Oleh: Andrias Harefa *
We are shaping the world
faster then we can change ourselves,
and we are applying to the present the habits of the past.
- Winston Churchill
Bagaimanakah kita menggambarkan proses pembelajaran yang
berlangsung di berbagai perguruan tinggi Indonesia selama beberapa dekade
terakhir ini? Saya khawatir bahwa prosesnya masih sama seperti antagonisme
pendidikan "gaya bank"-nya Paulo Freire, yang kalau disesuaikan
dengan dunia kampus digambarkan seperti ini:
• Dosen mengajar, mahasiswa belajar;
• Dosen tahu segalanya, mahasiswa tidak tahu apa-apa;
• Dosen berpikir, mahasiswa dipikirkan;
• Dosen bicara, mahasiswa mendengarkan;
• Dosen mengatur, mahasiswa diatur;
• Dosen memilih dan memaksakan pilihannya, maha-siswa mengikuti;
• Dosen bertindak, mahasiswa membayangkan bagai-mana bertindak
sesuai dengan tindakan dosennya;
• Dosen memilih apa yang akan diajarkan, mahasiswa menyesuaikan
diri;
• Dosen mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan memper-tentangkannya dengan kebebasan mahasiswa;
• Dosen adalah subyek proses belajar, mahasiswa adalah obyeknya.
Jika benar prosesnya masih demikian, maka proses pembelajaran
sebenarnya telah dikebiri maknanya menjadi sekadar proses penjejalan atau
proses penghafalan, bahkan indoktrinasi, yang memasung dan membunuh sikap
kritis, kreativitas, dan potensi mahasiswa sebagai manusia muda yang sedang
berproses mencari jati dirinya, jati diri kelompoknya, jati diri bangsa dan
masyarakatnya. Nyaris tidak ada dialog dan refleksi kritis sebagai ciri utama pola
interaksi antar manusia yang saling mema-nusiawikan (antar subyek).
Hasil dari proses penjejalan "gaya bank" di atas adalah
manusia-manusia yang kehilangan kreativitas dan kemampuan-nya mengkritisi
persoalan-persoalan kehidupan. Hasil dari proses penghafalan itu adalah
sarjana-sarjana bermental budak, yang arogan atau minder dan tidak memiliki
harga diri sebagai manusia mandiri. Hasil dari proses indoktrinasi itu adalah
sarjana-sarjana beo, yang memang telah dibiasakan hanya mengulang-ulang
pendapat si A dan si B, sekalipun pendapat itu sudah kadaluarsa sekian puluh
tahun.
Hasil dari proses perkuliahan yang membosankan itu adalah
sarjana-sarjana yang terampil menjiplak (sudah terbiasa nyontek saat ujian, dan
membuat skripsi hasil bajakan), penjilat, dan pencinta status quo yang takut
berubah karena tidak pernah siap mengalami transformasi diri untuk menjadi
dewasa dan mandiri.
Seharusnya, proses pembelajaran, apalagi di perguruan tinggi,
bertujuan untuk membuat kaum muda bertumbuh menjadi manusia (being human) yang
serba siap menghadapi realitas kehidupan nyata. Ia seharusnya menjadi
"siap hidup" secara relatif mandiri, tanpa membebani orangtua,
pemerintah, dan masyarakat (sarjana kok nganggur). Ia seharusnya menjadi
"siap belajar" tanpa harus didampingi lagi oleh pengajar/dosen di
sekolah besar kehidupan (sarjana kok nggak baca buku lagi). Ia seharusnya
menjadi "siap berkarya", menjadi kontributor aktif dalam proses
pemberdayaan masyarakat (bukan malah jadi provokator). Ia seharusnya menjadi manusia
yang "siap hidup bersama" dalam aneka ragam perbedaan dengan
manusia-manusia lain di masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia (tidak
kurang gaul atau kuper).
Singkatnya, lulusan perguruan tinggi seharusnya ditandai dengan
kemampuannya untuk terus berproses (belajar) memanusiawikan dirinya dan
sesamanya secara serentak bersamaan.
Bila realitas proses pembelajaran yang seharusnya (das sollen,
should be situation) di perhadapkan dengan realitas proses pembelajaran yang
terjadi di sekolah dan perguruan tinggi (das sein, as is situation), maka
segera nampak suatu kesenjangan yang begitu lebar dan memprihatinkan.
Sementara pihak menjadi begitu skeptis dan bahkan pesimistis
terhadap kemungkinan adanya perbaikan di masa mendatang. Paulo Freire dengan
Pedagogy of the Oppressed-nya (1972) mungkin termasuk dalam kategori itu. Juga
Ivan Illich dengan Deschooling Society-nya (1972), Everett Reimer dengan School
Is Dead-nya (1971), atau juga Neil Postman dengan The End of Education-nya
(1995). Dan sebagai upaya "mengintervensi" realitas yang jauh dari
ideal itu, mereka menggagas proses-proses pembelajaran berbasiskan keluarga,
komunitas, dan masyarakat.
