Emotional Intelligence
Kecerdasan Emosional
Mengapa EI lebih penting daripada IQ
Daniel Goleman ,Ph.D
ISBN
979-605-408-6 ; GM 204-96-408 ;
15 x 24 ; xvi & 497 hlm ; Rp.40.000,-
Cet.ke-10
Buku menggemparkan yang mendefinisikan ulang apa
arti cerdas!
Buku ini sebaiknya dibaca
oleh para Orang Tua, Guru, Mahasiswa
(calon-calon pemimpin masa depan), para manager, para komandan (dan calon-calon komandan), pemimpin parpol,
pejabat pemerintahan, dan para pemimpin lainnya!
Kecerdasan
Emosional Pengaruhi Motivasi Tempur Prajurit Kostrad
Jakarta ( Kompas , Jumat 26 Oktober 2001 hal. 6 )
Terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional
dengan motivasi tempur
Komando Cadangan Strstegis TNI Angkatan Darat (Kostrad) . Jika
kecerdasan
emosional prajurit
ditingkatkan , motivasi tempurnya pun
akan meningkat.
Semakin rendah kecerdasan emosionalnya, maka semakin menurun
motivasi
tempurnya.
Demikian antara lain kesimpulan dari disertasi doktor ilmu
pendidikan Dr. Kazan
Gunawan berjudul Motivasi Tempur Prajurit: Survei di Kostrad
(2001) yang
disajikan dalam sidang
terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang
dipimpin Rektor UNJ Prof.Dr. Sutjipto, Kamis (25/10). Ikut menguji manta
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.
Kazan dalam kesempatan itu dinyatakan
lulus cum laude dengan Indeks
Prestasi Kumulatif 3,96 .
Apa itu Kecerdasan Emosional? Bacalah karya Daniel
Goleman ini!
Inilah kutipan
dari bagian pengantarnya:
Tantangan Aristoteles
Siapa
pun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan
kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan
cara yang baik‑bukanlah hal mudah.
Aristoteles,
The Nicomachean Ethics
Siang itu siang bulan
Agustus yang benar‑benar sangat panas di New York City, hari yang membuat orang
mandi keringat dan bersungut‑sungut karena merasa tidak nyaman. Saya sedang
berjalan pulang ke hotel, dan sewaktu melangkah memasuki bis yang menuju
Madison Avenue, saya dikejutkan oleh pengemudinya, seorang pria kulit hitam
setengah baya yang tersenyum penuh semangat dan menyambut saya dengan sapaan
ramah, "Hai! Apa kabar?", sapaan yang diberikannya kepada setiap
orang yang memasuki bisnya sewaktu bis itu merayap menembus kepadatan lalu
lintas di tengah kota. Setiap penumpang sama terkejutnya seperti saya, dan,
karena terpengaruh suasana murung siang itu, sedikit saja yang membalas
sapaannya.
Tetapi,
sewaktu bis berjalan pelan‑pelan di kemacetan lalu lintas menuju wilayah
permukiman, terjadilah perubahan pelan yang agak mencengangkan.
Pengemudi tersebut menciptakan monolog yang lincah untuk menyenangkan kami,
komentar memikat tentang pemandangan yang berlalu di hadapan kami: ada obral
menarik di toko itu, pameran hebat di museum ini, sudahkah Anda mendengar
tentang bioskop yang baru saja dibuka di blok sini? Rasa senangnya pada
banyaknya kemungkinan yang ditawarkan oleh kota itu menular.
Pada saat turun dari bis, setiap penumpang secara bergiliran menanggalkan wajah
murung ketika memasuki bis, dan saat pengemudi itu berseru "Sampai jumpa,
semoga sukses!" masing‑masing
membalas dengan senyuman.
Kenangan
peristiwa tersebut tersimpan di benak saya selama hampir 20 tahun.
Ketika saya naik bis di Madison Avenue itu, saya baru saja menyelesaikan
program doktor di bidang psikologi, tetapi kecil sekali perhatian terhadap
psikologi saat itu mengenai bagaimana perubahan semacarn itu dapat berlangsung.
