Beberapa waktu yang lalu,
akibat terjadinya krisis moneter, beberapa pakar kesehatan mengasumsikan bahwa
Indonesia menghadapi bahaya besar, yaitu terjadinya the lost generation.
Generasi yang
hilang, istilah yang kemudian meluas dan menjadi perbincangan menarik. Generasi
yang hilang adalah istilah yang dikhawatirkan terjadi oleh karena berkurangnya
intake (masukan) gizi yang cukup pada kelompok masyarakat yang menurun
penghasilannya, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan gizi yang cukup dan seimbang pada anak-anak (secara khusus balita).
Menurunnya kualitas zat
gizi akan menyebabkan dampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan
fisik-mental-intelektual. Suatu saat, 10-20 tahun mendatang, ketika generasi
yang kekurangan zat-zat gizi ini dewasa, mereka tidak akan dapat mampu hidup
normal dan produktif, sebagaimana seharusnya yang diharapkan sebagai sumber
daya manusia. Maka saat itulah the lost generation menunjukkan diri.
Istilah the
lost generation barangkali dapat juga diterapkan pada kondisi yang
memprihatinkan kita saat ini, tetapi lebih dalam arti yang sebenarnya: generasi
yang hilang. Istilah generasi yang hilang adalah ungkapan yang akan membawa
kita kepada pemahaman mengenai apa yang sedang terjadi pada generasi muda
(baca: remaja) kita saat ini. Mereka benar-benar generasi yang hilang.
Remaja adalah
suatu fase dalam kehidupan. Dengan menggunakan batasan WHO, maka seseorang
dikatakan remaja dalam batas usia 10-20 tahun. Bahkan lebih jauh ditambahkan
bahwa remaja awal berada dalam usia 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.
Sementara di Indonesia, batasan yang digunakan sama dengan istilah youth
(pemuda) yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yaitu usia 15-24
tahun.
Kalau kita
mencermati dengan baik, maka situasi yang sekarang merupakan gambaran remaja
yang sedang berada dalam bahaya generasi yang betul-betul terancam hilang. Kita
kini menghadapi remaja-remaja yang sedang berada dalam siatuasi transisi dengan
gambaran sebagai berikut :
1. Mereka dibesarkan di
tengah-tengah terjadinya perubahan sosial-budaya akibat kemajuan perekonomian
di era akhir tahun 80-an. Saat itu, ketika tingkat kehidupan mengarah ke arah
perbaikan kesejahteraan, terjadi perubahan gaya hidup dari orang-orang tua
maupun lingkungan sekitarnya.
Makanan fast
food, pergaulan jes-set, kemewahan dan materi yang mencukupi, yang penting
semua yang serba cepat dan wah, termasuk dalam hal waktu, menyebabkan perubahan
dalam perkembangan kepribadian remaja. Tempat-tempat makan, tempat hiburan,
tempat wisata, adalah favorite mereka. Kini meraka hidup dengan pola hidup dan
gaya sedemikian mereka di didik. Mereka kehilangan arah dan nilai hidup.
2. Para remaja ini juga
kini menghadapi perkembangan industri yang membombardir kehidupan para remaja
yang memang sudah kekurangan asupan pengasuhan yang benar. Kini mereka setiap
hari berhadapan dengan iklan-iklan, produk, dan jasa, yang menekankan pada "kesempurnaan"
artifisial. Buaian kata-kata : lebih baik menggunakan ini, itu; pakailah ini,
maka anda tampil lebih percaya diri dan lebih baik; minuman-makanan remaja
trendy; dan lain sebagainya.
Eksploitasi
terhadap kebutuhan akan kasih sayang, penerimaan, aktualiasi diri, diangkat
secara berlebih-lebihan, dan membawa para remaja dalam cara hidup yang penuh
dengan aksesoris luar : make-up, pakaian, parfum, perhiasaan, model, cara hidup
sesuai idola, dan sebagainya. Mereka kehilangan penghargaan terhadap diri.
3. Para remaja saat ini
berhadapan dengan keluarga yang sering sekali tidak menjadi keluarga yang
menawarkan pengertian, kasih-sayang, asuhan, perkembangan karakter dan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk perkembangan kehidupannya sebagai seseorang manusia
yang berkembang bukan hanya fisik, tetapi juga psikologisnya.
Ketidaktahuan
remaja dalam berbagai permasalahan perkembangan, misalnya perkembangan alat
reproduksinya sediri sering mengakibatkan berbagai dampak yang tidak jarang
merupakan masalah sosial Bahkan oleh karena ketidaktahuan ini, tidak jarang
yang terjadi adalah kehamilan remaja, yang sebagian besar tidak dikehendaki.
Penelitian di Jakarta, Yogyakarta, dan Denpasar menunjukkan bukti bahwa di
kalangan remaja telah terjadi revolusi dalam hubungan seksual menuju ke arah
liberalisasi tanpa batas. Munculnya kenakalan remaja,
kasus-kasus
narkoba di kalangan remaja, adalah contoh bukti pencarian mereka akan makna
diri yang salah. Mereka seharusnya menemukannya di keluarga, tetapi ternyata
tidak. Lalu mereka mencari pada rekan sebaya (peer group), yang sering sekali
menjerumuskan mereka ke arah pergaulan buruk. Mereka kehilangan karakternya
sebagai manusia.
Gambaran di
atas merupakan fenomena yang kini sedang terjadi di tengah-tengah kita.
Barangkali, saat ini gejala dari hilangnya generasi kita ini belum begitu
terasa, karena masih ada generasi yang lebih tua (yang lahir sebelum mereka)
dan masih memegang tradisi dan budaya.
Akan tetapi,
jika akhirnya seluruh generasi yang ada, adalah mereka yang merupakan generasi
yang hidup dalam kehidupan the lost generation, kita menghadapi bahaya besar!
Satu generasi ke depan, kita akan berhadapan dengan "mereka-mereka"
yang benar-benar kehilangan arti dan nilai hidup, yang kehilangan penghargaan terhadap
diri, dan yang kehilangan karakternya sebagai manusia. Pada saat itulah kita
baru akan menyadari bahwa kita benar-benar telah kehilangan dalam arti yang
sebenarnya.
No comments:
Post a Comment