By: Ed Zaqeus
Saya tak tahu, apa jadinya republik ini
jika semua orang tua berprinsip seperti ayah saya. Inilah yang dikatakannya
kepada saya sewaktu saya baru memasuki bangku SMP. "Demi pendidikan kamu
Edy, ayah bersedia menjadikan kepala ini jadi kaki dan kaki jadi kepala!"
Saya betul-betul ngeri ketika ayah saya meramu minuman keras dan menjualnya
demi menjadikan saya seorang sarjana!
Saya ingin perkenalkan kepada anda seorang
enterpreneur sejati yang paling menakjubkan dalam hidup saya. Dia bukan raja
penjual semacam Joe Girard, James R. Fisher, Ron Holland, Frank Bettger atau
jagoan-jagoan investasi semacam George Soros, Donald Trump, atau Robert T.
Kiyosaki. Dia adalah Soekardji, seorang ayah yang kini menapaki usia di atas
60-an tahun di Madiun, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Saya menyukainya karena
ide-idenya yang kontroversial tetapi sungguh-sungguh memukau jika dijalankan.
Hanya karena hormat saya kepadanya saja maka saya tidak menyebut ide-idenya itu
gila-gilaan.
Ketika saya belajar di bangku SMP, ayah
saya mengalami kegalauan. Ia melihat prestasi saya tidak buruk-buruk amat. Ia
menginginkan nantinya saya bisa melanjutkan sekolah sampai ke tingkat sarjana.
Namun persoalan peliknya, ayah tidak punya tabungan dan penghasilan tetap.
Sebagai pemborong kecil-kecilan (entah kenapa ia lebih suka disebut tukang batu
atau tukang bangunan) penghasilannya kadang tidak menentu. Susahnya proyek ayah
lagi sepi-sepinya saat itu. Sepi proyek berarti penyakit kanker (kantong
kering) kronis melanda. Saya ingat waktu ayah cerita bahwa pada saat-saat
seperti itu dirinya benar-benar membutuhkan ide untuk melakukan
"lompatan".
Ayah saya suka bermeditasi di malam hari
saat menghadapi persoalan-persoalan rumit tertentu. Dengan mengosongkan pikiran
dan konsentrasi, katanya, ia bisa memperoleh "wangsit" untuk
menyelesaikan masalah. Saya tak tahu apakah yang dia maksud "wangsit"
itu semacam gagasan-gagasan alam bawah sadar yang biasanya muncul pada kondisi
pikiran sadar sedang tidak diaktifkan. Saat itu ayah berpuasa tiga hari lamanya
dan selalu bermeditasi tiap malamnya.
Pada hari ketiga ... Eureka! Meditasi ayah
berhasil! Ayah tersenyum waktu keluar kamar, tetapi segera mengerenyitkan dahi
...
"Saya dapat wangsit ... tapi wujud
gambarnya kok botol Mension, ya…?" ungkapnya keheranan.
Tiga hari berikutnya ayah mengisi
hari-harinya dengan berkeliling ke berbagai sudut kota, termasuk di
perkampungan kami sendiri. Saya sendiri tinggal di rumah nenek, sekitar 1,5
kilometer dari tempat tinggal ayah dan ibu saya yang terletak di belakang
pasar. Setiap hari orang-orang dengan aneka dagangannya berlalu-lalang di jalan
depan rumah ayah. Sedikit keluar gang ada jalan kecil yang menghubungkan jalan
besar dengan pasar besar. Di situlah berjajar para pedagang kaki lima yang
menjajakan berbagai barang baru maupun bekas. Apapun jenis barang yang orang
cari, ada di situ. Dan ayah menemukan di situ puluhan botol Mension (sebuah
merek minuman beralkohol yang populer di Madiun) dan merek-merek lainnya,
lengkap dengan tutupnya yang dijual hanya seharga Rp.50.
Ayah mengunjungi teman-temannya dan diajak
ke beberapa rumah atau warung yang menjual minuman keras, dengan atau tanpa
merek. Ayah mempelajari warna, aroma, harganya, serta kemasan botol minuman
yang mereka perjual belikan dengan izin. Bahkan ayah mempelajari dengan detail
siapa-siapa tamu di warung-warung itu. Ia juga merekam perilaku dan kebiasaan
mereka. Ayah --yang menurut saya jago 'ngomong' di kampung-begitu cerdiknya
menyerap semua informasi dari penjual maupun tamu-tamu di sana.
Saya tak tahu apakah ia sadar atau tidak,
sesungguhnya yang ia lakukan saat itu dalam bahasa kerennya disebut 'riset
pasar'. Ia pulang dengan kesimpulan-kesimpulan brillian, dan tentu saja…. ide
gila!
Kami sekeluarga jadi ketar-ketir ketika
ayah memutuskan untuk berjualan minuman keras. Berdasarkan hasil pengamatannya,
orang selalu mencari minuman keras yang enak tapi harganya terjangkau. Itu jika
dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi sekitar. Merek-merek seperti Mension
House, Drum, Vodka, Whisky, memang disukai, tapi pembelinya hanya kalangan
tertentu saja.
"Saya ingin ciptakan minuman yang enak,
ada gengsinya, tapi murah harganya," kata ayah optimis.
Ayah saya terkenal keras kepala. Maka,
bila ayah sudah berkehendak, siapa berani menolak?