Psikologi hanya sedikit saja tahu, atau samasekali tidak tahu, mengenai
mekanisme perasaan. Namun, membayangkan virus rasa riang yang menyebar menembus
kota besar itu, yang dimulai dari penumpang‑penumpang di bisnya, saya
menganggap bahwa pengemudi bis ini semacam pembawa damai di kota, dengan kemampuan
luarbiasa untuk mengubah suasana mudah marah dan membosankan yang
merasuki penumpang-penumpangnya,
membuat mereka agak santai dan sedikit berlapang dada.
Sebaliknya,
berikut adalah beberapa berita dari koran minggu ini: ( Red : Pembaca dapat mencari contoh-contoh serupa
dalam masyarakat Indonesia dari berita-berita koran dan TV )
* Di
sebuah sekolah setempat, seorang murid berumur sembilan tahun mengamuk,
menuangkan cat ke bangku‑bangku, komputer-komputer, dan printer‑printer,
serta merusak sebuah mobil di lapangan parkir sekolah. Alasannya: beberapa
teman kelas tiga menyebutnya "bayi" dan murid itu ingin membuat teman‑temannya
"terkesan".
* Delapan pemuda terluka ketika suatu
senggolan tak disengaja di tengah kerumunan anak‑anak muda yang berbaur di luar
sebuah klub rap di Manhattan pecah menjadi adu sorong‑sorongan, yang berakhir
ketika salah seorang yang dihina mulai menembakkan pistol automatis
kaliber 0.38 ke kerumunan tersebut. Laporan mencatat bahwa penembakan‑penembakan
semacarn itu yang diakibatkan oleh ejekan‑ejekan kecil, yang dianggap sebagai
tindakan penghinaan, semakin lama semakin lazim di seluruh negeri pada tahun‑tahun
belakangan ini.
* Menurut sebuah laporan, 57
persen pembunuh anak‑anak berusia di bawah 12 tahun adalah
orangtua, atau orangtua-tiri mereka. Pada hampir separo dari kasus‑kasus
yang ada, para orangtua itu mengatakan bahwa mereka "sekadar berusaha
mendisiplinkan anaknya" Pemukulan‑pemukulan
yang membawa ‑ maut tadi dipicu oleh "pelanggaran‑pelanggaran" yang
dibuat anak, misalnya si anak menghalangi pandangan ke televisi, menangis, atau
mengompol.
* Seorang pernuda Jerman diadili karena membunuh
lima orang gadis dan wanita Turki dalam kebakaran yang disulutnya ketika para
korban sedang tidur. Sebagai anggota kelompok neo‑Nazi, ia menceritakan
tentang kegagalannya mendapatkan pekerjaan, tentang pelariannya ke minuman
keras, mempersalahkan nasib buruknya pada pendatang‑pendatang asing. Dengan
suara yang hampir‑ hampir tidak kedengaran, ia mengaku, "Saya tak habis‑habisnya
merasa menyesal atas apa yang telah kami lakukan, dan saya amat sangat malu."
Berita
yang sampai kepada kita setiap hari penuh dengan laporan tentang lenyapnya
sopan santun dan rasa aman, menyiratkan adanya serbuan dorongan
sifat jahat. Tetapi, dalam skala yang lebih besar, berita itu sekadar memberi
gambaran adanya emosi‑emosi yang pelan‑pelan tak terkendalikan dalam
kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan orang‑orang sekitar kita.
Tak ada orang yang mampu bertahan dari gelombang ketidaktentuan ledakan
kemarahan dan sesal ini; gelombang ini menembus sisi‑sisi kehidupan kita dengan
segala cara.
