kelelakiannya' kemudian dipaksa memproduksi skuter, sebuah kendaran yang lebih 'feminin' dan 'ramping'. Pada awal kemunculannya di Inggris, dengan dalih "referensi maskulinitas dan keperkasaan", skuter secara moral bahkan dicurigai sebagai anti etos kerja keras. Tetapi kemudian 'perkawinan' antara sepeda motor dan skuter berlangsung juga. Hebdige mencontohkan bahwa pada tahun '50-an skuter adalah ancaman terbesar bagi industri sepeda motor Inggris; dalam sebuah pameran 3 sepeda motor harus bersaing dengan 50 skuter. Skuter kemudian menjalani hidup baru setelah 'percerainnya' dengan sepeda motor. "Keitalian" sebuah skuter menjadi penting, dan kefisienan desainnya menjadi simbol objek masa depan. Keriangan kehidupan baru skuter ini kemudian berubah sejak pertemuannya dengan klub-klub pecinta skuter dan balap skuter. Pertemuan ini ini membawa skuter kepada identitas sebuah subkultur tertentu.

Dan di masa-masa akhir hidupnya, dengan hadirnya sekolah-sekolah desain produk modern, kesempurnaan desain skuter didramatisir dan menjadi ajang estetikasi kehidupan sehari-hari. Kejayaan skuter akhirnya benar-benar runtuh karena munculnya sepeda motor-sepeda motor kecil buatan Jepang, juga karena kewajiban memakai helm yang membuat naik skuter tak setrendi pada masa-masa sebelumnya.


print this page Print

No comments:

Post a Comment