Segera setelah berbulat tekad ayah
menghubungi familinya di Solo Jawa Tengah yang sehari-hari memproduksi
"ciu". Ia memastikan bisa dikirimi ciu setiap bulannya dalam jumlah
tertentu. Ciu adalah bahan cair yang bisa diproses menjadi alkohol dan sangat
dibutuhkan perusahaan-perusahaan penghasil bumbu masak. Di Solo Ada
koperasi-koperasi yang khusus menampung hasil industri rumah tangga tersebut.
Tapi ciu yang dibuat dari sari tetes tebu itu sering juga dijadikan sebagai
campuran minuman keras tradisional.
Dengan bekal resep tradisional dan sedikit
pengetahuan laborat sewaktu bekerja di pabrik rokok, ayah menciptakan formula
yang unik. Ciu yang murah diramu dengan bahan rempah-rempah khusus. Agak rumit
prosesnya, dan ayah tidak pernah membuka 100% "rahasia" ramuannya itu
kepada siapapun.
"Rahasia dagang....!" katanya
tersenyum sambil memelintir kumisnya yang tebal.
Hasilnya, menakjubkan. Ayah bisa
menghasilkan minuman yang warnanya kecoklatan (mirip Mension) atau yang jernih
sekali (mirip Vodka). Aromanya khas minuman keras, tapi lebih halus dan
'menyegarkan'. Hebatnya, dibanding minuman-minuman keras lain, aroma ramuan
ayah saya tidak lama membekas di nafas peminumnya. Kebanyakan minuman keras
tradisional saat itu dijual dalam botol-botol besar ukuran 0,1-1 liter.
Sebaliknya ayah mengemas 'temuan barunya' itu ke botol-botol bekas bermerek
ukuran saku (isi 300 ml), kebanyakan merek Mension. Kemasan dibagi menjadi dua;
yaitu botol bertanda satu strip merah (sedang) dan dua strip merah (keras).
Sadar atau tidak, di sini ada semangat duplikasi dan inovasi produk.
Semula ayah menjualnya hanya di rumah dan
tanpa izin. Ini trik dagang ayah saya. Pembeli datang, barang dibayar,
dibungkus, lalu mereka pulang. Tak seorangpun bisa minum sambil ngobrol di
rumah kami seperti yang terjadi di warung-warung atau rumah penjual minuman
lainnya. Alasannya sepele, kata ayah:
"Kalau mereka dibiarkan minum di
sini, rumah bisa ribut, kotor, dan bikin curiga. Itu sama saja ngundang
polisi," katanya.
Seperti diduga ayah, dagangannya cukup
laku dan terus terjadi repeat order. Dengan cepat popularitas 'strip satu' dan
'strip dua' --keduanya dijual @ Rp.900-- beredar dari mulut-ke-mulut. Produk
yang bagus -menurut dalil-dalil marketing-akan bicara sendiri. Setiap mereka
yang repeat order selalu memuji karena kualitas produknya terjaga. Yang semula
beli satu atau dua botol, kini mereka mengajak lebih banyak teman, hanya demi
menembus kuota. Maklum, ayah hanya mau menjual maksimal dua botol kepada setiap
orang yang datang membeli. Dan ia menerapkan dua rule ; beli maksimal dua botol
dan langsung bawa pulang itu tadi dengan begitu ketat. Sekalipun begitu,
konsumen tetap memburu barang bagus!
Karena laris maka keuangan keluarga kami
sedikit terbantu. Seminggu sekali ayah berkunjung ke rumah nenek dan memberikan
uang sekolah serta semua keperluan lainnya. Ia tetap menekankan supaya saya dan
kakak perempuan saya tinggal di situ dengan alsan bisa lebih konsentrasi
belajar. Saya senang karena semua keperluan sekolah bisa tercukupi. Hanya saja,
sesungguhnya waktu itu saya sangat kuatir dengan keberlangsungan sekolah kami.
Baru ketika saya memasuki bangku SMA (sekarang SMU) saya berani mengemukakan
kekuatiran-kekuatiran saya mengenai usaha ayah.
"Bagaimana kalau nanti ayah ditangkap
polisi? Bagaimana kalau nanti ayah dipenjara? Bagaimana kalau jualan itu
mengundang 'mafia' seperti di film-film? Bagaimana dengan kelanjutan sekolah
saya? Kalau ayah dipenjara, kami makan apa?"
Itu hanya sekelumit saja dari seribu lebih
kekuatiran di benak saya. Tapi ayah melarang saya berpikir macam-macam seperti
itu. Sekalipun pikiran-pikiran negatif itu ada, ia tegas melarang saya
memikirkannya.
"Tugas ayah mencari uang. Tugas kamu
sekolah yang benar! Pada saatnya nanti kita akan berdebat panjang lebar tentang
semua yang ayah lakukan. Tetapi sekarang beri kesempatan ayah mencarikan biaya
sekolah kamu dulu." katanya tegas. (Bersambung)
* Ed Zaqeus adalah nama populer Sutopo S.
Edy di dunia maya. Sehari-harinya ia berprofesi sebagai freelance penulis
profesional. Ia dapat dihubungi melalui alamat email: edzaqeus@yahoo.com
source : [ kolom bersama ] pembelajar.com
No comments:
Post a Comment