Dasawarsa
terakhir ini telah mencatat rentetan laporan semacarn itu, mencerminkan
meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan, dan rapuhnya moral di dalam
keluarga kita, masyarakat, dan kehidupan kita bersama. Tahun‑tahun ini
telah merekarn meningkatnya tindak kekerasan dan kekecewaan, entah dalam
kesepian anak‑anak yang terpaksa ditinggal sendiri atau diasuh babysitter dan
televisi, atau dalarn kepahitan anak‑anak yang disingkirkan, disiasiakan, atau
diperlakukan dengan kejam, atau dalam keintiman tak lazim dari tindak kekerasan
dalam perkawinan.
Meluasnya
penyimpangan emosional terlihat pada melonjaknya angka tingkat depresi
di seluruh dunia dan pada tanda‑tanda tumbuhnya gelombang agresivitas‑pemuda
berumur belasan bersenjatakan senapan di sekolah-sekolah, kecelakaan di jalan
bebas hambatan yang berakhir dengan tembak‑menembak, mantan karyawan yang
membantai bekas rekan-rekan
sekerja. Penganiayaan emosi ,
Penembakan di jalan‑jalan, dan stres Pascatrauma
sernuanya masuk dalam kosa kata lumrah selama dasawarsa terakhir ini,
ketika slogan zaman ini beralih dan seruan gembira "Selamat bersenang‑senang"
menjadi "Mari bersenang‑senang" dengan nada tak sabaran.
Buku
ini merupakan panduan agar ketidakberartian menjadi bermakna.
Sebagai psikolog, dan selama sepuluh tahun terakhir sebagai wartawan
The New York Times, saya telah melacak kemajuan pemahaman ilmiah kita tentang wilayah
tak rasional. Melalui pengamatan itu, saya dikejutkan oleh dua kecenderungan
yang berlawanan, yang satu menggambarkan meningkatnya bencana dalarn
kehidupan emosional masyarakat, dan kecenderungan lainnya menawarkan
beberapa penyembuhan yang memberikan harapan.
MENGAPA EKSPLORASI INI PENTING
Sepuluh tahun terakhir ini,
selain berita‑berita buruk, juga ditandai dengan lonjakan drastis dalarn
kajian ilmiah di bidang emosi. Yang
paling dramatis adalah terkuaknya cara kerja otak, yang dimungkinkan
oleh metode‑metode terbaru seperti teknologi pemayaran ( scanning
) otak.
Teknologi ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, memungkinkan orang
dapat mengamati sesuatu yang senantiasa menjadi sumber rahasia paling gelap: bagaimana
kelompok rumit sel‑sel bekerja sementara kita berpikir dan merasa,
berimajinasi dan bermimpi.
Bertumpuknya data biologi
saraf membuka kemungkinan bagi kita untuk lebih memahami bagaimana
pusat emosi otak mengatur kita untuk marah atau menangis, dan bagaimana
bagian‑bagian otak yang lebih primitif ‑ yang mengarahkan kita
berperang atau bercinta ‑ disalurkan menjadi lebih
baik ataupun lebih buruk. Pemahaman mengenai cara
kerja emosi dan kelemahan emosi yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini membawa
kita ke suatu fokus mengenai pola penanggulangan baru bagi krisis emosi
masyarakat kita.
Saya
terpaksa menunggu sampal sekarang agar keberhasilan ilmiah itu cukup matang
untuk dijadikan pegangan menulis buku ini. Kesadaran ini datang terlambat
terutama karena selama bertahuntahun wilayah perasaan dalarn kehidupan
mental diabaikan oleh para peneliti,
sehingga emosi merupakan wilayah yang pada umumnya tak terjelajah oleh psikologi ilmiah. Dalarn.
kekosongan ini membanjir buku‑buku self‑help, buku‑buku berisi nasihat
yang bermaksud baik tetapi paling‑paling berdasarkan pendapat klinis tanpa
dasar ilmiah yang kuat, kalaupun memang ada dasar ilmiahnya. Kini, pada
akhirnya, sains mampu mengutarakan pendapat tanpa ragu‑ragu mengenai masalah‑masalah
mendesak dan membingungkan perihal segi kejiwaan yang paling tak rasional,
untuk memetakan perasaan manusia dengan cukup tepat.
