Oleh: Gede Prama
Senin, 18/3/2002
Satu hal yang menarik hati ketika
berhadapan dengan anak kecil, adalah kesukaannya untuk bertanya secara bebas
tidak terbatas. Baik karena faktor ketidaktahuan, pikiran yang belum dipagari
etika dan logika, pengalaman yang masih amat kurang, yang jelas semua ini
membuat mahluk-mahluk kecil ini sering keluar dengan pertanyaan-pertanyaan
menyentuh dan kadang mengejutkan.
Ada pertanyaan tentang kenapa matahari
selalu terbit dari timur, ada keingintahuan dari bentuk asal apakah air itu
terbuat, ada juga gugatan kenapa seorang anak tidak bisa memilih orang tua dari
mana mereka lahir, ada juga hentakan pertanyaan kenapa alam membuat gunung dan
laut, kerap mereka juga memprotes Tuhan sebab burung bersayap sedangkan manusia
tidak, ada juga yang bertanya kenapa langit harus berwarna biru, dan masih ada
lagi rangkaian pertanyaan bebas tanpa batas lainnya.
Setiap orang dewasa yang pikirannya sudah
dipagari berbagai logika dan etika, apa lagi dibumbui oleh nafsu besar untuk
menghakimi, akan melihat semua pertanyaan ini hanya sebagai ungkapan-ungkapan
dangkal yang tidak bermakna. Salah-salah bisa mengundang pelecehan, atau malah
mendatangkan amarah besar. Namun bagi pemburu kebebasan dan kejernihan,
anak-anak kecil adalah guru-guru kejernihan yang sedang menyamar jadi anak
kecil.
Disebut guru, karena mereka masih demikian
akrab dan bersahabatnya dengan kejernihan dan kebebasan. Dikatakan menyamar,
sebab badan yang membungkus pikiran segar tadi adalah badan-badan anak kecil.
Dan kitapun dulunya, ketika masih berstatus anak kecil, menyamar jadi guru-guru
kejernihan dan kebebasan. Pertanyaannya kemudian, kenapa setelah menyandang
status sebagai manusia dewasa yang terdidik, semua kebebasan dan kejernihan
tadi terbang entah kemana.
Kerap saya bertanya, siapa yang mencuri
atau membawa terbang kejernihan dan kebebasan yang dulunya menjadi milik kita
ketika masih berstatus anak kecil ? Sekolahkah ? Etika orang dewasakah ?
Pengalaman lengkap dengan pagar-pagar besinya yang demikian mengerikankah ?
Orang tua kitakah ? Globalisasi dan sosialisasi ? Atau malah nafsu dan
kegemaran kita sendiri untuk suka dan terlalu mudah untuk menghakimi ?
Entahlah, yang jelas jauh lebih produktif untuk mencari dan menyelami kebebasan
dan kejernihan, dibandingkan mencari-cari kambing hitam siapa yang telah
membawanya pergi.
Dalam cahaya pemahaman seperti ini, kadang
saya suka mengajak sang diri, demikian juga banyak eksekutif yang rela
mendengarkan ‘ide-ide gila’ saya, untuk berlomba-lomba membuat
pertanyaan-pertanyaan tidak mungkin sekaligus lucu. Siapa yang berhasil membuat
pertanyaan yang paling tidak mungkin, apa lagi paling bisa mengundang tawa, ia
memperoleh hadiah yang amat menarik.
Bermacam-macam hasil yang pernah saya
peroleh. Dari pertanyaan kenapa selingkuh itu indah, kenapa kita manusia harus
dikandung Ibu tidak dikandung Bapak, kenapa kita kalau tidur harus di tempat
tidur bukannya di atas genteng, kenapa kalau kali banjir orang pada lari
ketakutan bukannya mengambil ban dan berenang menikmati keindahan banjir,
kenapa mobil harus beroda sekurang-kurangnya empat kenapa tidak bisa dibuat
mobil beroda satu saja, kenapa rumah harus ada atapnya, kenapa orang tua kalau
berhubungan intim harus mengunci pintu, kenapa komputer harus dibuat dari bahan
plastik dan bahan olahan lainnya, kenapa tidak bisa dibuat dari bahan-bahan
alami seperti daun, tanah, batu, air, dan masih banyak lagi daftar-daftar
pertanyaan aneh dan tidak mungkin.
Sebagaimana biasa, semua ini memang tidak
harus dijawab. Karena jawaban hanyalah rangkaian hal yang membuat kegiatan
mencari jadi terhenti. Yang lebih penting dari jawaban adalah hentakan-hentakan
kejernihan dan kebebasan yang dibuat oleh pertanyaan-pertanyaan tadi.
Setiap sahabat yang sudah demikian
dipasung dan diikat oleh rangkaian logika dan etika, apa lagi berhasil
diperalat dan diperkuda oleh logika dan etika, mungkin akan membuang muka bila
dibombardir oleh pertanyaan-pertanyaan gendheng tadi. Ada juga yang sempat
menyatakan rasa ketersinggungannya pada saya. Dan ini tentu saja menjadi hak
pribadi masing-masing. Yang tentu saja karena alasan kebebasan dan kejernihan
juga harus diberikan hak hidup.
Apapun pendapat dan sikap Anda, saya ingin
mengakhiri hentakan-hentakan lewat pertanyaan ini melalui sebuah lelucon.
Konon, pada suatu hari ada sepasang suami istri yang sedang santai saling
melemparkan pertanyaan sebagai teka-teki. Sang suami yang berperut agak gendut
memulai teka-teki : ‘Apa yang ada di tengah perut saya yang kembung ini Ma ?’.
Ketika istrinya menjawab dengan berbagai jenis makanan dan minuman, suaminya
hanya menggelengkan kepala. Setelah isterinya menyerah kalah, suaminya menjawab
meyakinkan : ‘Di dalam sini ada gajah, nih lihat belalainya !’. Tidak mau kalah
dengan sang suami, istrinya juga melemparkan pertanyaan yang sama : ‘apa yang
ada di dalam perut saya Pa ?’. Setelah dijawab dengan berbagai jawaban dan
ternyata semuanya disebut salah, maka sang istripun menjawab meyakinkan : ‘Di
dalam sini ada telepon umum, nih lihat tempat memasukkan coin-nya’. Mendengar
jawaban demikian, mendadak sang suami merengek : ‘Ma ini gajahnya mau telepon
!’.
Nah dari cerita ini, saya mau tanya ke
Anda, apakah ajakan suami di atas adalah sebuah sirkus di mana gajah bisa
menelpon, ataukah ini hanya sebuah cerita porno yang bisa mengundang tawa, bisa
juga menghadirkan orang tersinggung ?. Dan sebagaimana untaian
pertanyaan-pertanyaan di atas, inipun tidak perlu dijawab. Cukup ia hadir di
kepala dengan sebuah tugas : menghentak dan mengetok pintu kebebasan dan
kejernihan.
No comments:
Post a Comment