Thursday, May 2, 2013

ALTERNATIF PENYIAPAN SDM UNTUK INDUSTRI ?

print this page Print
Onno W. Purbo

"Lulusan perguruan tinggi tidak siap pakai!" begitu komentar klasik terhadap sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Tentunya ada argumen lain dari pihak perguruan tinggi, misalnya "Perguruan tinggi bertugas untuk menelurkan pemikir / perencana bukan sekedar tukang; polyteknik yang menelurkan tukang". Akibatnya apa? industri / perusahaan mau tidak mau harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendidik para sarjana agar "siap pakai". Syukur-syukur kalau pekerjaan yang dilakukan para sarjana ini sesuai dengan bidang yang ditekuni di perguruan tinggi. Yang disayangkan (dan sudah menjadi rahasia umum), banyak sarjana yang terpaksa "melacur" dan mengambil pekerjaan yang berbeda dengan apa yang dipelajari diperguruan tinggi (contohnya: customer service). Tentunya sudah banyak usaha untuk mengatasi hal ini misalnya dengan mendirikan Pusat Antar Universitas (PAU) dan lembaga-lembaga penelitian yang diharapkan dapat bekerjasama dengan industri dan secara tidak langsung menelurkan sarjana-sarjana yang siap pakai selain meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Kerjasama ini tampaknya sudah mulai berjalan walaupun disana sini kebanyakan tersendat-sendat.

