Oleh: Gede Prama
Entah dari mana asal
usulnya, entah mulai dari wacana, entah dari masyarakat dengan ciri ego
centered society, entah merupakan ekses negatif dari individualisme berlebihan,
yang jelas wacana kita - di dunia politik, bisnis maupun dunia lainnya - sangat
dominan diwarnai oleh kecenderungan hanya mau menang. Jarang sekali - kalau
tidak mau dikatakan tidak ada - ada pihak-pihak yang secara ikhlas rela kalah.
Ibarat turnamen sepak
bola, juara satunya selalu satu. Sedangkan yang bukan juara satu selalu
jumlahnya lebih banyak dari satu. Sehingga kalau dilakukan adu jotos antara
totalitas manusia yang kalah dengan mereka yang menang, maka juara satunya
pasti babak belur.
Dalam perspektif seperti
ini, apa yang terjadi di dunia politik khususnya di bulan-bulan terakhir ini
sebenarnya mencerminkan tiga hal penting. Pertama, tidak ada pihak yang mau
kalah. Seolah-olah kalah adalah barang haram dan hina dina. Kedua, siapa saja yang
jadi pemenang hampir selalu berada pada posisi tersiksa diserang dari
kiri-kanan. Ketiga, sebagai akibat dari point pertama dan kedua tadi, maka
arena politik kita lebih mirip dengan arena kerusuhan, dibandingkan turnamen
sepak bola plus nilai-nilai sportivitasnya.
Mari kita mulai dengan
point pertama tentang tiadanya orang yang mau kalah. Dengan sedikit kejernihan
saya ingin mengajak Anda bertutur, dalam turnamen olah raga umumnya, kalah
disamping menjadi resiko bagi siapa saja yang mau ikut pertandingan, kalah
sebenarnya bersifat mulia. Dikatakan mulia, karena di bahu pihak-pihak yang
kalahlah nasib kemeriahan dan kedamaian pertandingan ditentukan. Untuk menang,
Anda dan saya tidak memerlukan kearifan dan kebesaran jiwa. Semuanya serba
menyenangkan, bermandikan tepuk tangan dan kekaguman orang, dan yang paling
penting keluar dari lapangan berselimutkan pujian banyak orang. Namun untuk
kalah, ceritanya jauh sekali berbeda. Ejekan dan makian orang memang kadang
datang. Usaha kita memang terasa sia-sia. Banyak mata yang tadinya bersahabat
jadi bermusuhan.
Akan tetapi, di balik
semua ejekan dan hinaan tadi tersembunyi danau-danau kemuliaan yang amat luas.
Fundamen dasar bangunan demokrasi masyarakat manapun, dibangun di atas jutaan
bahu manusia-manusia yang kalah. Tidak ada satupun bangsa bisa membuat dirinya
jadi demokratis tanpa fundamen terakhir. Dengan kata lain, keindahan demokrasi
- kalau mau jujur - lebih banyak ditentukan oleh pihak yang kalah. Keindahan
tadi berubah menjadi kemuliaan, karena sudah disebut kalah plus seluruh makian
orang banyak, tetapi malah lebih menentukan nasib orang banyak.
Anda bisa bayangkan nasib
Jepang yang berganti Perdana Menteri demikian sering, nasib Amerika yang telah
berganti presiden puluhan kali, serta nasib bangsa-bangsa lain yang sudah
berganti pemimpin demikian sering. Tanpa kebesaran jiwa pihak yang kalah,
setiap pergantian pemimpin akan ditandai oleh kemunduran akibat
kerusuhan-kerusuhan yang tidak perlu.
Ini dari segi pihak yang
kalah. Dari segi pemenang, menang memang menghadirkan banyak
kemewahan-kemewahan. Kekaguman, tepuk tangan, jumlah pengikut yang bertambah,
sampai dengan kekuasaan yang menyilaukan. Semua ini memang buah hasil dari
perjuangan panjang dan melelahkan. Bagi banyak pemenang, ini memang hadiah yang
layak diterima. Hanya saja, sadar bahwa bangunan institusi demokrasi di manapun
senantiasa dibangun di atas jutaan bahu-bahu manusia kalah, selayaknya pemenang
sadar di atas bangunan apa mereka berdiri.
Dalam bangunan fisik yang
sebenarnya, fundamennya adalah bata, pasir, semen dan barang-barang mati
lainnya. Bangunan demokrasi berdiri di atas bahu-bahu manusia kalah yang hidup,
dinamis, mengenal emosi dan kalkulasi-kalkulasi politik. Makanya, sungguh
mengagumkan bagi saya, ketika George W. Bush memulai pidato pertamanya sebagai
presiden AS dengan kalimat indah seperti ini : 'I was not elected as President
to serve one party, but to serve one nation'.
Lepas dari
keindahan-keindahan demokrasi negara lain, suka tidak suka kita sedang
berhadapan dengan arena politik yang jauh dari indah. Entah mana yang benar,
seorang sahabat menyebut kalau orang kalah yang tidak tahu dirilah yang menjadi
biang dari kondisi kita. Ada juga yang berargumen, pemenang yang sombong dan
angkuhlah yang menjadi awal semuanya. Dan bagi saya, semuanya sudah tercampur
menjadi adonan-adonan kerusuhan yang mengerikan dan menakutkan.
Sebagaimana sulitnya
memisahkan campuran bubur ayam yang sudah demikian menyatu, memisahkan kedua
campuran adonan kerusuhan ini memang amat sulit - kalau tidak mau disebut
niscaya. Apapun solusinya, kita semua memiliki kepentingan untuk mendidik
generasi masa depan bahwa tidak hanya kemenangan yang menghasilkan keindahan,
kalah juga bisa berakhir indah. Kemenangan memang menghasilkan banyak
kegembiraan dan kebanggaan. Namun kekalahan adalah gurunya kesabaran, kearifan
dan kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya. Sesuatu yang tidak bisa
diberikan oleh kemenangan manapun. Dan yang paling penting, siapa saja yang
kalah, kemudian bisa keluar dari ring pertandingan dengan tersenyum ikhlas dan
menyalami pemenangnya, plus membantu pemenang dalam kenyataan sehari-hari demi
kemajuan bersama, merekalah pemimpin kita yang sebenarnya. Kendati tanpa
jabatan, pasukan, kekuasaan, tahta, pujian dan tepuk tangan orang lain,
merekalah the true leaders. Punyakah kita the true leaders seperti itu ?.
No comments:
Post a Comment