Apa makna benda-benda bagi manusia? Baik
dari sudut pandang masyarakat tradisional maupun masyarakat modern pertanyaan
ini bisa dijawab dengan dua hal, yang merupakan pokok kajian budaya materi
(budaya pemanfaatan benda-benda oleh manusia, bagaimana manusia berhubungan
dengan benda). pertama, benda-benda bisa
diletakkan dalam perspektif fungsional saja. Dalam perspektif ini sebuah
piring berfungsi sebagai wadah makanan, senjata berfungsi sebagai alat berburu
dan mempertahankan diri terhadap serangan musuh, sepatu berfungsi sebagai
pelindung kaki dsb. Fenomena peradagangan/ekonomi juga masih termasuk dalam
perspektif ini. Yang kedua, benda-benda bisa
juga diletakkan dalam perspektifnya sebagai totem, yaitu diasosiakan secara
simbolik dengan sesuatu yang lain. Di sini benda-benda berperan sebagai
pembawa maknamakna sosial tertentu. Cincin misalnya, yang tak terlalu penting
dalam perspektif fungsional, dalam perspektif totem bisa bermakna kecantikan,
kekayaan, atau ikatan kesetiaan dsb. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa benda-benda,
seperti diteorisikan Mary Douglas (antropolog) dan Baron Isherwood (ekonom)
(1979), mampu mengkongkretkan makna-makna sosial yang abstrak seperti
kesetiaan, kepatuhan, dsb.
Menurut Douglas dan Isherwood konsumsi
benda-benda yang terjadi dalam semua masyarakat adalah juga di luar
perdagangan, ia selalu merupakan sebuah fenomena kebudayaan, selalu berkaitan
dengan nilai-nilai, makna-makna, dan komunikasi. Benda-benda bukan hanya
dipakai untuk melakukan sesuatu, melainkan juga punya makna dan bertindak
sebagai tanda makna dalam hubungan sosial, selalu memamerkan seperangkat nilai
tertentu. Hal ini juga berarti bahwa dalam sirkulasi benda-benda telah terjadi
sebuah pertukaran simbolik.
Marshal Sahlins (1976) mengembangkan konsep
totemisme ini untuk menyelidiki konsumsi benda-benda dalam masyarakat modern.
Menurutnya, jika masyarakat tradisional menggunakana benda-benda 'alamiah'
(kayu, batu, tulang dsb.) sebagai totem, maka totem masyarakat modern adalah
benda-benda buatan pabrik. Ia menunjukkan bagaimana sistem pakaian masyarakat
modern bukan sekedar seperangkat objek materi untuk membuat hangat tubuh dsb.,
tetapi sebagai kode simbolik untuk mengkomunikasikan keanggotaan dalam suatu
kelompok sosial (priawanita, kelas ataskelas bawah dsb.). Lewat pakaian
masyarakat modern mengkomunikasikan keanggunan perempuan, keperkasaan lakilaki,
dan kehalusan kelas bangsawan.
McCracken
(1988) juga mengidentifikasi pemanfaatan
benda-benda konsumen dalam ritual-ritual masyarakat kontemporer. Ia mengajukan
beberapa ritual masyarakat kontemporer paling penting. Pertama,
'upacara pemberkatan', yang meliputi pengumpulan, pembersihan, perbandingan,
dan pertunjukkan benda-benda. Dekorasi kamar tidur dengan poster-poster.
Upacara ini memungkinkan pemiliknya mengklaim hak atas makna sebuah objek di
luar batas kepemilikan biasa. Ini merupakan cara mempersonalisasikan objek,
cara memindahkan makna dari dunia individu kepada benda yang baru diperoleh. Ia
mencontohkan upacara hadiah, misalnya pada hari ulang tahun, hari natal, atau
hari kasih sayang. Pemilihan dan pemberian benda-benda konsumen oeh seseorang
dan diberikan kepada orang lain merupakan sebuah perpindahan makna. Seringkali
sebuah benda dipilih sebagai hadiah karena benda tersebut memiliki makna
kepemilikan yang penuh yang ingin diberikan kepada orang lain. Misalnya,
seorang perempuan yang menerima sebuah pakaian diundang untuk mendefinisikan
dirinya menurut makna gayanya; pemberi bunga atau coklat mungkin meminta
penerimanya untuk menunjukkan sifat kelembutan atau sifat yang manis. Dari
perspketif ini, pemberian benda-benda pada suatu upacara (hari ulang tahu, hari
raya dsb.) dapat dipandang sebagai sarana yang paling tepat dalam komunikasi
antarpribadi atau pengaruh antarpribadi.
Budaya materi, dalam pandangan Marx, adalah objektifikasi
kesadaran sosial. Ini berawal dari distingsi Marx antara produksi yang
bermanfaat langsung bagi pembuatnya dengan produksi yang semata-mata untuk
kepentingan pasar. Proses yang terakhir inilah yang disebut Marx benda sebagai
komoditas. Meskipun tak mengalami bentuk-bentuk budaya materi modern, ia
kemudian sampai pada konsep fetishisme komoditas yang menggambarkan
penyembunyian cerita tentang siapa dan bagaimana sebuah objek dibuat.
Dalam
fetishisme modern, kegunaan benda-benda didistorsi secara sistematis oleh
pencarian keuntungan kapitalis. Dan jelas bahwa kebutuhan untuk mencari untung
ini telah secara dramatis melahirkan benda-benda baru yang dijual hanya untuk
memanipulasi konsumen.
