Apa gunanya kaum
intelektual yang terpelajar? Di Athena, lebih dari 2000 tahun yang lalu,
seorang intelektual di jamannya menjawab dengan caranya sendiri. Namanya
Socrates. Setiap hari ia bangun pagi, dan menghabiskan waktunya dengan
berdiskusi. Di pasar, di gimnasium, di bengkel-bengkel, atau di palaestra,
serta tempat-tempat ramai lainnya, Socrates selalu berada di sana. Ia berbicara
mengenai dialektika kehidupan: tidak ada yang pasti.
Socrates
adalah tokoh yang tidak pernah puas dengan kemapanan. Kebenaran yang telah
diterima luas oleh masyarakat Yunani, digugatnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan filsafatis. Sudut pandang sesuatu kebenaran,
dipertanyakan kembali. Bagi Socrates, segala macam jualan di pasar, justru
begitu usang dan tak berharga. "Aku tidak memerlukan semuanya itu,"
ujarnya suatu kali. Dan sambil berfilsafat di tengah-tengah keramaian, Socrates
justru menemukan ketenangan jiwa. Socrates tidak anti kemapanan, karena ia
justru punya rumah dan harta benda. Ia tidak bicara mengenai perubahan karena
ia miskin. Socrates, justru berbicara mengenai peranan seorang intelektual.
Sebagai
seorang yang tahu mengenai apa yang ia tahu dan yang ia tidak tahu, Socrates
menyadari betul bahwa kebenaran tidak boleh disimpan-meskipun dengan
konsekuensi kematian. Ada suatu prinsip yang salah tetapi sering dipegang oleh
para cendekia kita saat ini-para profesor, doktor, master, sarjana, dan yang
menyebut dirinya intelektual-yaitu ikut arus. Pasar, gimnasium,
bengkel-bengkel, atau palaestra punya "arus" sendiri, tapi sayangnya
sering tidak mampu digugat dengan kebenaran yang hakiki, karena para inteletual
justru "ikut" arus.
Kita punya
banyak orang yang mungkin lebih dari Socrates, yang hanya berjubah satu-itu-itu
juga, dan yang selalu dipakai di masa saja-serta bertelanjang kaki. Mereka,
yang punya gelar-gelar akademis itu, jelas lebih berada dibanding Socrates:
hidup mewah dan bergelimang kemajuan iptek. Hanya satu bedanya: Socrates
lantang bicaranya.
Dunia kita
butuh Socrates-Socrates modern. Yang bicara mengenai kemustahilan ekonomi pasar
tanpa keadilan dan keberpihakan pada kaum miskin. Yang bicara mengenai
kemustahilan politik tanpa etika dan kebenaran. Yang bicara mengenai
kemustahilan para hakim, jaksa, dan polisi menegakkan keadilan tanpa moralitas
dan ketakutan pada Tuhan. Yang bicara mengenai kemustahilan pendidikan tanpa
pencerahan. Yang bicara mengenai kemustahilan agama tanpa pengenelan yang benar
mengenai iman. Yang bicara, yang bicara, dan yang terus berbicara bukan dalam
diam. Tapi dengan lantang mengkritik dan menggelitik. Sama seperti Socrates,
kita butuh mereka-mereka yang berbicara mengenai negara, penguasa, kehidupan,
ataupun persoalan lain, dengan cara yang lain.
Socrates
memang unik. Ia bicara mengenai konsep, definisi, gagasan, metode, dan
kesahihan yang dimengerti para pendengarnya, lalu dengan berseni menunjukkan
kemencongannya. Ia memancing diskusi dan perdebatan. Ia memancing pemikiran.
"Otak, adalah untuk berpikir", demikian Socrates. Lalu, jadilah ia
sebuah legenda.
Hari-hari kita
belakangan ini disibukkan oleh cerita mengenai mereka-mereka yang bergelar
"bo'ong-bo'ongan" atau bergelar karena duit. Para pakar mengkritik
dan menggugat. Koran dan majalah menuliskannya. Semuanya bicara mengenai
kejujuran dan moral akademik. Semuanya bicara mengenai penghargaan terhadap bobot
intelektual.
