Oleh: Andrias Harefa
Pemimpin seharusnya orang yang bertelinga.
Ia bukan saja harus dapat mendengar (hearing),
tetapi mampu mendengarkan (listening).
Salah satu rahasia kepemimpinan Mary Kay Ash adalah kemampuannya
dalam mendengarkan orang lain. Ia pernah mengatakan bahwa pada saat ia sedang
berusaha mendengarkan orang lain, "Saya akan menutup mata dan telinga
terhadap hal-hal lain. Saya langsung memandang orang yang berbicara kepada
saya. Bahkan andai ada seekor gorila yang berjalan memasuki ruangan, barangkali
saya tidak akan memperhatikannya".
Mary Kay Ash mungkin mendramatisir soal seni mendengarkan ini.
Namun, ia agaknya benar-benar meyakini bahwa kemampuan mendengarkan merupakan
suatu kemampuan yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinannya. Ketika beberapa
konsultan kecantikan (beauty consultant) yang bekerja di perusahaannya datang
untuk minta nasihat, ia seringkali merasa bahwa yang perlu dilakukannya
hanyalah mendengarkan cukup lama, sampai pihak yang meminta nasihatnya itu
menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang mereka hadapi.
Mendengarkan adalah seni, sama halnya dengan kepemimpinan. Dan
seni tidaklah sepenuhnya bertalian dengan soal-soal kecerdasan intelektual.
Kalau toh seni mendengarkan ingin dikaitkan dengan soal kecerdasan, maka
mungkin ia merupakan bagian dari kecerdasan emosional (emotional intelligence)
atau bahkan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Artinya,
mendengarkan lebih berurusan dengan telinga hati ketimbang telinga fisik. Itu
sebabnya mendengarkan harus dibedakan dengan sekadar mendengar. Jika orang
memiliki masalah dengan pendengaran fisiknya, maka ia memerlukan hearing aid,
alat bantu mendengar yang bisa dibeli di beberapa toko. Namun jika orang tidak
mampu mendengarkan orang lain, ia tidak bisa membeli alat bantu apapun di toko
manapun. Ia hanya perlu menata hati dan pikirannya agar tidak melanglang buana
ketika orang lain sedang berbicara kepadanya.
Dalam berbagai program pelatihan kepemimpinan, perihal
mendengarkan ini juga sering dilatihkan. Sejumlah teknik diajarkan untuk
dipraktekkan berulang-ulang. Namun saya kira mendengarkan sebagai seni tidaklah
bisa dilatihkan. Sebab seni bukan cara, bukan teknik. Namun tidak berarti
latihan mendengarkan tidak perlu. Latihan dan bahkan disiplin untuk
mendengarkan tetaplah perlu, bahkan penting. Yang ingin saya tegaskan adalah
bahwa mendengarkan hanya bisa dilakukan bila hal itu merupakan keputusan hati.
Sebagai teknik, mendengarkan hanyalah soal menciptakan kesan. Dan
mereka yang terlatih untuk bersikap dan berpenampilan "seperti" orang
yang mendengarkan, memang dapat dilatih. Mata kita dapat dilatih untuk
memandang lawan bicara kita. Tubuh kita dapat diatur posisinya agar terkesan
sungguh-sungguh memperhatikan orang lain. Namun pikiran dan hati kita tidak
bisa dipaksa untuk mengikuti penampilan fisik kita, kecuali bila penampilan
fisik itu benar-benar merupakan ekspresi yang jujur dan tulus dari hati kita.
Sejumlah pakar ilmu komunikasi dan kepemimpinan sering membedakan
soal kemampuan mendengarkan ini dalam berbagai tingkatan. Pertama, kita dapat
mendengar (hearing), tetapi sama sekali tidak mendengarkan (listening). Ini
hanya berarti bahwa secara fisik telinga kita normal (tidak tuli). Misalnya,
saat ada demonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia, sejumlah orang memberikan
semacam orasi dan yang lain mendengar tapi tidak sampai mendengarkan. Buktinya,
banyak orang sibuk sendiri dengan obrolan dan kegiatan lainnya yang tidak ada
kaitannya sama sekali dengan orasi yang sedang disampaikan.
Jadi, secara fisik mereka mendengar, tapi dalam hati mereka
berkata "emangnya gue pikirin". Juga bila orang sedang mengunjungi
berbagai pameran, ikut sekatenan atau pasar malam, dan sejenisnya. Pada saat
itu ada banyak suara disana sini, termasuk suara radio, televisi, atau
peralatan multi media yang sedang didemonstrasikan penggunaannya. Namun,
kebanyakan orang yang mendengar tidak pernah mendengarkan, tidak memberikan
perhatian penuh. Apa yang mereka dengar tidak mempengaruhi pikiran dan perilaku
mereka.