Theodore W. Adorno (1974), penginterpretasi
Marx dari Kelompok Frankfurt yang dihormati,
mengintrodusir konsep nilai guna sekunder. Konsep ini menunjukkan fenomena
konsumsi dalam masyarakat industri dimana melalui kemasan, promosi dan iklan,
benda-benda dicocokkan dengan topeng-topeng yang didesain secara ekspresif
untuk memanipulasi hubungan yang mungkin terjadi antara benda-benda pada satu
sisi serta keinginginan, kebutuhan dan emosi manusia di sisi lain. Nilai
guna sekunder berjalan begitu dominasi nilai tukar telah diatur untuk menghapus
ingatan mengenai nilai guna murni benda-benda. Ini adalah dasar bagi estetika
komoditas, dimana komoditas berperan bebas dalam asosiasi dan ilusi budaya
yang sangat luas. Iklan secara khusus mampu mengeksploitasi kebebasn ini untuk
menampilkan citra romantis, eksotik, kepuaasan, atau kehidupan yang baik dengan
memperkenalkan barang-barang konsumen seperti sabun, mesin cuci, mobildan
minuman beralkohol. Ini persis dengan yang dikatakan Douglas dan Isherwood
tentang kemampuan benda-benda untuk mengkonkretkan maknamakna sosial yang
abstrak, tetapi dalam hal ini Adorno mampu menunjukkan peran media massa modern dalam proses
pengkongkretan ini.
Sejalan dengan langkah Adorno, Celia Lury
(1996) menunjukkan bahwa kelemahan studi budaya materi seperti yang dilakukan Douglas dan Isherwood adalah bahwa mereka hanya
memperlakukan benda-benda sebagai media nonverbal untuk kemampuan kreatif
manusia. Mereka gagal untuk secara meyakinkan mengkaji isuisu mengenai kekuatan
dan kontrol simbolik.
Arjun Appadurai (1986) mempercanggih
metodologi Douglas dan Isherwood dengan secara
langsung memusatkan kajiannya pada 'kehidupan sosial benda-benda'. Ia
menyatakan bahwa benda-benda bukan hanya bersifat sosial dan budaya semata,
melainkan benda-benda itu mempunyai kehidupan: bobot dan otoritas benda dapat
dipaksakan dalam kehidupan manusia, karena memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
keyakinan, memberi kewajiban, penampilan, dan kesenangan. Walaupun dari sudut
teoritis manusia sebagai pelaku menandai benda-benda dengan sebuah arti, namun
dari sudut metodologis pergerakan bendalah yang meghiasi konteks sosial dan
kemanusiaan mereka.
Secara agak mengejutkan, benda-benda
dikajinya secara naratif, dituturkan sebagai kisah dengan sarana 'sejarah
kehidupannya'. Pendeknya ia menelusuri narasi benda-benda dan jalur
lintasannya: darimana benda berasal, siapa pembuatnya, apa gunanya, berapa
'umur' atau 'periode kehidupan' benda tersebut, apa ciriciri budaya untuknya,
bagiamana kegunaan benda berubah sesuai umurnya dsb.
Contoh yang bagus untuk pendekatan model
Appadurai ini adalah studi Dick Hebdige tentang "siklus skuter Itali"
(1988). Hebdige menyelediki apa yang disebutnya dengan 'kepentingan budaya'
sebuah objek. Kepentingan ini digali dengan menelusuri perubahan arah yang
dialmpaui dalam sirkuasi benda-benda.
Strategi studinya adalah dengan mengikuti
fluktuasi makna sosial skuter dan kemudian menarasikannya; Hebdige menunjukkan.
bahwa skuter yang mula diasosiakan dengan status sosial yang rendah karena
bentuknya yang mirip mainan anak-anak , kemudian melonjak menjadi objek yang
dipuja karena diasosiakan dengan kenecisan dan modern pada awal '60an, dan
kemudian status skuter yang sekarang adalah sebagai benda nostalgia. Pada awal
peluncurannya, skuter didefinisikan sebagai 'perempuan', ia dianggap sebagai (bukan?)
kendaraan lakilaki. Dan sebagai perempuan, skuter dihidupkan dalam harapan
mengenai 'perkawinan'. Pabrikpabrik motor di Inggris, yang terkenal dengan
'kelelakiannya' kemudian dipaksa memproduksi skuter, sebuah kendaran yang lebih
'feminin' dan 'ramping'. Pada awal kemunculannya di Inggris, dengan dalih
"referensi maskulinitas dan keperkasaan", skuter secara moral bahkan
dicurigai sebagai anti etos kerja keras. Tetapi kemudian 'perkawinan' antara
sepeda motor dan skuter berlangsung juga. Hebdige mencontohkan bahwa pada tahun
'50-an skuter adalah ancaman terbesar bagi industri sepeda motor Inggris; dalam
sebuah pameran 3 sepeda motor harus bersaing dengan 50 skuter. Skuter kemudian
menjalani hidup baru setelah 'percerainnya' dengan sepeda motor.
"Keitalian" sebuah skuter menjadi penting, dan kefisienan desainnya
menjadi simbol objek masa depan. Keriangan kehidupan baru skuter ini kemudian
berubah sejak pertemuannya dengan klub-klub pecinta skuter dan balap skuter.
Pertemuan ini ini membawa skuter kepada identitas sebuah subkultur tertentu.
Dan di masa-masa akhir hidupnya, dengan
hadirnya sekolah-sekolah desain produk modern, kesempurnaan desain skuter
didramatisir dan menjadi ajang estetikasi kehidupan sehari-hari. Kejayaan
skuter akhirnya benar-benar runtuh karena munculnya sepeda motor-sepeda motor
kecil buatan Jepang, juga karena kewajiban memakai helm yang membuat naik
skuter tak setrendi pada masa-masa sebelumnya.
No comments:
Post a Comment