Terlepas dari perdebatan mengenai "keberhasilan" dan
"kegagalan" dari sejumlah eksperimentasi menciptakan alternatif proses
pembelajaran di luar dunia persekolahan formal yang dilakukan Freire, Illich,
dan Reimer pada dekade tahun 70-an, setidaknya banyak pihak yang dewasa ini
sepakat bahwa kritik mereka justru menemukan kembali relevansinya di awal
milenium ketiga ini. Setidaknya dapat dikatakan bahwa kehadiran teknologi
informasi, terutama televisi, personal computer, modem, CD-ROM, dan
email-internet, telah mengubah secara mendasar pola distribusi informasi dan
pengetahuan.
Jumlah waktu yang dihabiskan manusia di muka televisi dan monitor
komputer tidak kalah jauh, di beberapa kasus justru melampaui, waktu yang
dipergunakan kaum muda di sekolah/kampus. Jika dosen-dosen masih mengikuti pola
perkuliahan "gaya bank", maka dimanakah nilai lebihnya dibandingkan
menonton televisi dan mengakses internet? Dosen mana yang "lebih
pintar" dan memiliki informasi lebih banyak dibandingkan "dunia yang
dilipat" itu? Bahkan lewat internet yang menggunakan fasilitas multi
media, polanya jauh lebih interaktif, tidak monolog seperti "kaset rekaman"
(baca: kuliah dosen yang tidak interaktif).
Jadi, bagaimanakah transformasi proses pembelajaran di
kampus-kampus harus dilakukan? Saya tidak punya resep baku dan jawaban yang
definitif seperti yang biasa dikuliahkan dosen-dosen saya dulu. Namun satu hal
kiranya cukup jelas, yakni bahwa kuliah dengan materi dan cara-cara lama yang
itu-itu juga sudah harus dirombak total. Harus ada inovasi dan eksperimentasi
hampir dalam semua hal. Kurikulum dan metodologi, termasuk alat bantu
belajar/kuliah, harus disikapi secara kritis dengan pertama-tama mencoba
memetakan persoalan-persoalan nyata yang dihadapi manusia dewasa ini dan di
masa depan.
Sikap sok tahu dan merasa paling pintar, apalagi paling benar,
harus ditanggalkan oleh para dosen. Teknik bertanya, membangkitkan rasa ingin
tahu (curiosity), dan kemampuan mendengarkan secara empatik (empathic
listening) harus lebih didemonstrasikan oleh mereka yang berdiri di depan
mimbar akademis. Banyak membaca, meneliti, dan menuliskan gagasan-gagasan
orisinal yang segar berdasarkan hasil pergulatan pemikiran-hati (mind-heart)
dalam menatap realitas kehidupan nyata di masyarakat harus menjadi ciri
dosen-dosen masa kini dan masa depan.
Selanjutnya, harus dikatakan bahwa transformasi proses
pembelajaran hanya mungkin dimulai jika "aparatur" kampus merasa
tidak puas (unsatisfied, bukan dissatisfied) dengan kondisi saat ini dan pada
saat yang sama dapat bersepakat dalam menggagas kondisi yang dicita-citakan di
masa depan sebagai sebuah kemungkinan (shared-vision). Jika rasa tidak puas
dalam arti constructive discontent itu tidak cukup kuat, maka kelompok pro
status quo akan kembali mendominasi kampus dan transformasi proses pembelajaran
hanya akan berhenti sebatas wacana dan tidak sampai aksi nyata. Jika rumusan
yang dicita-citakan bersama (shared-vision) itu tidak diyakini sebagai hal yang
possible --seperti mission impossible yang selalu possible karena difilmkan--
maka pembaruan juga tidak akan terjadi.
Pada akhirnya, hemat saya, transformasi proses pembelajaran di
kampus masih dimungkinkan sepanjang para praktisi dan akademisi dan seluruh
stakeholders kampus dapat mentransformasikan dirinya lewat proses unlearn
(meninggalkan ajaran-ajaran yang sudah kadaluarsa dan tidak relevan) dan
relearn (belajar kembali).
Wahai para dosen: belajarlah!
Jika sampai pada soal perubahan,
banyak orang cenderung berkata dalam hatinya:
"perubahan perlu, segala sesuatu harus berubah, kecuali
saya".
- andrias harefa
*) andrias harefa bekerja sebagai knowledge entrepreneur, learning
facilitator-consultant, presiden indonesia school of life, pemrakarsa dan
pengelola situs www.pembelajar.com, penggagas gerakan Indonesia Belajarlah! dan
Forum Mahasiswa Berwirausaha serta gerakan pengajar keliling. Ia juga menulis
20-an buku best-seller, antara lain: Menjadi Manusia Pembelajar (Kompas, 2000);
Pembelajaran di Era Serba Otonomi (Kompas, 2001). Buku terakhir yang dalam
proses penerbitan adalah Menyoal Masa Depan Sekolah dan Universitas (Gramedia,
2002).
No comments:
Post a Comment