By : Fotarisman Zaluchu
Apa yang akan
anda lakukan kalau suatu ketika anda berhadapan dengan kenyataan bahwa agama
yang anda percayai selama bertahun-tahun, ternyata hanyalah sebuah produk seni
dari jamannya? Atau, bagaimana reaksi anda kalau sekiranya yang anda sebut
sebagai Tuhan itu, hanyalah "Tuhan" yang merupakan figur kabur yang
berasal dari imajinasi kreatif manusia biasa? Dan bagaimana pula kalau akhirnya
dalam keteguhan iman percaya anda selama ini, anda pada akhirnya menemukan
bahwa aturan-aturan keagamaan yang anda lakukan, justru membawa anda dalam
kekeringan rohani, kekaburan makna dan tujuan hidup, serta ketakutan-ketakutan
pada Tuhan?
Setidaknya
bagi Karen Armstrong, Tuhan hanyalah sebatas persepsi-yang kebetulan telah
bertahan 4000 tahun lamanya, dan agama hanyalah sebuah realitas yang justru
lebih banyak gagalnya dalam mendeskripsikan keberadaan Tuhan itu sendiri.
Bagaimana tidak, Armostrong belajar dari pengalamannya sendiri. Sejak kecil, ia
sudah "beragama", tetapi imannya justru tidak memadai untuk menjawab
keragu-raguannya. Tuhan terasa jauh, katanya. Maka pada usia 17 tahun, ia
"mencoba mencari" Tuhan dengan memasuki lingkungan biara. Nyatanya,
waktu 7 tahun menjadi sia-sia. Apa yang disebut sebagai tata ibadah keagamaan
yang ketat, justru semakin membawanya kepada kekosongan makna akan Tuhan.
Rutinitas doa, puasa, pengekangan diri, hanyalah membawanya pada sosok Tuhan
yang kering, kabur dan arogan. Maka, dari pengalaman yang penuh dengan sensasi
batiniah itulah, Armstrong menulis buku Sejarah Tuhan (Mizan, 2001). Buku itu,
tulisnya, adalah bahasan yang komparatif mengenai sejarah persepsi umat manusia
tentang Tuhan sejak era Ibrahim, hingga hari ini.
Apakah
Armstrong salah, bahkan kalau ia menyebut diri sebagai penganut freelance
monotheist? Tergantung dari sudut mana kita memandang. Tetapi yang pasti,
tesisnya Armstrong bagai suara nabiah yang berbicara dengan keras pada umat
manusia; secara khusus di Indonesia yang terkenal taat beragama dan kini hidup
dalam konflik agama yang berkepanjangan dan berdarah-darah!
Konflik atas
nama Tuhan adalah suatu kenestapaan ketika akhirnya "Tuhan" yang
dibela mati-matian itu tidak lebih dari produk ide. Maka apa jadinya manusia di
Maluku, di Sulawesi, di mana-mana di tanah air ini, ketika mereka saling beradu
nyawa atas nama dan demi agamanya, padahal "agama" yang dibela itu
suatu saat akan berlalu, digantikan oleh ide lain? Apa jadinya istilah
"jihad" atau "dalam nama Tuhan", ketika pada akhirnya
"Tuhan" itu sendiri hanyalah sebuah citra yang dibentuk oleh generasi
demi generasi, sesuai dengan kebutuhannya?
Armstrong juga
tidak salah ketika ia secara retorik menanyakan, adakah masa depan bagi Tuhan?
Bagi Armstrong, sekarang ini, terdapat suatu "ruang kosong" di hati
manusia untuk mencari Tuhan yang pernah ada. Dan di tengah-tengah konflik
peradaban yang terwujud dalam dua sisi-sisi pertama: kemiskinan, kelaparan,
kematian, duka lara, dan aneka kematian nurani, dan sisi kedua: materialisme,
kapitalisme, egoisme dan aneka dehumanisasi-manusia mengisinya dengan persepsi
mereka tentang Tuhan.
Maka wajar
saja, sekarang ini kita melihat kenyataan pahit bahwa manusia mencari Tuhan
seolah tergantung pada musimnya. Ketika ada hari besar keagamaan, biasanya
"Tuhan" begitu populer. Ia, dicari, diburu, diucapkan, dibeli, bahkan
dikirimkan dalam kartu dan parcel. Rumah-rumah ibadah penuh dengan
mereka-mereka yang "haus" akan suara Tuhan. Dan para penyiar serta
penyair begitu laris manis. Semua seperti berbicara mengenai suatu simfoni
mengenai Tuhan. Tuhan itu Besar. Tuhan itu Baik. Tuhan itu Kasih. Tuhan itu
Segalanya.
Lalu, ketika
musim "kerohanian" berlalu, manusia tenggelam dalam "Tuhan"
yang lain, yang memang tidak mungkin tidak kita sebut sebagai
"Tuhan". Toh Tuhan adalah fokus hidup, tulis Armstrong.
Persoalan
mengenai "Tuhan" ini pun dapat meluas. Ia, dapat menyangkut problema
moralitas kita sebagai bangsa. Sebagai bangsa yang secara legal formal meyakini
akan adanya Tuhan yang Esa, kita berada dalam kebimbangan mengenai pengaruhnya
dalam kehidupan bernegara.
Kalau benar
kita memang ber-Tuhan (dalam pengertian Allah-nya agama Yahudi, Kristen dan
Islam) dan itu diyakini dengan baik, kenapa masih ada para koruptor yang
menjarah uang negara, para politisi picik yang haus kekuasaan, serta para
birokrat yang bermental tuan? Bukankah itu pertanda bahwa beragama jelas bukan
jaminan? Kalau begitu, seperti Armstrong, adakah masa depan bagi Tuhan?
No comments:
Post a Comment