Kedua, kita dapat mendengar tapi tidak sampai mendengarkan ketika
kita memberikan kesan seolah-olah mendengarkan tetapi sesungguhnya tidak.
Artinya, kita cuma pura-pura mendengarkan, cuma basa basi sosial untuk tidak
membuat orang lain tersinggung. Pada tahap ini apa yang masuk dari telinga
kanan, langsung keluar dari telinga kiri. Informasi, keluhan, nasihat, kritik,
atau apapun yang disampaikan lawan bicara kita tidak sampai menetap di otak,
apalagi sampai ke dalam hati. Jadi, pada tahap ini pun keterlibatan pikiran dan
hati belum terjadi. Biasanya inilah yang terjadi saat seorang pegawai
mendengarkan atasannya memberikan pengarahan yang membosankan. Para penatar P-4
di masa Orde Baru, mungkin banyak didengarkan dalam arti ini juga.
Ketiga, kita dapat mendengarkan secara amat selektif. Kita
mendengarkan juga, tetapi tidak sampai memahami secara utuh apa yang sebenarnya
ingin disampaikan lawan bicara. Kita hanya sibuk mencari cara untuk memberikan
tanggapan balik kepada lawan bicaranya, entah dengan maksud untuk menyenangkan
ataupun dengan maksud untuk mencari kelemahan dari kata-kata yang disampaikan
lawan bicara kita. Misalnya, dalam diskusi yang sarat dengan adu argumentasi.
Pihak-pihak yang setuju dan pihak-pihak yang berpendapat sebaliknya hanya
mendengarkan pihak lain dalam rangka mencari-cari alasan untuk "memukul
balik". Tidak ada kejujuran dan ketulusan untuk memahami secara
sungguh-sungguh. Kita berusaha mencari pembenaran dari pendapat kita sendiri.
Keempat, kita dapat mendengarkan secara logika. Pada tahap ini
kita sudah melangkah lebih jauh dari sekadar hearing. Kita mendengarkan dengan
"otak", mampu mengingat/menghafal apa yang dikatakan oleh lawan bicara
kita. Jika kita diminta mengulangi apa yang telah dikatakannya secara verbal,
maka kita dengan mudah akan dapat melakukannya. Sebagian besar mahasiswa, saya
kira, mendengarkan kuliah-kuliah dikampus dalam arti ini. Mereka ikut kuliah
dan bisa menjawab soal ujian semester persis seperti yang dikuliahkan dosen
sebelumnya. Masalahnya, apakah mereka sungguh-sungguh mengerti (understanding)
atau baru sekadar tahu (knowing)?
Kelima, kita dapat mendengarkan sampai benar-benar memahami apa
yang sesungguhnya ingin disampaikan lawan bicara kita. Pada tahap ini kita
mendengarkan dengan tujuan untuk memahami sepenuhnya. Dan ini tidak saja
menuntut keterlibatan pikiran, tetapi juga ketulusan hati. Sebagian orang
menyebut tahap ini sebagai empathic listening.
Jika Mary Kay Ash mengatakan bahwa mendengarkan adalah seni, saya
kira ia bicara soal empathic listening di atas. Dan dalam pengertian ini
mendengarkan tidak saja menyangkut soal apa yang didengar secara verbal
(kata-kata) atau fisik (mimik muka yang bisa dibuat-buat), tetapi juga pesan
yang disampaikan secara nonverbal, yakni lewat bahasa tubuh, intonasi, dan
kecepatan suara. Lebih jauh, empathic listening dapat dikatakan upaya
mendengarkan dari hati ke hati, bukan sekadar dari telinga ke telinga atau dari
pikiran ke pikiran. Jadi ada keterlibatan diri secara total.
Mendengarkan dengan melibatan diri secara total (telinga, pikiran,
dan hati) mengandung sedikitnya dua konsekuensi. Pertama, kita harus bersedia
membuat pikiran kita terbuka (open mind) untuk dipengaruhi. Kedua, karena kita
bersedia dipengaruhi, maka kita dimungkinkan untuk mengubah persepsi awal kita
yang mungkin keliru. Dengan kata lain, empathic listening membantu kita untuk
memahami kerangka pikiran dan perasaan lawan bicara kita, dan dengan pemahaman
itu kita diperhadapkan pada kemungkinan mengubah persepsi awal kita. Bila
persepsi kita berubah, maka kemungkinan sikap dan perilaku kita pun akan
berubah. Inilah, hemat saya, yang tidak disukai banyak orang. Kita, khususnya
orang berusia dewasa, tidak suka berubah. Kita cenderung mempertahankan apa
yang kita miliki, termasuk pandangan dan sikap dasar kita terhadap
persoalan-persoalan hidup. Kita sudah merasa benar, merasa tahu, merasa
mengerti persoalan, dan sikap dasar gede rasa ini menutup telinga pikiran dan
hati kita.
