Saturday, May 4, 2013

"ADA APA DENGAN CINTA", FENOMENA GENERASI POSMO

print this page 
By : Fotarisman Zaluchu

Perhatian kita beberapa waktu belakangan ini sejenak terbelokkan oleh interupsi yang menarik. Dari pemandangan yang memiriskan menyaksikan ibukota negara dan warga Jakarta dilanda oleh banjir, konsentrasi kita beralih kepada hadirnya film berbau remaja: Ada Apa Dengan Cinta (AADC).
Wajar kita heran, karena pada minggu-minggu pertama diputar di bioskop-bioskop kelas atas, film ini sudah banjir penonton. Untuk bisa memperoleh karcis masuk, kita harus mengikuti antrean penonton, yang umumnya remaja. Apakah fenomena ini mengandung arti bahwa film ini berhasil menyampaikan makna tertentu? Ataukah ada sesuatu yang sedang terjadi pada remaja kita di sini, sehingga mereka merelakan berdesak-desakan hanya untuk menyaksikan film berdurasi 120 menit ini?
Kreatif atau Destruktif?
Film ini jelas berhasil masuk ke dalam segmentasi pasar potensial yang sangat tepat, yaitu remaja. Padahal, tema film ini sebenarnya biasa saja, yaitu kisah "cinta" yang dibumbui persahabatan (atau sebaliknya). Adalah Cinta, yang memiliki empat orang sahabat. Mereka kemana-mana selalu bersama, termasuk dalam aktivitas intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Sayangnya, persahabatan mereka terancam, oleh karena Cinta jatuh cinta pada Rangga, seorang siswa yang unik. Rangga cukup pintar-sehingga bisa pindah bersekolah ke luar negeri-tetapi sayangnya sangat pendiam dan kaku.
Tetapi di situlah konflik dalam film ini terbangun. Visualisasi masalah suka sama suka, marah-marahan, salah pengertian, persoalan keluarga, kepergian Rangga ke luar negeri, sampai akhirnya film ini berakhir dengan klimaks yang sangat klise: romantisme perpisahan di Bandara, dengan sangat baik dibangun.
Freud, seorang pakar psikoseksual, seperti dikutip oleh Konseng A (1995) pernah menjelaskan bahwa seiring dengan perkembangan dimensi genital (perkembangan organ reproduksi), seorang remaja akan mengalami perkembangan dimensi afektif berupa perasaan-perasaan kemesraan, kehangatan, keterharuan, perasaan kasihan, perasaan sepenanggungan dan sependeritaan; berisikan hubungan dan sikap emosional antara suami-isteri, orangtua-anak serta antara sahabat.
Film ini dengan sangat kreatif berhasil membangun tema ini. AADC sesungguhnya sama saja dengan film-film bertema remaja bertema percintaan lainnya. Hanya saja, film ini justru hadir tepat ketika kondisi psikologis remaja kita sedang mengalami kebosanan terhadap apa yang telah mereka jalani selama ini. Remaja-remaja perkotaan kita saat ini sedang dilanda oleh krisis yang dipicu oleh meningkatnya intensitas kenakalan di keluarga, pergaulan bebas serta pemakaian obat-obatan terlarang. Akibatnya, meskipun mereka menemukan kenikmatan sesaat, terjadi kejenuhan dan keinginan untuk mencari sesuatu cara "baru" untuk memahami dirinya. Film ini adalah salah satu dari caranya untuk menemukan dirinya sendiri.
Semakin vulgarnya tema-tema remaja dengan percintaannya diangkat ke layar lebar disertai dengan visualisasi yang semakin kreatif sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Perubahan perilaku yang muncul melalui citra, biasanya akan lebih mudah dikomunikasikan, dibandingkan dengan hanya mendengar saja. Remaja, yang sering disebut sebagai masa turbulensi dan demanding, justru sedang berada dalam tahap membangun citra diri (self image). Di saat-saat demikian, ia akan mencari dan menemukan keberadaan dirinya dari lingkungannya, termasuk salah satunya dari film-film.
Sayangnya, tanpa perhatian dan kontrol yang baik, pengaruh film justru lebih banyak berdampak ke arah perilaku yang negatif. Beberapa kasus membuktikan bahwa perkosaan remaja dan hubungan seks bebas, justru dilatarbelakangi oleh tontonan-tontotan cabul yang kini dapat dengan mudah mereka peroleh. Penelitian di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Medan, dan Denpasar menunjukkan bukti bahwa di kalangan remaja telah terjadi revolusi dalam hubungan seksual menuju ke arah liberalisasi tanpa batas. Salah satu penyebabnya menurut saya adalah karena citra yang dibangun melalui film-film kita.
Film AADC berhasil menciptakan ide percintaan justru dengan citra yang kurang baik untuk menjadi bahasa komunikasi bagi remaja. Kita tidak tahu sekolah mana yang mengijinkan murid-muridnya tidak beratribut lengkap dan bermode pakaian dan rambut urakan ke sekolah? Ataukah orangtua mana yang mengijinkan anaknya melakukan ciuman di tengah keramaian umum semacam Bandara Soekarno-Hatta? Sudah sedemikian parahnya nilai-nilai (value) perilaku yang dimiliki oleh remaja kita di Indonesia?
Sifat destruktif film ini terhadap kehidupan moralitas seakan menegaskan menguatnya fenomena generasi posmo. Generasi posmo adalah mereka-mereka yang lahir dan dibesarkan dalam suasana yang mapan, makmur dan mewah. Bergaya fungky dan enggan dikekang, mereka bergaul bebas dan tidak mau terikat pada peraturan. Segala sesuatu di-cuekin, yang penting semuanya semau gue. Bahkan untuk melengkapi kehidupan sosial mereka, generasi ini punya bahasa gaul tersendiri. Yang tulalit-lah, yang be-te-lah, dan lain sebagainya. 

No comments:

Post a Comment