Psikolog Sartono Mukadis, menilai, sudah waktunya pendidikan di Indonesia tidak
lagi menjadikan murid sebagai objek tetapi subjek pendidikan. Selama paradigma
murid adalah objek tetap dipelihara, maka murid serta walinya akan terus
menjadi korban dan "sapi perahan" sekolah. Ironisnya lagi, murid
sekolah terus-menerus dibenani kurikulum pendidikan yang tidak masuk akal
beratnya, seperti sudah jatuh tertimpa tangga.
Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang sewenang-wenang dan menjadi
"hantu" bagi murid, sehingga tidak sedikit anak yang takut sekolah
dan takut mengikuti pelajaran."Paradigma itu harus diubah, dan sekarang
pelan-pelan saya lihat sedang terjadi. Paradigma pendidikan satu arah yang
berorientasi pada target Ebtanas harus diganti. Pendidikan bukanlah sesuatu
yang langsung jadi. Pendidikan adalah proses panjang sepanjang hayat,"
ujar Sartono kepada Pembaruan, di Jakarta.
Sartono menyatakan bersyukur karena sistem peringkat di sekolah sudah dihapus
setelah dirinya ikut memprotes selama 20 tahun penerapan peringkat kelas.
Pasalnya, peringkat merupakan penghinaan kepada siswa. Anak yang pandai
matematika, belum tentu juga pandai dalam olahraga.
Adanya peringkat sekolah, katanya, berarti sekolah menghapus semangat
bertanding murid dengan diri mereka sendiri. Guru seharusnya memuji setiap
prestasi dan memicu semangat belajar anak didik. Untuk mencapai paradigma itu
harus memenuhi berbagai syarat. Jangan malah menjadi "hantu" yang
menakutkan anak.
Menurut Sartono, pendidikan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang
anak adalah di tingkat sekolah dasar (SD). Jadi, jangan lagi guru SD direkrut
secara asal-asalan, guru di SD harus betul-betul berkualitas.
Diingatkan pula, janganlah bermimpi bahwa mendidik anak itu tugas guru semata,
dan perlu diingat bahwa belajar dan mendidik itu juga berarti bermain. Selama
di rumah, orangtua harus membuat suasana belajar sambil bermain dalam setiap
kesempatan. "Prinsip sekolah tanpa dinding itu yang terpenting. Guru harus
mengajak anak untuk terus bertanya, dan mencari jawaban dari daya analitis dan
kritis. Guru harus mengizinkan anak didiknya berpikir beda. Janganlah orangtua
atau guru memberhalakan atau menjadikan IQ sebagai Tuhan," ujarnya.
Mutu pendidikan di Indonesia, menurut Sartono, masih sangat menyedihkan.
Rendahnya mutu tersebut, lama kelamaan akan membahayakan masa depan bangsa.
Lewat jalur pendidikan, diharapkan para orang muda atau peserta didik nantinya
dapat bertahan hidup di tengah masyarakat.
"Akan lebih berguna apabila kita bertanya secara positif, apa yang kita
harapkan dari pendidikan kita sekarang ini? Apakah para guru telah menjalankan
tugasnya dengan baik di dalam kelas sehingga dia tidak menjadi hantu yang
menakutkan bagi para murid," ucapnya.Dikatakan, pendidikan yang diberikan
para guru itu harus menyangkut seluruh aspek kehidupan, bukan hanya daya
hafalnya.
"Mendidik manusia seutuhnya itu tidak seperti itu. Jika hanya
mentransformasikan ilmu, sama saja kita menganggap anak didik itu robot atau
komputer yang diisi program-program,'' tuturnya. Menurutnya, untuk membentuk
manusia seutuhnya itu adalah dengan membantu siswa agar ia diperkuat dalam
kepribadiannya yang lebih bermoral, agar ia belajar membawa diri dengan percaya
diri, sekaligus sopan, sehingga dapat mengembangkan suatu wawasan yang memahami
situasi lingkungan alam dan sosialnya. Ditambahkan, kita ingin mendidik anak
yang terbuka, yang mempunyai wawasan luas, yang tahu bahwa dalam masyarakat
Indonesia hidup orang dari berbagai suku, budaya, dan agama, serta dapat
bergaul antara yang satu dan yang lainnya. Tidak sektarian atau memiliki sikap
fanatisme berlebihan.
