Sudah sejak
lama, peradaban manusia diilhami oleh prinsip-prinsip pembalasan yang berbau
kekerasan. Peradaban manusia, hidup dari pernyataan "mata ganti mata, gigi
ganti gigi" (eye for eye, and tooth for tooth) yang selama berabad-abad
lamanya seolah menjadi solusi dari segala persoalan.
AS, menuntut
pembalasan atas perlakuan teroris-dalam hal ini sebagai tersangka adalah Osama
dan Taliban-sementara Afganistan merasa berhak membela diri dan membalas
perlakuan tidak adil dari AS. Di Jerusalem dan jalur Gaza, Israel membalas
menyerang Palestina, karena membalas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi pada
politisinya. Sementara Palestina, merasa berhak melawan dan juga kalau perlu
membunuh, karena mereka sudah cukup banyak kehilangan warganya.
Lex talionis
(prinsip pembalasan) memang kejam. Di dalam negeri, pada Mei 1998, ada aksi
massa yang membakar toko dan memperkosa, serta membunuh warga keturunan. Massa
itu, merasa punya hak untuk melakukan itu semua, sebagai balasan pada mereka
yang menguasai sektor ekonomi. Di Kalimantan, warga pendatang dibunuh dan
diusir, karena warga asli merasa tertindas dan selama ini tertekan hidupnya.
Mereka merasa lebih berhak untuk hidup di tanah mereka sendiri.
Dimana-mana,
pembalasan-pembalasan menjadi sesuatu yang biasa terjadi. Hari ini ada maling
dibakar oleh massa sebagai balasan atas kelakuannya. Dan esok hari, entah
pembalasan apa yang akan terjadi!
Sama seperti
demikianlah yang terjadi belakangan ini. Di Amerika, ada tuntutan untuk
membalaskan kematian ribuan jiwa di bawah reruntuhan WTC. Dan di berbagai
belahan dunia, semisal di Indonesia, ada tuntutan massa untuk membalaskan
perlakuan AS terhadap warga Afganistan. Lex talionis.
Kebudayaan yang dibangun
di atas lex talionis memang akan selalu membawa umat manusia ke dalam kancah
kekerasan demi kekerasan yang sering sekali bersimbahkan darah, termasuk darah
manusia itu sendiri. Lex talionis akan selalu meminta tuntutan-tuntutan
berikutnya dari sebuah pembalasan. Maka pembalasan adalah warna manusia di abad
modern ini.
Bagaimana
dengan Indonesia? Secara konseptual, Indonesia adalah negara modern yang
dibangun di atas prinsip saling menjunjung tinggi keberadaban manusia. Ketika
Indonesia disusun oleh para pendiri negara ini, suasana yang ada adalah suasana
yang tidak berbau balas dendam terhadap penjajah.
Sebaliknya,
Soekarno, Hatta, Soepomo, atau yang lainnya, meskipun pernah merasakan betapa
pahitnya menjadi bangsa jajahan, dan juga pernah merasakan akibat dari
penjajahan itu sendiri, semisal dibuang, dikejar, disiksa, bahkan diperlakukan
tidak manusiawi, justru memilih kata-kata yang beradab ketika menyusun
asas-asas negara RI.
Maka Indonesia
sebenarnya, adalah satu negara yang merdeka, dan berkehendak untuk ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial demikian alinea keempat mereka tuliskan dan wariskan sampai
sekarang.
Ketertiban
dunia, memang sedang berada di ujung tanduk kekerasan. Dimana-mana, penghargaan
terhadap kemerdekaan bangsa lain berada di titik nadir. Sebagai contoh, dunia
melihat bagaimana Israel-atas dukungan AS-dengan semena-mena mengobrak-abrik
Palestina dengan kekejaman dan kekerasan bersenjata yang sering mengorbankan
warga sipil yang justru tidak berdosa. Dan sayangnya, PBB justru tidak mampu
berbuat apa-apa.
Bukan hanya
itu, perdamaian yang abadi barangkali hanya akan menjadi impian kosong. Saat
ini, setiap negara hanya membangun hubungan-hubungan yang hanya
mempertimbangkan keuntungan dan kepentingan semata; sebaliknya bukan membangun
ketulusan hubungan kenegaraan yang menginginkan perdamaian setulus-tulusnya.
Kita masih ingat kalau Taliban yang diperangi oleh AS ini adalah Taliban yang
dulu pernah mereka dukung ketika negara itu melawan Uni Sovyet. Bukankah
mustahil mengharapkan dunia yang bebas kepentingan?
Dunia sekarang
ini pun sedang berada dalam "dunia yang didominasi Utara".
Negara-negara Barat adalah negara-negara dengan teknologi plus modal yang kuat
dan maju, sementara persis di belahan sebaliknya, milyaran penduduk
negara-negara kecil dan miskin, hidup dari utang-utang dan belas kasihan
negara-negara donor. Bagaimana kita mencermati ketimpangan semuanya ini?
Bagaimana kita bisa mengharapkan keadilan sosial jika negara-negara Barat
justru lebih banyak mendikte dan mengekspoitasi negara-negara terbelakang?
Bagaimana
dengan penerapan konsep nilai-nilai luhur kemanusiaan itu di Indonesia, setelah
56 tahun kemerdekaan? Sayangnya, tidak sejalan. Kita patut prihatin bahwa
Indonesia pun adalah "school of lex talionis" yang paling baik.
Dimana-mana ada kekerasan. Dimana-mana ada aksi dendam dan balas-membalas.
Dimana-mana ada manusia yang membunuh dan dibunuh secara sia-sia. Hari ini
orang lain, besok mungkin anda sendiri.
Indonesia,
sampai kapankah terus begini?
No comments:
Post a Comment