Oleh: Vincentia Hanni S
Masih ingat buku Totochan? Buku yang
sempat digandrungi di tahun 1980-an itu bercerita tentang seorang anak
laki-laki Jepang bernama Totochan yang "dicap nakal". Totochan
tergolong anak yang tak bisa diam, ada saja yang dilakukannya setiap jam
pelajaran dimulai. Entah menggoda teman atau membuat gurunya marah.
Akibatnya, hampir setiap tahun Totochan
berpindah sekolah. Untunglah ia memiliki ibu yang sangat sabar dan pengertian.
Sang ibu merasa sedih dengan predikat "anak nakal" atau
"pengganggu" yang disandang anaknya. Ia pun mencari sekolah yang
cocok untuk anaknya.
Akhirnya, sang ibu menemukan sebuah
sekolah, meskipun cukup jauh dari rumahnya, namun sekolah itu unik. Ruang
kelasnya terbuat dari gerbong kereta api yang tak terpakai. Sistem pengajaran
di sana pun tak seformal sekolah lain di Jepang. Edutainment, begitu istilah
yang tepat untuk sistem belajar di sekolah baru itu. Belajar sambil bermain,
itulah prinsip yang dianut sekolah itu.
Rupanya, sistem itu tak cuma ada di sebuah
buku cerita. Sistem ini pun mulai merasuk di dalam dunia pendidikan Indonesia.
Quantum Learning adalah salah satu sistem pengajaran yang menganut prinsip
edutainment itu.
Metode pengajaran ini pertama kali
ditemukan oleh Bobbi de Porter, ahli pedagogi asal Inggris di tahun 1980.
Quantum Learning dikemas dengan model yang disebut TANDUR, yaitu Tumbuhkan
minat siswa, Alami sendiri, Namai kata kunci, konsep, dan rumus,
Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan apabila siswa berhasil. Sistem pengajaran
ala Bobbi ini kemudian diperkenalkan lebih luas kepada masyarakat di Indonesia
oleh Mizan Learning Centre.
Menurut Arsalsjah, tim manajemen Mizan
Learning Centre, metode ini muncul karena kejenuhan yang dialami oleh siswa
yang selama ini dijejali materi-materi pengajaran. Meskipun baru terbatas pada
kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang, Bandung, dan Surabaya, animo
masyarakat mengikuti metode ini sangat besar. Ini terbukti dari banyaknya
pendidik yang mulai mengikuti program pelatihan metode mengajar ini.
"Metode belajar ini kuncinya cuma
satu yaitu learning is fun (belajar itu menyenangkan). Metode ini tak cuma
membuat intelegensia siswa meningkat tetapi emotional quetiont matang,"
ujar Arsalsjah.
Arsalsjah menerangkan, ada beberapa teknik
yang digunakan, yaitu mengorkestrai suasana (membuat suasana belajar nyaman
seperti menyetel musik), mind mapping (pemetaan pikiran yaitu dengan membuat
gambar atau bagan tentang poin-poin penting yang dipelajari), temu susun
(membuat kata-kata sesuai suasana hati untuk mengingat suatu rumus atau
konsep), pneumonik (jembatan keledai untuk mengingat sesuatu), dan experience
tele learning (belajar berdasarkan pengalaman).
"Bawalah dunia siswa ke dunia kita,
dan antarakan dunia kita ke dunia siswa" itulah asas utama metode
pengajaran ini. Ungkapan itu berarti hubungan pengajar dan siswa sejajar,
pengajar atau guru bukanlah penindas siswa.
* * *
Metode pengajaran ala Bobbi de Porter
bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Sistem pendidikan yang dinilai
"menindas" siswa dilontarkan oleh ahli pedagogi barat maupun ahli
pedagogi dari kelompok kiri. Ahli pedagogi dan psikologi anak dari Universitas
Munchen, Prof Kurt Singer, dalam bukunya Wenn Schule Krank Macht (Jika Sekolah
Membuat Sakit) yang diterbitkan tahun 2000.
Kurt mengatakan, sekolah bukan lagi tempat
yang nyaman bagi anak-anak. Sekolah hanya menjadi lingkungan penuh sensor yang
mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Tak tanggung-tanggung, Singer
menyebut pendidikan sekolah yang mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan bagi
siswa. Bahkan, Singer menyebut sekolah sebagai schwarzer pedagogik (pedagogi
hitam).
Hal yang senada juga diungkapkan oleh
Paulo Freire, kritikus paling terkenal dalam dunia pendidikan. Freire
mengingatkan, dunia pendidikan adalah apa yang terjadi dalam masyarakat yang
dikendalikan oleh kekuatan kapital. Bahkan, dalam pelajaran membaca dan
menulis, penindasan sudah terjadi. Proses belajar mengajar itu mau tak mau
telah memblokir manusia menjadi manusia.
Mengkritisi sistem pendidikan di
Indonesia, metode dari Freire, Bobbi, dan Kurt akan membantu untuk menyadari
betapa pendidikan di Indonesia telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang
paling dasar, yakni membantu anak didik menjadi manusia yang bebas dan merdeka.
Padahal, pendidikan semacam itu adalah dasar yang tak boleh ditawar dalam
demokrasi. Jangan bermimpi demokrasi jika sistem pendidikan Indonesia masih
belum membebaskan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, dan menghargai orang
lain.
(Kompas 191101)
source : [ kolom Opini ] pembelajar.com
No comments:
Post a Comment