Sungguh menjadikan sebuah kesaksian yang luar biasa bagi saya
ketika saya melihat kerusuhan yang membakar habis lebih dari 50% aset kegiatan
perekonomian kota Solo pertengahan Mei 1998 yang baru lalu. Kebetulan beberapa
'momen' pembakaran-pembakaran gedung, saya melihat langsung, tertegun tanpa
bisa berbuat apa-apa. Kenapa orang-orang yang tampak lugu dan polos bisa
memiliki sebuah kebencian yang luar biasa sehingga mampu secara kolektif
merusak apa saja yang dilewatinya. Kebencian yang mampu menggerakkan hampir
sebagian besar orang-orang yang justru nafkahnya datang dari 'aliran' toko, mal
dan pusat perdagangan -bapak-bapak tukang becak, tukang gorengan, tukang
parkir,dsb- yang dengan 'gegap-gempita' mereka ikut andil dalam proses
pengrusakannya.
Sebuah pelajaran hidup yang menarik, ketika mereka kemudian
menyadari bahwa nafkah mereka datang dari para pegawai mal, juga dari para
pembelanja pusat perdagangan sehingga ketika tempat kegiatan ekonomi tersebut
hangus terbakar, tidak ada lagi uang mengalir untuk mereka.
Sebuah contoh 'aturan-main' Tuhan yang membuat orang-orang yang
mau 'melihat' dan 'mendengar' akan memetik pelajaran darinya. Dalam kebencian
mereka waktu itu diantara banyak pilihan justru memlih untuk ikut merusak,
sehingga timbul konsekuensi -sebagai aturan-main-Nya- berbulan-bulan mereka
kehilangan nafkah untuk menghidupi anak istri.
Setahun lebih kemudian, potensi anarki kembali muncul ketika calon
presiden harapan sebagian besar orang Solo gagal terpilih menjadi presiden. Dan
ketika orang-orang turun ke jalan mulai marah, namun sungguh menarik ketika
situasi mulai memanas, para tukang becak, tukang parkir, dan tukang-tukang
lainnya yang nafkahnya 'teraliri' dari pusat perdagangan tempat mereka mangkal
yang semula ikut merusak, kali kedua ini 'justru' berlomba-lomba membentuk
pagar betis agar rombongan perusak tidak mendatangi mereka. Sungguh saya pikir
untuk hal ini mereka telah belajar untuk mendengar Tuhan.
Terlepas kejadian di atas merupakan rekayasa atau bukan tapi yang
jelas saya percaya hal tersebut merupakan fragmen kecil dari 'grand-design'-Nya
dari sejak alam semesta terbentuk sampai dengan sekarang ketika kita diberi
kesempatan untuk memberikan kesaksian.
Contoh kecil yang menjadikan saya percaya Dia ada dan firman-Nya
selalu mengalir yang seharusnya saya pikir merupakan keajaiban-keajaiban. Udara
yang tidak habis-habis kita hirup, kelahiran bayi, kematian, lalat terbang,
semuanya adalah keajaiban.
Orang-orang besar berusaha mendengar-Nya dan berusaha
mengkomunikasikan apa yang mereka dengar dalam bentuk karya-karya dan
pengabdian-pengabdian mereka. Sebut saja Isaac Newton, Albert Einstein, Sigmun
Freud, Mahatma Gandhi, Pablo Picasso, Mozart, dan banyak lagi. Ada yang
mendengar-Nya harus melalui benturan-benturan hidup seperti bapak-bapak tukang
becak, tukang parkir, dsb pada fragmen cerita di awal.
Bentuk ekstrimnya mungkin kalau anda pernah baca pengalaman Victor
Frankl di kamp Nazi. Atau yang sengaja memilih untuk berusaha mendengar Tuhan
seperti Kahlil Gibran yang menuangkan dalam salah satu bukunya Sang Nabi yang
tak pernah bosan saya berulang kali membacanya. Karena setiap kali saya
mengulang membacanya saya selalu berada pada momen pengertian-pengertian baru
dalam usaha mendengar Tuhan. Alenia yang paling saya suka diantaranya:
"Dan jika kau
ingin mengenal Tuhan janganlah menjadi penebak teka-teki. Sebaiknya pandanglah
sekitarmu dan kau akan melihat-Nya sedang bermain dengan anak-anakmu. Dan
layangkan pandangan ke angkasa luas, kau akan melihat-Nya sedang berjalan di
atas awan, mengulurkan tangan-Nya dalam kilat membahana dan turunlah hujan
membasuh wajah dunia. Kau akan melihat-Nya sedang tersenyum dengan bunga-bunga
lantas membumbung tinggi dan kau lambai-lambaikan tangan-Nya di pepohonan
..."
Telah banyak orang memberi label terhadap aturan-main-Nya yang
berusaha kita untuk mendengar, berusaha untuk kita mengerti. Sebut saja dalam
'bahasa' Stephen Covey dia definisikan dengan Principle dengan berbagai sifatnya,
dunia Islam menyebutnya sebagai 'Sunatullah', Natural-Law sebutan untuk yang
lebih berbau 'science', terkadang pemikir Jawa memakai istilah 'Sangkan
paraning dumadi' , saya pun menangkap maksud senada pada istilah
"Force"-nya ajaran Mahaguru Joda pada kisah 'Star-War'.
Saya ingin berbagi
cerita sebuah dialog dalam bahasa Inggris (maaf ketika saya coba terjemahkan
dari dialog aslinya, saya khawatir akan bermakna berbeda dari yang
dimaksudkan), antara seorang dokter forensik yang sepanjang karirnya selalu
dilatih untuk merangkai logika-logika dari yang tidak masuk akal sekalipun yang
pada kasus terakhir dia menemukan terlalu banyak keanehan-keanehan sehingga
tidak sanggup dia me-logika-kannya, dengan seorang pendeta pada bilik pengakuan
dosa sebuah gereja, sebuah tempat yang sudah lama sekali tidak dikunjungi sang
dokter yang seorang Katholik.
"Father, Do you believe in miracle?", tanya sang dokter.
"Yes, my child", balas sang pendeta ,"I believe in
birth, love, happiness...."
"No, I mean something that doesn't make any sense, something
that beyond our thingking."
Oooh....", Si pendeta tidak mampu berkata. "So, what do
your sin, my child", sang pendeta berusaha mengingatkan si dokter karena
dia datang ke bilik pengakuan dosa.
"No, father. I am here not to make any confession. Iam here
because Iam just affraid...affraid that God is always speaking but nobody's
listening...", jawab sang dokter dengan raut muka mengekspresikan rasa
takut.
Sepertinya kaitan ceritanya rada jauh hanya saja pada kata
terakhir termakna bentuk kekhawatiran yang sepertinya juga saya miliki ketika
melihat disekeliling saya 'ternyata' masih banyak kejadian kriminal, korupsi,
menipu orang yang seharusnya dilayani…
Saya berusaha untuk selalu mendengar-Nya, saya ajak anda untuk
juga mendengar-Nya, maukah anda mengajak orang-orang di sekitar anda untuk juga
mendengar-Nya ?…
No comments:
Post a Comment