Pemetaan ini menimbulkan tantangan
bagi mereka yang menganut pandangan sempit tentang kecerdasan, dengan
mengatakan bahwa IQ merupakan fakta genetik yang tak mungkin diubah oleh
pengalaman hidup, dan bahwa takdir kita dalam kehidupan terutama ditetapkan
oleh faktor bawaan ini.
Pendapat tersebut mengabaikan masalah yang
lebih menantang: Apa yang bisa kita ubah untuk menolong anak‑anak
kita memiliki nasib kehidupan yang lebih baik? Faktor‑faktor manakah yang
lebih berperan, misalnya, kapan orang ber‑IQ tinggi gagal dan orang ber‑IQ rata‑rata
menjadi amat sukses? Saya ingin mengatakan bahwa perbedaannya sering kali
terletak pada kemampuan‑kemampuan yang di sini disebut kecerdasan emosional
yang mencakup pengendallan diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan‑keterampilan ini, sebagaimana
nanti akan kita lihat, dapat diajarkan kepada anak‑anak, untuk memberi mereka
peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi intelektual apa pun yang
barangkall diberikan oleh permainan judi genetik kepada mereka.
Di balik kemungkinan ini muncul
tekanan moral yang mendesak. Yaitu saat‑saat ketika jalinan masyarakat
tampaknya terurai semakin cepat, ketika sifat mementingkan diri sendiri,
kekerasan, dan sifat jahat tampaknya menggerogoti sisi‑sisi baik kehidupan
masyarakat kita. Di sini, alasan untuk mendukung perlunya kecerdasan emosional
bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral. Semakin banyak
bukti bahwa sikap etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional
yang melandasinya. Misalnya, dorongan hati merupakan medium emosi; benih semua
dorongan hati adalah perasaan yang memunculkan diri dalam bentuk tindakan.
Orang‑orang yang dikuasai
dorongan hati ‑ yang kurang memiliki kendali
diri ‑ menderita kekurangmampuan
pengendalian moral: Kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati merupakan basis
kemauan (will) dan watak (character). Dengan cara
yang sama, akar cinta sesama terletak pada empati, yaitu kemampuan
membaca emosi orang lain; tanpa adanya kepekaan terhadap kebutuhan atau penderitaan orang lain,
tidak akan timbul rasa
kasih sayang. Apabila ada dua sikap moral yang dibutuhkan oleh zaman
sekarang, sikap yang paling tepat adalah kendali diri dan kasih
sayang.
PERJALANAN KITA
Dalam buku ini saya
bertindak sebagai pemandu perjalanan menempuh wawasan ilmiah menuju wilayah
emosi, perjalanan yang bertujuan memperoleh pemahaman lebih dalam akan momen‑momen
paling membingungkan dalam kehidupan kita sendiri dan dunia sekitar kita.
Sasaran perjalanan ini adalah memahami apa arti ‑‑ dan bagaimana ‑ membawa kecerdasan
ke dalam emosi. Sampai tahap tertentu, pemahaman ini sendiri dapat
menolong; membawa permahaman kognitif ke wilayah perasaan akan mempunyai
pengaruh seperti halnya pengaruh seorang pengamat pada tingkat kuantum dalam
fisika, yaitu mengubah yang sedang diamati.
Perjalanan
kita dimulai dari Bagian Satu mengenai penemuan-penernuan baru arsitektur
emosi otak yang menjelaskan tentang momen‑momen paling membingungkan
dalam kehidupan kita ketika perasaan mengalahkan sernua rasionalitas. Memahami
keterkaitan struktur otak yang mengatur momen‑momen marah dan takut atau nafsu dan kegembiraan ‑mengungkapkan banyak hal
tentang bagaimana kita mempelajari kebiasaan emosional yang dapat melemahkan
niat‑niat baik, seperti halnya yang dapat kita lakukan untuk meredakan dorongan‑dorongan
emosi yang lebih destruktif atau pengalahan diri sendiri. Yang paling penting,
data neurologis itu menawarkan suatu kesempatan emas untuk membentuk kebiasaan
emosional anak‑anak kita.