(Suara Pembaruan 031001)
Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang sewenang-wenang dan menjadi "hantu" bagi murid, sehingga tidak sedikit anak yang takut sekolah dan takut mengikuti pelajaran."Paradigma itu harus diubah, dan sekarang pelan-pelan saya lihat sedang terjadi. Paradigma pendidikan satu arah yang berorientasi pada target Ebtanas harus diganti. Pendidikan bukanlah sesuatu yang langsung jadi. Pendidikan adalah proses panjang sepanjang hayat," ujar Sartono kepada Pembaruan, di Jakarta.
Adanya peringkat sekolah, katanya, berarti sekolah menghapus semangat bertanding murid dengan diri mereka sendiri. Guru seharusnya memuji setiap prestasi dan memicu semangat belajar anak didik. Untuk mencapai paradigma itu harus memenuhi berbagai syarat. Jangan malah menjadi "hantu" yang menakutkan anak.
Menurut Sartono, pendidikan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak adalah di tingkat sekolah dasar (SD). Jadi, jangan lagi guru SD direkrut secara asal-asalan, guru di SD harus betul-betul berkualitas.
Diingatkan pula, janganlah bermimpi bahwa mendidik anak itu tugas guru semata, dan perlu diingat bahwa belajar dan mendidik itu juga berarti bermain. Selama di rumah, orangtua harus membuat suasana belajar sambil bermain dalam setiap kesempatan. "Prinsip sekolah tanpa dinding itu yang terpenting. Guru harus mengajak anak untuk terus bertanya, dan mencari jawaban dari daya analitis dan kritis. Guru harus mengizinkan anak didiknya berpikir beda. Janganlah orangtua atau guru memberhalakan atau menjadikan IQ sebagai Tuhan," ujarnya.
Mutu pendidikan di Indonesia, menurut Sartono, masih sangat menyedihkan. Rendahnya mutu tersebut, lama kelamaan akan membahayakan masa depan bangsa. Lewat jalur pendidikan, diharapkan para orang muda atau peserta didik nantinya dapat bertahan hidup di tengah masyarakat.
"Akan lebih berguna apabila kita bertanya secara positif, apa yang kita harapkan dari pendidikan kita sekarang ini? Apakah para guru telah menjalankan tugasnya dengan baik di dalam kelas sehingga dia tidak menjadi hantu yang menakutkan bagi para murid," ucapnya.Dikatakan, pendidikan yang diberikan para guru itu harus menyangkut seluruh aspek kehidupan, bukan hanya daya hafalnya.
"Mendidik manusia seutuhnya itu tidak seperti itu. Jika hanya mentransformasikan ilmu, sama saja kita menganggap anak didik itu robot atau komputer yang diisi program-program,'' tuturnya. Menurutnya, untuk membentuk manusia seutuhnya itu adalah dengan membantu siswa agar ia diperkuat dalam kepribadiannya yang lebih bermoral, agar ia belajar membawa diri dengan percaya diri, sekaligus sopan, sehingga dapat mengembangkan suatu wawasan yang memahami situasi lingkungan alam dan sosialnya. Ditambahkan, kita ingin mendidik anak yang terbuka, yang mempunyai wawasan luas, yang tahu bahwa dalam masyarakat Indonesia hidup orang dari berbagai suku, budaya, dan agama, serta dapat bergaul antara yang satu dan yang lainnya. Tidak sektarian atau memiliki sikap fanatisme berlebihan.
No comments:
Post a Comment