By : benyamin harefa
Dalam perjalanan hidup kita, saya yakin kita semua pernah
mengalami kekecewaan yang sangat mendalam. Kita merasakan ketidakadilan,
kehilangan, frustasi dan kemarahan yang sungguh-sungguh. Dan kita kemudian marah
kepada Tuhan. Atau paling tidak, menyalahkan Tuhan. Atau mungkin mencurigai
Tuhan. Atau bisa juga hanya sekedar mengeluh. Tapi yang jelas, kita semua
bertanya pada Tuhan: Mengapa Ia biarkan semua itu terjadi? Mengapa saya
diperlakukan tidak adil? Mengapa saya harus kehilangan orang yang begitu saya
cintai? Mengapa kerja keras saya berakhir dengan kesia-siaan?
Menyalahkan Tuhan mungkin adalah suatu kesalahan. Mungkin? Ya.
Karena kita tidak tahu apakah Ia berada di balik kejadian yang mengecewakan
itu. Kalau benar, maka adalah manusiawi kalau kita marah pada Tuhan. Sebagian
besar orang mungkin tidak bisa menerima hal ini. Kita tidak bisa memarahi Tuhan
sekalipun Ia berada di balik kejadian-kejadian yang menghancurkan hati kita.
Tuhan tidak pernah salah. Ia memiliki rencana yang indah dibalik
peristiwa-peristiwa yang membawa duka. Kitalah yang harus belajar memahami
rencana Tuhan dalam hidup kita. Saya setuju sekali. Tapi tidak ada gunanya juga
berpura-pura 'menerima' Tuhan namun sebenarnya hati kita memberontak. Toh Dia
tahu yang paling dalam dari lubuk hati kita. Menahan kemarahan pada Tuhan
dengan mengalihkannya pada diri sendiri hanya akan menambah satu kebohongan
dalam diri kita.
Sebagai orang yang percaya bahwa Tuhan 'masih hidup' dan bekerja
di tengah kehidupan manusia, kemarahan kepada-Nya merupakan suatu bukti bahwa
kita benar-benar konsisten dengan keyakinan itu. Kita tidak akan marah pada
anak kita bila kita terjebak kemacetan di jalan. Kita tidak akan marah pada
orang asing yang lewat di depan rumah kita bila di rumah kita tidak ada
makanan. Kita tidak akan marah pada tetangga kita bila tukang yang seharusnya
membereskan atap rumah kita ternyata belum juga menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam semua itu, kita tidak marah karena kita tahu ketidakberesan itu sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
Sebaliknya, kita
marah pada pemerintah daerah yang tidak bekerja maksimal dalam menata kota.
Kita marah pada pembantu di rumah karena melalaikan tugasnya memasak. Kita
marah pada tukang yang kita sewa.
Ini paling tidak
menunjukkan tiga hal. Pertama, kita yakin mereka orang yang bertanggungjawab
akan hal itu. Kedua, kita tahu mereka mampu melakukannya. Dan ketiga, kita
menaruh harapan pada mereka.
Kemarahan kita pada
Tuhan juga merupakan bentuk dari keyakinan kita bahwa Ia bertanggungjawab, Ia
mampu, dan Ia baik. Ia ada dan bekerja di tengah kehidupan kita. Bukankah itu
keyakinan yang benar?
Kalau begitu,
mengapa Ia yang maha segalanya itu mengecewakan kita? Wah, itu saya tidak tahu.
Tanyakan pada Tuhan. Tapi saya mau anjurkan sesuatu pada kita semua. Mari kita
mengampuni Tuhan karena Ia mengecewakan kita sebagaimana Tuhan mengampuni kita
karena kita mengecewakan-Nya. Mari kita mengampuni Tuhan karena Ia tidak
melakukan apa yang kita minta Ia lakukan sebagaimana Tuhan juga mengampuni kita
karena kita tidak melakukan apa yang Ia minta kita lakukan. Padahal Dia adalah
pemilik jiwa kita. Padahal kita adalah ciptaan-Nya.
No comments:
Post a Comment