Pada kesempatan ini, saya mencoba mengupas kemungkinan pendayagunaan lebih lanjut pra-sarana dan lembaga-lembaga di perguruan tinggi terutama untuk meningkatkan bargaining position perguruan tinggi terhadap industri. Mudah-mudahan hal ini bisa memperlancar kerjasama yang tersendat-sendat tadi. Hal ini penting, terutama untuk menarik dana dari industri untuk penelitian di perguruan tinggi yang secara langsung akan meningkatkan mutu perguruan tinggi dan lulusannya. Jadi semacam simbiosa mutualisma - industri senang memperoleh sarjana yang baik dan lebih siap pakai beserta hasil penelitiannya; perguruan tinggi juga senang memperoleh dana untuk memperbaiki mutu pendidikan maupun kesempatan untuk meneliti.
Mengapa peningkatan bargaining position ini penting? Bayangkan jika seorang dosen / peneliti diperguruan tinggi yang ingin berdedikasi (tidak ingin ngobyek) bermaksud mengadakan penelitian untuk mengembangkan ilmunya. Mengharapkan uang penelitian dari DIP? barangkali harus menunggu sampai 2-3 tahun sebelum dana turun; belum lagi terkadang harus melalui proses tender yang bertele-tele. Itupun dana yang diperoleh tidak seberapa. Akhirnya sang dosen menengok kepada Industri dengan harapan bisa memperoleh dana yang lebih baik. Apakah industri akan dengan senang hati memberikan dana? bagaimana industri bisa menjustifikasi bahwa proposal yang diajukan memang bisa dilaksanakan? apakah memungkinkan untuk memproduksi dan memasarkan ide sang dosen ini? apakah sang dosen cukup berkualifikasi dan berpengalaman? dan yang terpenting apakah industri diuntungkan dengan ide sang dosen / peneliti ini? begitu sebagian pertanyaan yang mungkin terlintas dibenak para manager di perusahaan-perusahaan. Jelas bahwa saat ini bargaining position dosen perguruan tinggi sangat lemah, apalagi sebagai pihak yang membutuhkan dana.
Apakah inti permasalahan diatas? sebetulnya sederhana, semua berkisar pada masalah pertukaran informasi antara perguruan tinggi dan industri. Sebagai contoh, berapa banyak industri elektronika dan pabrik perakitan komputer mikro yang tahu bahwa beberapa dosen di perguruan tinggi di Indonesia mampu membuat sendiri transistor, chip (IC), perangkat lunak untuk komputer dan bahkan sempat berkomunikasi lewat komputer dengan Indonesia selama belajar di luar negeri? tanpa ada usaha untuk menerangkan dari para dosen ini, saya yakin tidak banyak industri yang tahu tentang kemampuan yang terkandung dalam perguruan tinggi. Dilain pihak, berapa banyak dosen yang tahu persis kemampuan dan kebutuhan industri di Indonesia? Hal yang sama berlaku untuk industri. Jelas disini, proses pertukaran informasi antara industri dan perguruan merupakan inti untuk mengetahui kekuatan yang ada dikedua belah pihak dan akhirnya akan menaikan bargaining position dari perguruan tinggi.
Dengan semakin berkembangnya komputer, teknologi informasi elektronik komputer akan sangat memperlancar proses pertukaran informasi. Proses ini jauh lebih cepat dan sangat effisien dibandingkan media konvensional lainnya, seperti surat kabar, majalah, seminar, konferensi, fax, telepon dll. Apakah jaringan komputer telah berkembang di Indonesia? YA! beberapa perusahaan yang cukup besar seperti USI/IBM, Schlumberger dan Astra Graphia telah menyambungkan komputernya dengan jaringan komputer internasional. Saya di Canada sering berhubungan dengan teman-teman di perusahaan tersebut melalui komputer.
Bagaimana dengan dunia perguruan tinggi dan lembaga penelitian? PUSILKOM-UI telah beberapa lama berusaha mengembangkan jaringan komputer. Sayangnya tarif telepon interlokal dan SKDP relatif cukup mahal untuk perguruan tinggi negeri, akhirnya jaringan komputer ini tersendat-sendat. Mungkinkah ini salah satu contoh lemahnya bargaining position perguruan tinggi terhadap industri? Dengan adanya banyak SBK di perguruan tinggi, seperti ITB, ITS, IPB dan Universitas Indonesia Timur, alangkah bermanfa'atnya jika bisa dialokasikan 1-2% dari kapasitas sebuah transponder PALAPA untuk keperluan jaringan komputer untuk penelitian dan pendidikan di Indonesia. Bukankah salah satu misi PALAPA adalah untuk membantu dunia pendidikan? Alternatif lain (menggunakan radio), tengah digalakkan oleh ITB dengan dimotori oleh Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana, Dr. Nasserie dan Dr. Kusmayanto Kadiman. Bahkan Prof. Alisyahbana telah berhasil memasang sebuah stasiun bumi sederhana untuk masuk ke satelit internasional komunikasi komputer radio yang memungkinkan hubungan internasional tanpa melalui SKDP. Hal ini memungkinkan pembentukan jaringan komputer biaya murah tanpa perlu bergantung sepenuhnya pada telepon.
Jelas dari penjelasan di atas bahwa infra-struktur jaringan komputer dikedua belah pihak baik industri maupun perguruan tinggi telah mulai berkembang. Tinggal bagaimana menghubungkan jaringan-jaringan komputer yang ada menjadi satu kesatuan agar diperoleh manfa'at bagi kedua belah pihak. Secara teknis sebetulnya sangat mudah. Masalah terberat adalah birokrasi dan masalah administratif dari kedua belah pihak.
Mari kita renungkan bersama, apa yang akan kita peroleh dengan menyatukan infra- struktur informasi di perguruan tinggi dan industri. Bayangkan, waktu untuk menyiapkan seorang sarjana "siap pakai" di industri menjadi lebih singkat. Di samping itu, industri memperoleh masukan alternatif solusi / rancang bangun dari hasil penelitian di perguruan tinggi untuk produksinya. Bahkan, dapat diharapkan akan terjadi perbaikan mutu barang / jasa yang dipasarkan. Dilain pihak, mutu pendidikan tinggi menjadi naik dengan adanya masukan dana tambahan dari industri. Di samping itu, ilmu pengetahuan dan pengalaman dosen dalam meneliti akan meningkat. Hal ini sangat bermanfa'at untuk memperkaya pengetahuan para mahasiswa di perguruan tinggi. Hal lain yang akan sangat positif, perguruan tinggi akan dipaksa untuk memacu diri dalam membentuk dan membenahi jenjang pendidikan S2 dan S3 untuk menyediakan tenaga peneliti di perguruan tinggi yang secara langsung akan meningkatkan ilmu pengetahuan dan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Akhirnya, perguruan tinggi dan industri menjadi saling mengetahui akan kebutuhan, kemampuan maupun kekuatan yang ada di samping kemungkinan untuk bertukar informasi dan pengalaman.
Hal lain yang terpenting, dengan adanya jaringan komputer, seluruh jaringan birokrasi dan administratif yang sangat menghambat pekerjaan dapat dengan mudah dihilangkan / dilewati. Tidak perlu lagi kita membuang waktu menunggu di ruang tunggu hanya untuk meminta tanda tangan / bertemu dengan seorang kepala biro. Jejang administratif secara tidak sadar dapat dipersempit, contohnya, seorang dosen muda di perguruan tinggi dapat langsung berhubungan dengan direktur perusahaan tanpa menanti di ruang tunggu serta berhadapan dengan berbagai prosedur administratif melalui berlapis sekertaris. Tidak perlu lagi bersusah payah mengumpulkan seluruh staf ahli / peneliti hanya untuk rapat bulanan. Rapat dapat dilakukan tanpa perlu bertatap muka setiap hari bahkan setiap menit melalui surat elektronis. Jelas bahwa waktu untuk pemroses suatu pekerjaan dapat sangat dipersingkat.
Bukan mustahil dengan terbentuknya jaringan komputer ini, kita akan melihat sebuah revolusi informasi, industri dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Memang untuk merealisasi semua ini dibutuhkan kerja keras (terutama membenahi masalah birokrasi dan administratisi) dari pihak industri maupun perguruan tinggi. Tapi saya pribadi yakin bahwa semua ini bukan hal yang mustahil melihat potensi yang terkandung di perguruan tinggi maupun industri, apalagi jika didasari dengan keinginan dan niat baik dari berbagai pihak yang terkait. Bukan hanya perguruan tinggi dan industri yang akan memperoleh keuntungan oleh sistem ini, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Semoga!
Onno W. Purbo. Staf jurusan teknik elektro dan PAU Mikroelektronika ITB. Sedang menempuh program Ph.D di University of Waterloo, Canada.


No comments:

Post a Comment