Perhentian
penting berikutnya dalam perjalanan kita, yaitu Bagian
Dua~ buku ini, adalah peninjauan terhadap bagaimana fakta‑fakta neurologis berperan dalam
membentuk kemampuan dasariah manusia untuk
mempertahankan hidup yang disebut kecerdasan
emosional: misalnya, kesanggupan ‑ untuk mengendalikan
dorongan emosi; untuk membaca perasaan terdalam orang lain; untuk memelihara
hubungan dengan sebaik‑baiknya ‑sebagaimana
dirumuskan oleh Aristoteles, keterampilan langka "untuk marah pada orang
yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang
benar, dan dengan cara yang baik".
(
Pembaca yang tidak tertarik pada detail neurologis bisa langsung melangkah ke
bagian ini )
Model yang telah diperluas tentang apa arti
menjadi "cerdas" ini menempatkan emosi sebagai inti daya hidup. Bagian Tiga meninjau beberapa perbedaan kunci
yang diakibatkan adanya daya hidup: bagaimana kemampuan ini dapat
menjaga hubungan‑hubungan kita yang paling berharga, atau tanpanya akan
mengikis hubungan-hubungan
tersebut; bagaimana kekuatan pasar yang merekayasa ulang pola kerja menempatkan
kecerdasan emosional sebagai landasan sukses dalam pekerjaan; dan bagaimana
emosi‑emosi beracun dapat membahayakan kesehatan fisik kita sama halnya dengan
merokok berantai, bahkan bila keseimbangan emosi dapat menolong melindungi
kesehatan dan. kesejahteraan kita.
Warisan
genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan
temperamen kita. Tetapi, jaringan otak yang terlibat sangat mudah dibentuk‑bentuk;
temperamen bukanlah takdir. Sebagaimana diperlihatkan dalarn Bagian Empat, pelajaran‑pelajaran. emosi yang
kita peroleh semasa kanak‑kanak, di rumah dan di sekolah, akan membentuk
sirkuit‑sirkuit emosi, membuat kita cakap atau tidak
cakap‑‑‑dalam hal dasar‑dasar kecerdasan emosional. Ini berarti bahwa
masa kanak‑kanak dan remaja merupakan peluang terbuka yang penting untuk
mengarahkan kebiasaan‑kebiasaan emosional yang esensial yang akan menentukan
kehidupan kita.
Bagian Lima meninjau bahaya‑bahaya
yang menghadang orang-orang
yang gagal menguasai wilayah emosinya ketika tumbuh
dewasa ‑bagaimana
kelemahan dalam kecerdasan emosional akan
memperlebar spektrum risiko, mulai dari depresi atau hidup penuh
kekerasan hingga gangguan makan dan penyalahgunaan obat‑obatan. Bagian
tersebut mendata cara sekolah‑sekolah perintis mengajar murid‑muridnya
keterampilan sosial dan emosional yang mereka perlukan untuk menjaga agar hidup
mereka tetap di dalam jalur.
Barangkali
satu‑satunya bagian dari data dalam buku ini yang paling mengkhawatirkan
berasal dari sebuah survei besar‑besaran terhadap orangtua dan guru‑guru dan
memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak
mengalarni kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya: lebih
kesepian dan pernurung, lebih berangasan dan kurang menghargai sopan santun,
lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif.
Seandainya
ada suatu cara penanggulangan, saya kira terletak pada bagaimana kita
mempersiapkan anak‑anak kita dalam menempuh kehidupan. Sekarang ini, kita
menyerahkan pendidikan emosi mereka ke tangan nasib, dengan hasil yang justru
semakin merugikan.
