Saturday, May 4, 2013

BUDAYA LEX TALIONIS

print this page 
Sudah sejak lama, peradaban manusia diilhami oleh prinsip-prinsip pembalasan yang berbau kekerasan. Peradaban manusia, hidup dari pernyataan "mata ganti mata, gigi ganti gigi" (eye for eye, and tooth for tooth) yang selama berabad-abad lamanya seolah menjadi solusi dari segala persoalan.
AS, menuntut pembalasan atas perlakuan teroris-dalam hal ini sebagai tersangka adalah Osama dan Taliban-sementara Afganistan merasa berhak membela diri dan membalas perlakuan tidak adil dari AS. Di Jerusalem dan jalur Gaza, Israel membalas menyerang Palestina, karena membalas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi pada politisinya. Sementara Palestina, merasa berhak melawan dan juga kalau perlu membunuh, karena mereka sudah cukup banyak kehilangan warganya.
Lex talionis (prinsip pembalasan) memang kejam. Di dalam negeri, pada Mei 1998, ada aksi massa yang membakar toko dan memperkosa, serta membunuh warga keturunan. Massa itu, merasa punya hak untuk melakukan itu semua, sebagai balasan pada mereka yang menguasai sektor ekonomi. Di Kalimantan, warga pendatang dibunuh dan diusir, karena warga asli merasa tertindas dan selama ini tertekan hidupnya. Mereka merasa lebih berhak untuk hidup di tanah mereka sendiri.
Dimana-mana, pembalasan-pembalasan menjadi sesuatu yang biasa terjadi. Hari ini ada maling dibakar oleh massa sebagai balasan atas kelakuannya. Dan esok hari, entah pembalasan apa yang akan terjadi!
Sama seperti demikianlah yang terjadi belakangan ini. Di Amerika, ada tuntutan untuk membalaskan kematian ribuan jiwa di bawah reruntuhan WTC. Dan di berbagai belahan dunia, semisal di Indonesia, ada tuntutan massa untuk membalaskan perlakuan AS terhadap warga Afganistan. Lex talionis.
Kebudayaan yang dibangun di atas lex talionis memang akan selalu membawa umat manusia ke dalam kancah kekerasan demi kekerasan yang sering sekali bersimbahkan darah, termasuk darah manusia itu sendiri. Lex talionis akan selalu meminta tuntutan-tuntutan berikutnya dari sebuah pembalasan. Maka pembalasan adalah warna manusia di abad modern ini.
Bagaimana dengan Indonesia? Secara konseptual, Indonesia adalah negara modern yang dibangun di atas prinsip saling menjunjung tinggi keberadaban manusia. Ketika Indonesia disusun oleh para pendiri negara ini, suasana yang ada adalah suasana yang tidak berbau balas dendam terhadap penjajah.
Sebaliknya, Soekarno, Hatta, Soepomo, atau yang lainnya, meskipun pernah merasakan betapa pahitnya menjadi bangsa jajahan, dan juga pernah merasakan akibat dari penjajahan itu sendiri, semisal dibuang, dikejar, disiksa, bahkan diperlakukan tidak manusiawi, justru memilih kata-kata yang beradab ketika menyusun asas-asas negara RI.
Maka Indonesia sebenarnya, adalah satu negara yang merdeka, dan berkehendak untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial demikian alinea keempat mereka tuliskan dan wariskan sampai sekarang.
Ketertiban dunia, memang sedang berada di ujung tanduk kekerasan. Dimana-mana, penghargaan terhadap kemerdekaan bangsa lain berada di titik nadir. Sebagai contoh, dunia melihat bagaimana Israel-atas dukungan AS-dengan semena-mena mengobrak-abrik Palestina dengan kekejaman dan kekerasan bersenjata yang sering mengorbankan warga sipil yang justru tidak berdosa. Dan sayangnya, PBB justru tidak mampu berbuat apa-apa.
Bukan hanya itu, perdamaian yang abadi barangkali hanya akan menjadi impian kosong. Saat ini, setiap negara hanya membangun hubungan-hubungan yang hanya mempertimbangkan keuntungan dan kepentingan semata; sebaliknya bukan membangun ketulusan hubungan kenegaraan yang menginginkan perdamaian setulus-tulusnya. Kita masih ingat kalau Taliban yang diperangi oleh AS ini adalah Taliban yang dulu pernah mereka dukung ketika negara itu melawan Uni Sovyet. Bukankah mustahil mengharapkan dunia yang bebas kepentingan?
Dunia sekarang ini pun sedang berada dalam "dunia yang didominasi Utara". Negara-negara Barat adalah negara-negara dengan teknologi plus modal yang kuat dan maju, sementara persis di belahan sebaliknya, milyaran penduduk negara-negara kecil dan miskin, hidup dari utang-utang dan belas kasihan negara-negara donor. Bagaimana kita mencermati ketimpangan semuanya ini? Bagaimana kita bisa mengharapkan keadilan sosial jika negara-negara Barat justru lebih banyak mendikte dan mengekspoitasi negara-negara terbelakang?
Bagaimana dengan penerapan konsep nilai-nilai luhur kemanusiaan itu di Indonesia, setelah 56 tahun kemerdekaan? Sayangnya, tidak sejalan. Kita patut prihatin bahwa Indonesia pun adalah "school of lex talionis" yang paling baik. Dimana-mana ada kekerasan. Dimana-mana ada aksi dendam dan balas-membalas. Dimana-mana ada manusia yang membunuh dan dibunuh secara sia-sia. Hari ini orang lain, besok mungkin anda sendiri.
Indonesia, sampai kapankah terus begini? 

No comments:

Post a Comment