Friday, May 3, 2013

Selingkuh Tiada Akhir

print this page Print
Oleh: Gede Prama

Karena sudah lama mencintai kegiatan tertawa, ada saja teman yang bersedia membagi cerita ke saya. Alkisah, ada seorang wanita yang amat setia pada suaminya. Tidak pernah sekalipun, ia melakukan kegiatan perselingkuhan. Oleh karena itu, bisa dimaklumi kalau ketika meninggal ia masuk surga. Dan yang paling penting, ia berangkat ke surga dengan mengemudikan mobil mewah Jaguar.
Tetangga wanita tadi lain lagi. Ketika ditanya oleh petugas pintu surga dan neraka, apakah ia pernah selingkuh atau tidak, dengan jujur ia menjawab, hanya pernah selingkuh sepuluh kali. Menyadari, bahwa angka sepuluh terakhir masih di bawah rata-rata, maka tetangga inipun bisa masuk surga. Bedanya, ia pergi ke surga hanya dengan menaiki Toyota Kijang. Alangkah terkejutnya pengemudi Kijang terakhir, ketika menemui wanita tetangganya yang naik Jaguar tadi, berhenti di tengah jalan sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa kali ditanya, tetap saja tidak bisa menjawab karena hisak tangisnya yang tidak berhenti-berhenti.
Ketika semua air matanya habis, sambil menyesal ia bertutur : 'bukannya saya tidak mensyukuri naik Jaguar, namun ketika menoleh ke jalan bawah sana, dengan terang kelihatan kalau suami saya sedang menuju ke sini hanya dengan mengendarai sepeda'.
Demokrasi sudah lama memasuki wilayah tawa. Jadi, Anda bebas sebebas-bebasnya tertawa dengan cerita ini. Hanya saja, setiap kali saya membaca dan mendengar kisah republik ini yang demikian terpuruknya - lengkap dengan banknya yang terkena negative spread, serta nilai rupiahnya yang tidak kunjung menggembirakan - saya teringat lagi lelucon di atas.
Antara lelucon di atas di satu sisi, dengan krisis ekonomi Indonesia di lain sisi, sepintas memang tidak ada hubungannya. Atau kalau dicari hubungannya, hanya akan mencari-cari saja. Entah di dunia lelucon, atau di dunia ilmiah, sebenarnya keduanya disatukan oleh sebuah benang merah : mau bepergian, membeli tiket pesawat, tapi tidak tahu tujuannya mau ke mana.
Serupa dengan sang suami yang naik sepeda ke surga, demikian juga nasib ekonomi dan perbankan di negeri ini. Kesakitan, lelah, habis keringat dikuras oleh kegiatan-kegiatan yang tidak jelas mau kemana. Coba lihat intervensi BI untuk memperkuat rupiah, ia seperti menggarami laut. Perhatikan saja kebijakan geregetan di sektor perpajakan, ia lebih menyerupai kepanikan dibandingkan kejernihan. Cermati juga cara sejumlah bank besar melakukan ekspansi, ia mirip dengan kegiatan menjaring air kolam. Demikian juga penanganan banyak bank dalam memecahkan masalah negative spread, politisi dalam mencari jalan keluar, atau juga perseteruan MPR/DPR dengan presiden dalam mencari jalan keluar.
Tidak jauh berbeda dengan orang bepergian yang mesti mulai dengan tujuan, demikian juga dengan pengelolaan perekonomian dan perbankan. Kebijakan dan strategi yang dibangun di atas tujuan yang tidak jelas, hanya akan membawa kita pada kepanikan-kepanikan baru. Demikian banyak dan menumpuknya kepanikan, sampai-sampai banyak orang tidak sadar lagi, kalau sedang menaiki pesawat yang terbang tinggi dengan kecepatan yang tinggi juga, tapi tidak memiliki tujuan.
Sebagaimana kita semua sudah tahu, seberapa cepatpun kita terbang, tidak akan pernah bisa sampai di tujuan, kalau tujuannya tidak jelas dari awal hingga akhir. Ia hanya akan membuat semua orang berputar lelah di wilayah yang tanpa arah.
Kadang ada sahabat yang bertanya : kenapa setelah demikian banyak intelektual yang dihasilkan negeri ini, toh kita semakin terpuruk dengan krisis-krisis berikutnya ?. Entah bagaimana pendapat Anda, bagi saya intelektualitas bukanlah segala-galanya. Ia hanyalah salah satu sudut pandang, di tengah banyak sekali sudut pandang lainnya.
Tujuan dan kebenaran lainnya, lebih mungkin didekati, kalau kita bersedia merangkum, merangkai dan menggandengkan beragam pendekatan ini. Seperti cermin yang sudah pecah, wajah kita akan tampil utuh, kalau kegiatan merangkai terakhir bisa dilakukan.
Sayangnya, kegiatan merangkai inilah yang sulit sekali dilakukan di negeri ini. Ekonom menuduh polititisi sebagai biang keladi. Politisi mengatakan ekonom tidak becus dalam membangun fundamen-fundamen ekonomi. Dan seterusnya tanpa mengenal kata henti. Seolah-olah, semua orang sedang 'berselingkuh' demikian asiknnya dengan kebenaran dan profesi masing-masing. Maka jadilah negeri ini sebuah skandal 'selingkuh' terbesar.
Bagaimana tidak terbesar, bila suami atau isteri yang berselingkuh, ia masih dihinggapi perasaan bersalah dan berdosa. Ekonom, politisi dan pembela-pembela kebenaran parsial lainnya, berselingkuh tanpa menyadari sedikitpun kekeliruannya.
Mungkin benar anggapan semua orang, bahwa kita memang sekumpulan manusia yang amat 'setia' pada bangsa dan negara. Dan salah seorang sahabat yang entah melawak entah frustrasi, menyebut setia itu kepanjangannya adalah selingkuh tiada akhir. Dan bahkan tulisan inipun sebenarnya bentuk lain dari selingkuh. Bagaimana tidak selingkuh, kalau hanya bermodalkan selembar halaman majalah, namun mau menyelesaika persoalan bangsa ?

No comments:

Post a Comment