By : Fotarisman Zaluchu
Perhatian kita beberapa waktu
belakangan ini sejenak terbelokkan oleh interupsi yang menarik. Dari
pemandangan yang memiriskan menyaksikan ibukota negara dan warga Jakarta
dilanda oleh banjir, konsentrasi kita beralih kepada hadirnya film berbau
remaja: Ada Apa Dengan Cinta (AADC).
Wajar kita
heran, karena pada minggu-minggu pertama diputar di bioskop-bioskop kelas atas,
film ini sudah banjir penonton. Untuk bisa memperoleh karcis masuk, kita harus
mengikuti antrean penonton, yang umumnya remaja. Apakah fenomena ini mengandung
arti bahwa film ini berhasil menyampaikan makna tertentu? Ataukah ada sesuatu
yang sedang terjadi pada remaja kita di sini, sehingga mereka merelakan
berdesak-desakan hanya untuk menyaksikan film berdurasi 120 menit ini?
Kreatif atau Destruktif?
Film ini jelas
berhasil masuk ke dalam segmentasi pasar potensial yang sangat tepat, yaitu
remaja. Padahal, tema film ini sebenarnya biasa saja, yaitu kisah
"cinta" yang dibumbui persahabatan (atau sebaliknya). Adalah Cinta,
yang memiliki empat orang sahabat. Mereka kemana-mana selalu bersama, termasuk
dalam aktivitas intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Sayangnya, persahabatan
mereka terancam, oleh karena Cinta jatuh cinta pada Rangga, seorang siswa yang
unik. Rangga cukup pintar-sehingga bisa pindah bersekolah ke luar negeri-tetapi
sayangnya sangat pendiam dan kaku.
Tetapi di
situlah konflik dalam film ini terbangun. Visualisasi masalah suka sama suka,
marah-marahan, salah pengertian, persoalan keluarga, kepergian Rangga ke luar
negeri, sampai akhirnya film ini berakhir dengan klimaks yang sangat klise:
romantisme perpisahan di Bandara, dengan sangat baik dibangun.
Freud, seorang
pakar psikoseksual, seperti dikutip oleh Konseng A (1995) pernah menjelaskan
bahwa seiring dengan perkembangan dimensi genital (perkembangan organ reproduksi),
seorang remaja akan mengalami perkembangan dimensi afektif berupa
perasaan-perasaan kemesraan, kehangatan, keterharuan, perasaan kasihan,
perasaan sepenanggungan dan sependeritaan; berisikan hubungan dan sikap
emosional antara suami-isteri, orangtua-anak serta antara sahabat.
Film ini
dengan sangat kreatif berhasil membangun tema ini. AADC sesungguhnya sama saja
dengan film-film bertema remaja bertema percintaan lainnya. Hanya saja, film
ini justru hadir tepat ketika kondisi psikologis remaja kita sedang mengalami
kebosanan terhadap apa yang telah mereka jalani selama ini. Remaja-remaja
perkotaan kita saat ini sedang dilanda oleh krisis yang dipicu oleh
meningkatnya intensitas kenakalan di keluarga, pergaulan bebas serta pemakaian
obat-obatan terlarang. Akibatnya, meskipun mereka menemukan kenikmatan sesaat,
terjadi kejenuhan dan keinginan untuk mencari sesuatu cara "baru"
untuk memahami dirinya. Film ini adalah salah satu dari caranya untuk menemukan
dirinya sendiri.
Semakin
vulgarnya tema-tema remaja dengan percintaannya diangkat ke layar lebar
disertai dengan visualisasi yang semakin kreatif sebenarnya cukup
mengkhawatirkan. Perubahan perilaku yang muncul melalui citra, biasanya akan
lebih mudah dikomunikasikan, dibandingkan dengan hanya mendengar saja. Remaja,
yang sering disebut sebagai masa turbulensi dan demanding, justru sedang berada
dalam tahap membangun citra diri (self image). Di saat-saat demikian, ia akan
mencari dan menemukan keberadaan dirinya dari lingkungannya, termasuk salah satunya
dari film-film.
Sayangnya,
tanpa perhatian dan kontrol yang baik, pengaruh film justru lebih banyak
berdampak ke arah perilaku yang negatif. Beberapa kasus membuktikan bahwa
perkosaan remaja dan hubungan seks bebas, justru dilatarbelakangi oleh tontonan-tontotan
cabul yang kini dapat dengan mudah mereka peroleh. Penelitian di beberapa kota
besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Medan, dan Denpasar menunjukkan bukti bahwa
di kalangan remaja telah terjadi revolusi dalam hubungan seksual menuju ke arah
liberalisasi tanpa batas. Salah satu penyebabnya menurut saya adalah karena
citra yang dibangun melalui film-film kita.
Film AADC
berhasil menciptakan ide percintaan justru dengan citra yang kurang baik untuk
menjadi bahasa komunikasi bagi remaja. Kita tidak tahu sekolah mana yang
mengijinkan murid-muridnya tidak beratribut lengkap dan bermode pakaian dan
rambut urakan ke sekolah? Ataukah orangtua mana yang mengijinkan anaknya
melakukan ciuman di tengah keramaian umum semacam Bandara Soekarno-Hatta? Sudah
sedemikian parahnya nilai-nilai (value) perilaku yang dimiliki oleh remaja kita
di Indonesia?
Sifat
destruktif film ini terhadap kehidupan moralitas seakan menegaskan menguatnya
fenomena generasi posmo. Generasi posmo adalah mereka-mereka yang lahir dan
dibesarkan dalam suasana yang mapan, makmur dan mewah. Bergaya fungky dan
enggan dikekang, mereka bergaul bebas dan tidak mau terikat pada peraturan.
Segala sesuatu di-cuekin, yang penting semuanya semau gue. Bahkan untuk
melengkapi kehidupan sosial mereka, generasi ini punya bahasa gaul tersendiri.
Yang tulalit-lah, yang be-te-lah, dan lain sebagainya.
No comments:
Post a Comment