Saya kira, proses
reformasi yang sedang kita jalani di negeri ini terhambat oleh ketidakmampuan
banyak pihak, terutama para pemimpin formal (baca: pejabat) di lembaga
tertinggi dan tinggi negara untuk mendengarkan aspirasi rakyat banyak secara
empatik. Dari hari ke hari sangat sulit mencari tanda-tanda (sign) bahwa para
pejabat itu benar-benar mendengarkan pandangan pihak-pihak yang berbeda dengan
dirinya. Demonstrasi buruh yang sering marak juga mengindikasikan bahwa
eksekutif puncak perusahaan, baik milik negara maupun swasta murni, juga tidak
mendengarkan aspirasi para buruh yang ketakutan karena merasa periuk nasi
satu-satunya selalu terancam hilang dalam hitungan detik.
Sangat sulit
mengusahakan adanya kesepahaman, sekalipun ada begitu banyak forum
"dialog" yang dibuat. Akar masalahnya adalah karena masing-masing
atau salah satu pihak tidak pernah sungguh-sungguh mendengarkan secara empatik.
Para pejabat dan eksekutif perusahaan cenderung merasa paling benar, sudah
tahu, sudah mengerti dan tidak mau mendengarkan. Pada sisi lain, rakyat banyak
dan kaum buruh merasa tetap tidak dimengerti, tidak dipahami, tidak didengarkan
sungguh-sungguh. Akibatnya buntu, mandeg, not going anywhere. Kebuntuan ini
memicu berbagai bentuk tindak kekerasan sebagai cara menyatakan dan memaksakan
kehendak.
Mungkin baik jika
setiap pemangku jabatan kepemimpinan di berbagai organisasi politik maupun
ekonomi/bisnis, belajar kembali (re-learn) ilmu psikologi komunikasi. Kita
perlu mengingatkan para pejabat itu bahwa perasaan "didengarkan"
ibarat oksigen bagi jiwa. Pihak-pihak yang merasa tidak didengarkan berada
dalam posisi sesak nafas, kekurangan oksigen. Jiwanya meronta-ronta. Ekspresi
dari jiwa yang dying (sekarat) ini bisa macam-macam. Mulai dari diam, apatis,
sampai demonstratif atau bahkan beringas tak karuan. Yang dibutuhkan mungkin
bukan sekadar alternatif solusi yang rasional, tetapi perasaan
"didengarkan" secara empatik, dimengerti, dipahami apa adanya.
Apabila rakyat banyak atau kaum buruh merasa bahwa para pemimpin formal itu
sungguh-sungguh mendengarkan jeritan hatinya, maka solusi alternatif yang
rasional tentu banyak gunanya. Namun tidak sebaliknya. Banyaknya solusi yang
rasional tidak dengan sendirinya membuat rakyat dan buruh pabrik merasa didengarkan.
Jadi, dengarkanlah lebih dulu, berusahalah mengerti lebih dalam, bukalah
pikiran, rendahkanlah hati untuk menerima kemungkinan bahwa anda keliru
mempersepsi persoalan.
Sejauh yang saya pahami, di dunia ini tidak ada hal yang lebih
mengerikan daripada pemimpin yang merasa dirinya paling benar, paling
tahu/pintar, paling mengerti dan karenanya tidak bersedia berubah sama sekali.
Sebab bila pemimpin merasa dirinya serba super, maka ia telah kehilangan
kemanusiawiannya dan tak lagi mampu mendengarkan dengan pikiran hatinya
(mind-heart).
Sekali lagi, mendengarkan sebagai salah satu atribut penting
kepemimpinan, adalah seni dalam mengelola perubahan. Dan mengelola perubahan di
tengah paradok globalisasi versus otonomi daerah, pertama-tama dan terutama
memang merupakan tanggung jawab para pemimpin. Pemimpinlah yang harus mengambil
inisiatif untuk lebih banyak mendengarkan, dalam arti membuka pikiran dan
menyediakan hati untuk mengubah salah persepsi yang mungkin dimilikinya.
Pemimpinlah yang pertama-tama harus mentransformasikan dirinya untuk menjadi
lebih manusiawi. Dengan cara itu ia dapat benar-benar memimpin proses
transformasi masyarakat dan organisasi dimana ia dipercaya untuk kurun waktu
tertentu.
Haruskah kita mengundang Mary Kay Ash untuk memberikan "pelatihan"
kepemimpinan kepada para pemimpin kita? Mudah-mudahan tidak.
Source : [kolom Manajemen - Kepemimpinan] pembelajar.com
No comments:
Post a Comment