Oleh: Gede Prama
Karena menganut prinsip
hidup seperti air di sungai : mengalir, mengalir dan mengalir. Sering kali saya
dihanyutkan oleh kehidupan entah ke mana. Di tahun-tahun terakhir, bahkan air
sungai kehidupan saya bergerak lebih kejam dari biasanya. Memimpin orang-orang
yang jauh lebih berat dari biasanya. Memiliki pekerjaan yang jauh lebih
kompleks dari sebelumnya. Sebagian dari bawahan saya bahkan memiliki kemampuan
kerja yang jauh lebih baik dari saya. Politik perkantoran berjalan di
mana-mana. Merasa hidup tenteram lebih penting dari apapun, pernah mengusulkan
agar bawahan mengganti saya, tetapi karena berbagai faktor lain belum
diperbolehkan oleh ‘yang maha kuasa’.
Sebagai akibatnya, Anda
bisa bayangkan sendiri, saya dihempas gelombang kehidupan yang demikian
dahsyat. Masih bisa hidup, apa lagi bisa menulis sebenarnya sudah sangat
beruntung. Akan tetapi, belakangan saya amat mensyukuri, ada banyak sekali
kearifan dan kedewasaan hidup justru bersembunyi di balik hempasan gelombang
kehidupan. Terus terang, saya berutang pada hempasan gelombang tadi.
Sebagai manusia biasa yang
ditunjuk menjadi pemimpin, sayapun dihinggapi ‘penyakit’ mau menang di depan
bawahan. Sayangnya, semakin penyakit tadi muncul, semakin saya dibawa jauh dari
jalan keluar. Entah bagaimana pengalaman orang lain. Ternyata badan dan jiwa
saya termasuk tipe yang tidak mau diajak ke dalam kehidupan menang-menangan.
Semakin diajak ke sana, semakin rusak rasanya.
Di tengah kegundahan hidup
semacam ini, seorang rekan dari Amerika mengirimi saya sebuah buku menarik.
Buku yang ditulis oleh David Maraniss dengan judul When Pride Still Mattered
: A Life of Vince Lombardi, bertutur apik tentang pilosopi hidup seorang
pelatih sepak bola legendaris bernama Vince Lombardi. Hidup, memang tidak
berbeda jauh dengan permainan sepak bola. Ada pertandingan. Ada pihak yang
menang dan kalah. Ada perjuangan. Ada awal dan ada akhir.
Kompetisi memang membawa
vitalitas dalam kehidupan. Membuat kehidupan menjadi lebih bergairah. Bangun
pagi jadi bersemangat. Akan tetapi, sebagaimana permainan sepak bola, tidak
pernah ada kehidupan yang senantiasa berisi kemenangan. Menang dan kalah adalah
dua hal yang senantiasa bergandengan saling melengkapi. Ada yang menang karena
ada yang kalah. Untuk itulah, agar supaya stamina hidup tetap terjaga penting
sekali kita menguasai diri sendiri sebelum menguasai orang lain.
Dalam kaitannya dengan
usaha menguasai diri sendiri Maraniss menulis amat apik : ‘Be proud and
unbending in defeat, yet humble and gentle in victory’. Dengan kata lain,
banggalah ketika kalah dan rendah hatilah ketikan Anda menang. Mungkin bagi
Anda ini biasa-biasa saja. Namun, bagi saya yang hidup dalam lingkungan
kehidupan yang mendewakan kemenangan, petuah terakhir amat menggugah.
Bagaimana tidak menggugah,
di tengah suasana hati yang kisruh gara-gara nafsu penuh kemenangan, tiba-tiba
ada orang yang mengajak bangga untuk sebuah kekalahan. Dan seperti kejuaraan
sepak bola, bukankah kita yang duduk di juara dua, tiga atau yang tidak dapat
piala, menjadi ‘tangga’ yang mengangkat sang juara tinggi-tinggi ?. Dan lebih
hebat lagi, sudah menjadi tangga yang diinjak juara, sering juga dicemoohkan
orang lain. Bukankah amat mulia, di satu sisi mengangkat orang lain, dan di
lain sisi kita direndahkan derajat kita oleh orang lain ?
Saya tidak tahu keyakinan
Anda, namun saya merasa sudah menjadi pemenang setelah memahami prinsip
‘banggalah ketika kalah’. Sebab, kemenangan sebenarnya ada di sini : di dalam
diri sendiri. Dan ia mesti diperjuangkan terus menerus. Seperti ditulis
Maraniss : ‘complete victory can never be won, it must be pursued’.
Memang, tidak pernah ada kemenangan yang sempurna, ia mesti senantiasa diperjuangkan.
Di kesempatan lain, saya menyebutnya dengan logic of discovery bukan logic
of perfection. Sebuah logika yang tidak mengkonsentrasikan pada
kesempurnaan, namun pada penemuan dan perjalanan sehari-hari.
Setiap penemuan, ibarat
sebuah penyucian yang mencerahkan. Tandanya sederhana, mulut berbentuk bundar
sambil mengucapkan ‘O’, jiwa tercerahkan, dan stamina fisik serta psikologis
meningkat. Dan pengalaman saya bertutur, semua ini bersembunyi amat rapi di
balik banyak sekali hempasan gelombang hidup.
Hanya dengan membaca, kita
memang bisa tahu. Akan tetapi, pendalaman dengan pengertian lebih mungkin hadir
ke mereka yang pernah lewat dari hempasan gelombang kehidupan yang ganas. Dan
inilah yang membuat saya berhutang banyak pada Universitas Kesulitan. Sebuah
sekolah yang amat saya banggakan. Melebihi kebanggaan pada sekolah saya di
Inggris dan Prancis.
Anda, saya yakin pasti
punya pengalaman tersendiri. Sebagaimana sidik jari yang unik, ia tentu saja
bermakna unik juga. Hanya saja, pengalaman saya bertutur, Tuhan sebenarnya
berkomunikasi dengan kita setiap hari. Sekali lagi, setiap hari. Melalui apa ?
Tentu saja melalui kejadian-kejadian yang lewat di depan mata. Cuman, ada orang
yang menangkap makna kejadian yang lewat di depan mata melalui seluruh
kepekaannya, ada orang yang tuli dan buta dengan semua itu. Dalam bingkai
berfikir seperti ini, saya mensyukuri baik kemenangan maupun kekalahan.
Keduanya sama-sama menghadirkan kebanggaan. Bahkan dalam kekalahan, kebanggaan
bercampur dengan kemuliaan.
No comments:
Post a Comment