Salah satu pemecahannya adalah
pandangan baru yang menitikberatkan pada apa yang dapat dilakukan sekolah‑sekolah
dalam mendidik murid‑muridnya, mengajarkan kepintaran
sekaligus kepekaan perasaan. Perjalanan kita berakhir dengan. kunjungan ke kelas-kelas inovatif yang bertujuan
memberi murid‑muridnya landasan dasar‑dasar kecerdasan emosional. Saya yakin
bahwa pada suatu saat, secara rutin pendidikan akan menanamkan pendidikan
kecakapan manusiawi dasariah sepertl kesadaran diri, pengendalian
diri, dan empati, serta seni mendengarkan, menyelesaikan
pertentangan, dan kerja sama.
Dalarn
The Nicomachean Ethics, pembahasan Aristoteles secara
filsafati tentang kebajikan, karakter, dan hidup yang benar, tantangannya
adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila
dilatih dengan baik, akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pernikiran,
nilai, kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak
terkendalikan, dan hal itu Seringkali terjadi. Sebagaimana dikemukakan oleh
Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan
antara emosi dan cara mengekspresikannya.
Pertanyaannya adalah,
bagaimanakah kita dapat membawa kecerdasan ke emosi kita—dan peradaban—ke jalan‑jalan serta membawa
kepedulian ke dalam kehidupan kita bersama?
Daniel Goleman
Daftar Isi Buku:
Tantangan Aristoteles IX
Bagian Satu : Otak Emosional
1. Apakah Kegunaan Emosi ? 3
2. Anatomi Pembajakan Emosi 17
Bagian Dua : Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
3. Kapan Yang Pintar itu Bodoh ? 43
4. Kenali Diri Anda 62
5. Budak Nafsu 77
6. Kecakapan Utama 109
7. Akar Empati 135
8. Seni Sosial 156
Bagian Tiga : Penerapan Kecerdasan Emosional
9. Musuh-musuh Keintiman 161
10. Manajemen
dengan Berpatokan pada Perasaan 210
11. Pikiran
dan Pengobatan 233
Bagian Empat : Kesempatan Emas
12. Wadah
Penggodokan Keluarga 267
13. Trauma dan
Pembelajaran-ulang Emosi 283
14. Temperamen
Bukanlah Suratan Takdir 305
Bagian Lima : Kecakapan Emosional
15. Kerugian
Buta Emosi 327
16. Pendidikan
Emosi 371
Lampiran A :
Apakah Emosi itu ? 411
Lampiran B :
Ciri-ciri Pikiran Emosional 414
Lampiran C : Jaringan Sirkuit Saraf Rasa Takut 422
Lampiran D :
Unsur-unsur Aktif Program Pencegahan 426
Lampiran E : Kurikulum Self Science 428
Lampiran F :
Pembelajaran Keterampilan Sosial dan Emosional 430
Lengkapilah kepustakaan Anda dengan terbitan kami yang
lain :
1.
Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak
Lawrence E. Shapiro
...................................................................... Rp. 30.000,-
2.
Working with Emotional Intelligence
( Kecerdasan Emosi
Untuk
Mencapai Puncak Prestasi )
Daniel Goleman, Ph.D
.................................................................... Rp. 45.000,-
3.
Kiat-kiat Membesarkan Anak yang memiliki Kecerdasan
Emosional
John Gottman, Ph.D.
...................................................................... Rp. 35.000,-
4.
The Moral Intelligence of Children
( Menumbuhkan Kecerdasan Moral
pada Anak )
Robert Coles
................................................................................... Rp.
27.500,-
5.
Bagaimana Bersikap pada Anak agar Anak Bersikap Baik
Sal Severe
...................................................................................... Rp.
37.500,-
6.
Children Are from Heaven : Cara Membesarkan Anak
Secara Positif agar Anak Menjadi
Kooperatif, Percaya Diri
dan
Memahami Perasaan Orang Lain
John Gray, Ph.D.
........................................................................... Rp.
42.500,-
7. Menjadi Orang Tua Efektif . Cetakan ke-12
Dr. Thomas Gordon
........................................................................ Rp.
20.000,-
N.B. Harga buku
dapat berubah tanpa pemberitahuan
sebelumnya.
Silakan ke toko buku langganan
Anda.
No comments:
Post a Comment