Tapi pernahkah
kita memikirkan dengan lebih menggelitik masalah ini? Pernahkah kita mencoba
mengevaluasi kembali: sudah seperti apa rupanya kaum intelektual yang
terpelajar dan terhormat itu, sehingga mereka patut tersinggung? Sudah seperti
apa rupanya moral mereka sehingga mereka seolah "dihina" oleh
mereka-mereka yang bergelar "karbitan" itu.
Sayangnya-seperti
para hakim yang akhirnya menangkap dan mempersalahkan Socrates secara curang,
culas dan menggunakan uang suap-kebanyakan dari kita pun tidak lebih dari
mereka-yang kita tuduh berlaku maksiat akademika itu. Kita, seolah tidak
belajar dari legenda Socrates, bahwa segala sesuatu bisa ditangkap dari angle
yang berbeda.
Menurut saya,
ada juga untungnya ada orang yang berbuat demikian: membeli dan mendapatkan
gelar dengan enteng dan gampang disertai segala macam "dosa-dosa"
akademik itu. Mengapa? Pertama, mereka ingin menggelitik kita-seperti
Socrates-bahwa sistem pengelolaan pendidikan kita selama ini memang begitu
amburadul. Yang menjadi masalah, pesan mereka, bukan gelarnya, tetapi para
pejabat pengelola sistem pendidikan secara keseluruhan.
Hukum ekonomi
yang menyatakan bahwa karena ada permintaan gelar maka ada penawaran gelar,
tidak boleh dipandang secara ceteris paribus. Kadang-kadang ia bersifat aneh:
penawaran justru muncul karena pihak pengelola pendidikan turut melempangkan
kesempatan dan jalan untuk itu.
Kedua, kita
juga semoga tergelitik, bahwa memperoleh gelar kini memang begitu gampangnya,
segampang moralitas dunia pendidikan yang justru tidaklah lebih baik. Dimana
ada kebobrokan, penipuan, penyelewengan waktu, titip absen, dan sejuta nista
lainnya? Kita pasti sepakat : di kampus dan di dunia kaum intelektual.
Suatu hari
ketika kuliah, tanpa malu-malu, seorang dosen saya yang bergelar Profesor
Doktor meminta upah koreksi ujian pada kami! Bukankah itu juga tidak lebih baik
dari moralitas mereka yang mungkin "cuma" membeli gelar itu tanpa
pernah kuliah?
Dan yang
ketiga, barangkali mereka ingin menunjukkan bahwa gelar kini memang sudah tidak
ada lagi artinya. Gelar dapat diperoleh siapa saja, toh juga tidak ada artinya.
Gelar akademik-yang sebenarnya melambangkan suatu kemampuan untuk memberikan
kontribusi yang signifikan pada masyarakat-ternyata sudah sejak lama menjadi
kehilangan makna. Kita punya PT dan para sarjana, master, doktor, tetapi
mengapa kita setiap hari harus menyaksikan korupsi, kolusi, pelacuran,
penindasan, kemiskinan dan bobroknya masyarakat kita?
Kemana kaum
terpelajar kita, yang setiap tahun dihasilkan dari universitas-universitas
terbaik di negeri ini? Bukankah sudah sejak lama kita tahu bahwa mereka pun
punya gelar yang "bo'ong" juga? Bukankah sebagian besar dari
masyarakat kita justru tidak pernah merasakan manfaat dari mereka?
Maka bergelar,
sudah tidak ada maknanya lagi, sehingga mereka-mereka yang membelinya pun
sebenarnya juga tidak mementingkan peranan mereka, seperti halnya mereka-mereka
yang bergelar "asli" tapi "palsu". Sama-sama
"palsu" aja kok, demikian mereka.
Jadi
bagaimana? Tulisan ini membingungkan? Socrates pun-barangkali seperti saya
juga-tak membantah. "Saya menulari orang dengan kebingungan yang ada dalam
diri saya," demikian katanya suatu kali. Semoga tulisan ini pun menambah
kebingungan kita-tapi dengan cara yang menggelitik nurani.
No comments:
Post a Comment