Saturday, May 4, 2013

BISNIS DALAM CINTA

print this page 
By : benyamin harefa

Bisnis cinta, cinta bisnis, dan bisnis dalam cinta adalah tiga hal yang berbeda. Di sini, saya ingin bicara masalah bisnis dalam cinta.
Apakah yang saya maksudkan dengan bisnis dalam cinta? Bila A mencintai B dan juga sebaliknya, maka apakah bisnis dalam cinta mulai terjadi ketika keduanya memutuskan untuk membuka usaha bersama? Atau, apakah pengertiannya adalah A memberi diskon khusus, bahkan sekali-kali gratis, bila B membeli barang di tokonya? Ataukah pengertiannya adalah B memberi tenggang waktu (jatuh tempo) lebih lama untuk hutang dari perusahaan milik A dan bila perlu, pura-pura lupa?
          Bukan itu. Bisnis dalam cinta yang saya maksudkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis sehari-hari. Ini bukan masalah diskon khusus, barang gratis, atau toleransi bisnis yang lebih besar. Ini bukan tentang dua orang yang saling mencintai dan kemudian membuat usaha patungan bersama. Ini bukan tentang profesionalisme yang dicampuradukkan dengan cinta. Ini bukan tentang bisnis dalam percintaan. Ini tentang bisnis 'dalam' cinta.
Ketika saya masih SMA, saya membaca buku Erich Fromm berjudul Seni Mencinta, sebuah buku psikologi dan (bisa juga dikategorikan) filsafat yang sarat makna. Buku yang tidak mudah dicerna. Buku itu mengupas secara mendalam masalah jatuh cinta, jenis-jenis cinta dan penyakitnya, makna dan intepretasi terhadap cinta, dan seterusnya. Pokoknya tentang cinta dan 'seni'-nya.
Dari sekian banyak hal yang masih saya ingat, satu hal menarik yang Fromm ungkapkan adalah tentang bisnis dalam cinta. Ia mengatakan bahwa dalam proses menuju mencintai seseorang (lebih tepat dan jelasnya: dalam proses sebelum seseorang akhirnya menyatakan cintanya pada orang lain), kita pada umumnya melakukan transaksi bisnis.
Kita tidak akan menyatakan cinta kita pada orang yang tidak bisa kita 'beli'. Kita tidak akan menyatakan cinta pada orang yang 'harganya' terlalu mahal. Kita berhitung pantas tidaknya. Contoh praktisnya: Rudi tidak akan menyatakan cintanya pada Rini bila Rudi merasa Rini berada di luar jangkauannya. Rudi orang biasa, Rini anak pejabat. Rudi bukan pria tampan, Rini cantiknya luar biasa. Rudi IQ-nya normal, Rini IQ-nya abnormal (lebih tinggi). Rudi tamatan SMA, Rini sudah S-2. Rudi bekerja sebagai supir dan Rini adalah orang yang disupirinya.
Dengan perhitungan seperti itu, Rudi tidak akan berani mengungkapkan cintanya pada Rini. Seandainya (dan kadang-kadang memang terjadi) Rudi berani mengungkapkan cintanya, maka giliran Rini yang akan berhitung. Siapa sih Rudi? Pantaskah ia jadi pacarku? Selevelkah dia denganku? Bagaimana citraku nantinya bila aku menerima cintanya? Dan seterusnya. Singkatnya, ketika seseorang berani mengungkapkan cintanya pada orang lain, dan orang lain tersebut menerimanya, maka sebenarnya dapat dikatakan keduanya telah mencapai 'kesepakatan harga'. Ada transaksi bisnis yang disepakati diantara mereka berdua, transaksi yang tidak begitu jelas komoditinya (harga diri? ego?). Bahkan, seandainya Rudi dan Rini akhirnya menjadi pasangan, Fromm tetap beranggapan bahwa ada bisnis dalam cinta, yang perhitungannya bukan dari hal-hal yang disebutkan di atas. Pasti ada harga untuk sebuah pertemuan. Begitu kira-kira.
Bagaimana pendapat Anda? Saya pribadi harus jujur mengatakan: ada benarnya. Lebih baik diam daripada mengungkapkan cinta untuk kemudian ditolak. Lebih baik pasif daripada aktif tapi malu-maluin. Lebih baik diam di tempat daripada melangkah tanpa perhitungan dan kemudian kejeblos. Tanpa mengurangi hormat pada mereka yang berani tampil beda, tetapi begitulah kenyataan pada umumnya. Begitulah kira-kira bisnis dalam cinta.
Yang saya tahu pasti, ada satu cinta yang tidak melakukan perhitungan bisnis seperti itu, sebuah cinta tanpa bisnis di dalamnya: Cinta Allah kepada manusia.

No comments:

Post a Comment