Oleh : Gede Prama
Entah siapa yang memulai, sejarah manusia
sukses hampir selalu diidentikkan dengan ketekunan menggunakan akal sehat.
Demikian kuatnya keyakinan terakhir, sampai-sampai orang yang keluar dari
kaidah akal sehat ini, kerap malah disebut miring dan gila. Tidak sedikit orang
yang malah nyawanya hilang, ketika berhadapan dengan akal sehat kekuasaan yang
congkak dan tidak tahu diri.
Asal Anda tahu, kecongkakan akal sehat
terakhir, tidak hanya monopoli mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Ia juga
menghinggapi sejumlah ilmuwan dan pemikir manajemen.
Lihat saja model berfikir kaum rasionalis
(yang mengandalkan kelogisan berfikir) serta kaum empiris (dengan modal
data-data masa lalu). Keduanya telah lama meng-claim diri sebaga 'dewa'-nya
kegiatan berfikir. Di luar dua dunia berfikir ini, demikian ekstrimis di bidang
ini meyakini, yang ada hanyalah mahluk-mahluk haram yang tidak layak untuk
dilirik.
Nah, sekarang coba cermati apa yang
terjadi dengan nilai tukar sejumlah mata uang Asia (terutama rupiah) terhadap
dolar AS. Bila dibentang data sepanjang tiga puluh tahun sekalipun, tidak ada
sinyal sebesar telur nyamukpun, kalau nilai rupiah bisa akan demikian
mengerikan. Tidak sedikit ekonom, yang memiliki segudang rasionalitas di balik
kejadian ini, hanya bisa berkilah bahwa semua itu disebabkan faktor non
ekonomi.
Atau coba lihat lagi kesimpulan
lembaga-lembaga sekaliber bank dunia dan IMF tentang 'keajaiban ekonomi Asia'.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau kedua lembaga ini telah lama menjadi gudang
tempat penyimpanan pakar bergelar doktor, yang sudah tentu tidak diragukan akal
sehatnya dari segi ilmu pengetahuan ala sekolah.
Kalau mau buktinya ditambah, lihat saja
perekonomian Jepang yang dulu pernah memproklamasikan manajemen Jepang dengan
segala keunikan budayanya. Atau etos kerja orang Korea Selatan yang dulunya
disebut menjadi penyebab melajunya perekonomian mereka. Atau kiat greng
sejumlah usahawan Indonesia yang menggantungkan nasib pada kedekatan dengan
keluarga Cendana.
Jauh sebelum krisis ini terjadi, saya
telah membunyikan lonceng peringatan akan bahayanya model akal sehat yang naif
ini (sebagai salah satu bukti lihat artikel saya di Warta Ekonomi edisi 30
Desember 1996 tentang unschooled manager). Namun, sebagaimana kejadian lainnya,
orang baru percaya jika langit sudah mau runtuh.
Sekarang, setelah gempa bumi
poleksosbudhankam terjadi, tiba-tiba kita dihentakkan oleh kenyataan, bahwa
masa depan tidak semuanya merupakan kepanjangan tangan dari rasionalitas hari
ini dan kejadian empiris kemaren. Tidak sedikit masa depan - sebut saja krisis
yang menghimpit kita sekarang ini sebagai contoh - yang tiba-tiba melompat
tanpa bisa diketahui dari mana asal muasal empirisnya.
Kalau boleh saya mencuri kejernihan dari
sini, akal sehat yang manapun sebenarnya hasil dari kegiatan mirorring
(pengkacaan). Sebagaimana kegiatan bercermin, wajah kita di cermin akan
mendekati kenyataan bila cerminnya bening dan jernih.
Sayangnya, mind kita bukanlah cermin yang
bening dan jernih. Bahkan, ia lebih menyerupai cermin pecah yang dibuat
berantakan oleh kebiasaan berfikir menoleh ke belakang (empiris) dan kelogisan
akal sehat yang naif.
Dikatakan demikian, karena dalam setting
berfikir rasional dan empiris ini, semua realita yang hadir di depan mata
diseleksi dan dicocokan dengan pola yang pernah terjadi. Bila cocok,
terlihatlah ia sebagai realita. Jika tidak, maka lenyaplah ia dari perhatian
kita.
Ini yang bertanggungjawab terhadap
kenyataan hidup yang penuh kejutan. Tiba-tiba sudah menjadi bangsa termiskin di
dunia. Terkejut karena baru sadar bahwa KKN-nya tidak ada yang mengalahkan.
Tadinya menjadi pengusaha kaya bertahun-tahun, sekarang malah menjadi manusia
yang lebih miskin dari oang miskin.
Keterkejutan terakhir terjadi, karena pola
dan kerangka yang digunakan untuk menyaring dan menseleksi kecenderungan,
kebanyakan tidak lagi cocok. Sebagai konsekwensinya, jadilah kita sekumpulan
manusia yang bermata tetapi tidak melihat.
Dalam bahasa rekan saya Djisman
Simanjuntak dari Prasetiya Mulya, kita terlalu banyak memperhatikan faktor
rata-rata dalam statistik. Untuk kemudian, menganggap bahwa hari esok bergerak
searah dengan kecenderungan kemaren dan hari sebelumnya. Unsur penyimpangan
alias deviasi - justru ini yang sering membuat orang terkejut - sering dilihat
sebelah mata. Khususnya, bila standar deviasinya tidak terlalu besar.
Belajar dari semua ini, mungkin sudah
saatnya untuk mewaspadai kepala, mata, telinga dan unsur-unsur mind lainnya.
Secara lebih khusus, karena semua ini adalah cermin pemantul yang pecah dan
berantakan. Untuk kemudian, belajar melihat tanpa menseleksi dan mengkerangkakan.
'Kalau mau melihat, ya lihat saja titik !', demikian seorang guru pernah
menasehati saya.
Namun, sebelum Anda menuduh saya
berbohong, artikel ini juga sebuah kerangka, yang bisa membuat mind Anda tidak
bening. Akan sangat saya hargai, bila Anda bisa menempatkan tulisan ini, hanya
sebagai sebuah tulisan saja. Tanpa makian maupun pujian. Lebih hormat lagi,
bila Anda bisa melupakannya sesegera mungkin. Bukankah penglihatan yang segar
hanya bisa kita miliki bila telah bebas dari belenggu kerangka yang manapun ?
Namun, bila Anda menghapus kerangka lain, untuk kemudian mengadopsi kerangka
artikel ini, sebenarnya Anda baru saja selesai meminum racun berfikir. Maafkan
saya untuk itu !.
Source : www.gedepramaideas.com
No comments:
Post a Comment