Oleh: Gede Prama
Sebagai konsultan
manajemen, tidak terlalu sering saya memiliki kesempatan untuk memasuki
organisasi dengan kinerja tinggi. Namun sebagai pembicara publik, kesempatan
untuk itu justru datang bertubi-tubi. Tidak jarang terjadi, saya dibuat
terheran-heran dengan kinerja perusahaan yang mengundang saya sebagai pembicara
publik. Tupperware Indonesia memiliki karyawan yang tidak sampai seratus orang,
namun kinerja penjualannya mengalahkan omset banyak perusahaan yang memiliki
karyawan ribuan orang. Demikian juga ketika diundang Citibank. Siapa yang tidak
kagum dengan Citibank. Ketika industri perbankan runtuh, ia melaju. Orang-orang
terbaiknya dibajak dari dulu hingga sekarang, tetapi tetap saja organisasinya
demikian bersahabat dengan kemajuan.
Satu hal menantang ketika
diundang sebagai pembicara publik di Citibank, karena audiensnya hanyalah
petinggi-petinggi Citibank Indonesia. Dari Country Manager sampai dengan
vice president bank nomer satu ini hadir di sini. Sebagian dari mereka
bahkan berambut coklat dan berkewarganegaraan asing. Karakteristik audiens
seperti ini, tentu saja amat menantang saya. Di awal pertemuan, saya membagikan
self assessment test untuk melihat, apakah mereka kumpulan orang dengan weak
mind atau strong mind.
Tentu bukan pada tempatnya
kalau saya membuka rahasia Citibank di ruangan ini. Akan tetapi, perjalanan
saya yang demikian panjang sebagai pembicara publik, dan telah memasuki banyak
organisasi-organisasi terbaik, membuat saya sadar, jumlah orang yang duduk di
kursi pemimpin, dan memiliki strong mind, rupanya tidak sedikit.
Entah seberapa valid
kesimpulan ini, tetapi ada indikasi cukup kuat, semakin tinggi posisi orang,
semakin tinggi pendidikannya, berhasil dalam karir, apa lagi di organisasi
sementereng Citibank, mind mereka cenderung terbentuk semakin kuat.
Demikian kuatnya, sampai-sampai tidak sedikit yang tergelincir dalam arogansi
dan kesombongan.
Bukan maksud saya untuk
mengagungkan weak mind dan merendahkan strong mind dalam forum
ini. Karena keduanya memiliki tempat masing-masing. Serta memiliki plus minus
masing-masing juga. Namun, sudah menjadi rahasia umum kalau kompleksitas
persoalan jauh lebih tinggi di atas dibandingkan di bawah. Informasi tentang
apapun – apa lagi tentang manusia – selalu hadir dalam serpihan-serpihan yang
harus dirangkai. Dan fakta yang kita temukan jauh lebih banyak yang bersifat experiential
dibandingkan acquired.
Dalam keadaan demikian,
cara berfikir I am right you are wrong ala strong mind, tentu saja lebih
menjadi musuh dibandingkan sahabat. Bahkan amat sering saya kemukakan, strong
mind sering memotret pelangi dengan menggunakan film hitam putih. Lebih
dari itu, sudah memotret dengan film yang keliru, malah meyakini secara amat
berlebihan bahwa itulah potret yang paling benar. Kalau orang ini hanya seorang
pelaksana di bawah, radiasinya amat sedikit. Namun, kalau ia seorang pimpinan
di puncak ?
Di banyak kesempatan, saya
kerap berangan-angan kalau ada banyak pimpinan puncak dengan weak mind.
Dengan seluruh kearifan dan kerendahan hatinya, bersedia mendengar pendapat
orang lain, merangkai perbedaan, penuh kepekaan dalam menangkap nuansa
persoalan yang kompleks. Sayang, itu masih menjadi angan-angan yang jarang
menjadi kenyataan.
Meminjam apa yang pernah
ditulis Charles Handy dalam Beyond Certainty, ‘The Japanese believe in a
reverse learning curve in life – the older we are, the more we need to study,
listen, and think because problems get more complex and we get rather slower’.
Ini berarti, orang Jepang yang disebut Charles Handy maupun Charles Handy
sendiri percaya dengan kurve belajar yang terbalik. Semakin tua kita, semakin
perlu kita untuk belajar.
Dengan kata lain, kita
memerlukan weak mind di tingkatan hidup yang lebih tua dan lebih tinggi.
Sesuatu yang menjadi sisi impotennya banyak sekolah – termasuk sekolah bisnis.
Lihat saja apa yang terjadi di sekolah bisnis. Teori, ide, paradigma, konsep
dan apapun namanya sebenarnya penuh dengan strong mind. Dari Taylor hingga
ke zaman pasca Drucker, sekolah bisnis dihuni oleh pendekatan yang pekat dengan
warna strong mind.
Saya pernah belajar di
empat sekolah bisnis (dua di dalam negeri dan dua di luar negeri), namun jarang
sekali ada usaha untuk membuat orang agar memiliki weak mind. Di Eropa
ada orang melemparkan ide untuk mengajarkan puisi di sekolah bisnis, tetapi
tidak laku. Di Amerika ada Gareth Morgan yang memperkenalkan ide organisasi
sebagai sekumpulan images, Russel Ackoff yang menyebut the future of
operation research is past, namun idenya tidak selaku ide Porter dan
Drucker.
Saya tidak sedang
mengkambinghitamkan sekolah bisnis dalam hal ini. Akan tetapi, ia sebenarnya
tiang kokoh perubahan ke arah weak mind. Saya bahkan pernah bermimpi,
kalau ada sekolah bisnis yang mengajarkan muridnya bermain-main dengan ide.
Di dunia ide – jika Anda
rajin bermain-main di situ – sebenarnya tidak ada yang keras dan kaku. Semuanya
serba lunak dan lentur. Ia dibuat keras dan kaku oleh keyakinan berlebihan,
kepicikan dan kedangkalan. Makanya, sejumlah petinggi Citibank terkejut ketika
sesinya saya tutup dengan kalimat a person’s mind is like parachute, it does
not function unless it is open.Begitu kepala kita tutup, secara intelektual
kita sebenarnya sudah mati.
Penulis adalah seorang
konsultan manajemen pengembang pendekatan unschooled management dan
beralamat di gprama@uninet.net.id
No comments:
Post a Comment