By : benyamin harefa
Bisnis cinta, cinta bisnis, dan bisnis dalam cinta adalah tiga hal
yang berbeda. Di sini, saya ingin bicara masalah bisnis dalam cinta.
Apakah yang saya maksudkan dengan bisnis dalam cinta? Bila A
mencintai B dan juga sebaliknya, maka apakah bisnis dalam cinta mulai terjadi
ketika keduanya memutuskan untuk membuka usaha bersama? Atau, apakah
pengertiannya adalah A memberi diskon khusus, bahkan sekali-kali gratis, bila B
membeli barang di tokonya? Ataukah pengertiannya adalah B memberi tenggang
waktu (jatuh tempo) lebih lama untuk hutang dari perusahaan milik A dan bila
perlu, pura-pura lupa?
Bukan itu. Bisnis
dalam cinta yang saya maksudkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
masalah bisnis sehari-hari. Ini bukan masalah diskon khusus, barang gratis,
atau toleransi bisnis yang lebih besar. Ini bukan tentang dua orang yang saling
mencintai dan kemudian membuat usaha patungan bersama. Ini bukan tentang
profesionalisme yang dicampuradukkan dengan cinta. Ini bukan tentang bisnis
dalam percintaan. Ini tentang bisnis 'dalam' cinta.
Ketika saya masih SMA, saya membaca buku Erich Fromm berjudul Seni
Mencinta, sebuah buku psikologi dan (bisa juga dikategorikan) filsafat yang
sarat makna. Buku yang tidak mudah dicerna. Buku itu mengupas secara mendalam
masalah jatuh cinta, jenis-jenis cinta dan penyakitnya, makna dan intepretasi
terhadap cinta, dan seterusnya. Pokoknya tentang cinta dan 'seni'-nya.
Dari sekian banyak hal yang masih saya ingat, satu hal menarik
yang Fromm ungkapkan adalah tentang bisnis dalam cinta. Ia mengatakan bahwa
dalam proses menuju mencintai seseorang (lebih tepat dan jelasnya: dalam proses
sebelum seseorang akhirnya menyatakan cintanya pada orang lain), kita pada
umumnya melakukan transaksi bisnis.
Kita tidak akan menyatakan cinta kita pada orang yang tidak bisa
kita 'beli'. Kita tidak akan menyatakan cinta pada orang yang 'harganya'
terlalu mahal. Kita berhitung pantas tidaknya. Contoh praktisnya: Rudi tidak
akan menyatakan cintanya pada Rini bila Rudi merasa Rini berada di luar
jangkauannya. Rudi orang biasa, Rini anak pejabat. Rudi bukan pria tampan, Rini
cantiknya luar biasa. Rudi IQ-nya normal, Rini IQ-nya abnormal (lebih tinggi).
Rudi tamatan SMA, Rini sudah S-2. Rudi bekerja sebagai supir dan Rini adalah
orang yang disupirinya.
Dengan perhitungan seperti itu, Rudi tidak akan berani
mengungkapkan cintanya pada Rini. Seandainya (dan kadang-kadang memang terjadi)
Rudi berani mengungkapkan cintanya, maka giliran Rini yang akan berhitung.
Siapa sih Rudi? Pantaskah ia jadi pacarku? Selevelkah dia denganku? Bagaimana
citraku nantinya bila aku menerima cintanya? Dan seterusnya. Singkatnya, ketika
seseorang berani mengungkapkan cintanya pada orang lain, dan orang lain
tersebut menerimanya, maka sebenarnya dapat dikatakan keduanya telah mencapai
'kesepakatan harga'. Ada transaksi bisnis yang disepakati diantara mereka
berdua, transaksi yang tidak begitu jelas komoditinya (harga diri? ego?).
Bahkan, seandainya Rudi dan Rini akhirnya menjadi pasangan, Fromm tetap
beranggapan bahwa ada bisnis dalam cinta, yang perhitungannya bukan dari
hal-hal yang disebutkan di atas. Pasti ada harga untuk sebuah pertemuan. Begitu
kira-kira.
Bagaimana pendapat Anda? Saya pribadi harus jujur mengatakan: ada
benarnya. Lebih baik diam daripada mengungkapkan cinta untuk kemudian ditolak.
Lebih baik pasif daripada aktif tapi malu-maluin. Lebih baik diam di tempat
daripada melangkah tanpa perhitungan dan kemudian kejeblos. Tanpa mengurangi
hormat pada mereka yang berani tampil beda, tetapi begitulah kenyataan pada
umumnya. Begitulah kira-kira bisnis dalam cinta.
Yang saya tahu pasti, ada satu cinta yang tidak melakukan
perhitungan bisnis seperti itu, sebuah cinta tanpa bisnis di dalamnya: Cinta
Allah kepada manusia.
No comments:
Post a Comment