Oleh
: Gede Prama
Seorang sahabat yang sedang mengambil
program doktor di Inggris, dan rajin mengunjungi web site saya, pernah menulis
e-mail menarik. Setelah membaca tulisan saya dengan judul ‘Hipnotis Massal Ala
Amerika’ – yang bertutur tentang dihipnotisnya dunia manajemen melalui kedigdayaan
Amerika dalam memasarkan ide – ia setengah tersinggung. Sebab, sebagai salah
seorang penentu kurikulum di salah satu sekolah manajemen terkemuka, sekaligus
pengajar berpengaruh, ia merasa dicurigai tidak pernah memproduksi pengetahuan,
dan mengangguk saja dengan kemauan Amerika.
Maka, bertanyalah dia dengan sedikit
kejengkelan ke saya : ‘kalau saja saya kembali mengajar ke sekolah manajemen,
dan ikut menentukan kurikulum serta mengajar, apa yang akan saya lakukan ?’.
Ha, ha, ha, sebuah pertanyaan yang belum pernah terlintas di benak sampai
sekarang. Sebab, dalam dunia pengetahuan saya membenci – sekali lagi membenci –
setiap bentuk pengorganisasian. Dan sekolah serta Universitas adalah bentuk
pengorganisasian yang paling menjengkelkan. Terutama lewat keseragaman ala
baris berbaris. Saya khawatir, dengan memasuki organisasi, bisa-bisa kehilangan
kekayaan intelektual yang paling berguna : kebebasan.
Seorang rekan pengajar muda di Universitas
Indonesia sudah mulai mengeluh dan sedikit frustrasi. Dengan menyebut-nyebut
contoh Jeffrey Winter yang sudah menjadi guru besar di umur 31 tahun, dan
menyebutnya sebagai sebuah keniscayaan di negerinya Gus Dur ini, sudah cukup
menjadi sinyal, betapa tersiksanya rekan tadi. Itu baru pasungan karir. Belum
lagi pasungan intelektual lewat kurikulum, sekaligus metode pengajaran yang
membuat muntah orang lain.
Kembali ke pertanyaan rekan tadi tentang
pengajar, kerap ada yang mengirim e-mail ke saya dan menyebut saya ‘guru’. Dan
ke siapa saja yang memanggil saya dengan sebutan terakhir, saya mencoba membuat
diri menjadi jembatan bagi orang tersebut. Kemudian, mengundang orang untuk
lewat melalui jembatan saya. Dan begitu ia sudah lewat, saya runtuhkan jembatan
tadi. Dan saya sarankan, agar dia kemudian membangun jembatannya sendiri.
Ini juga yang menjadi fundamen
epistimologis dari hampir setiap ide yang dipertontokan dalam kolom InOvAsI
ini. Membangun ide di awal – entah dengan meruntuhkan bangunan ide orang lain,
mengutipnya dari orang lain, atau merangkaianya sendiri – kemudian diramu
dengan keseriusan bersama canda. Dan hampir semua ujung ide, diakhiri dengan
runtuhnya jembatan ide yang telah dibangun.
Ada orang yang protes, marah, menghujat,
merasa dirinya dimanusiakan, memuji, menyebut saya bodoh, cerdas, sampai ada
yang meminta saya jadi guru pribadi. Apapun sebutannya, saya terima dengan
tingkat penghormatan yang sama. Sebab, jangankan intelektual, presiden yang
dipilih secara paling legitimatif sekalipun, tidak bisa membuat pemikiran orang
jadi seragam. Disamping ia tidak mungkin, juga mengingkari hakekat mesin
pertumbuhan intelektual yang bernama perbedaan.
Dengan sikap liar seperti ini, banyak
sudah sebutan yang dialamatkan ke saya. Ada sebutan gelandangan intelektual,
penghujat paling mudarat, tuna wisma intelektual, sok tahu, resi manajemen,
Stephen Covey Indonesia, sampai dengan pengajar paling kurang ajar.
Semua sebutan ini saya suka. Semakin
bervariasi sebutan yang datang, semakin baik. Sebab itu pertanda ‘jembatan
pengetahuan’ yang saya bangun buat orang lain memperoleh tanggapan. Kalau
sampai semua orang memuji, itu tandanya saya tidak pernah meruntuhkan jembatan
tadi. Kalau semua orang menghujat, itu tandanya tidak ada orang yang sempat
lewat melalui jembatan intelektual saya.
Sahabat yang setengah tersinggung di atas,
memang belum pernah menjawab balik jawaban liar ini. Apapun yang ada di
benaknya, saya hargai dan hormati. Bagi saya, intelektualitas mirip dengan
pohon. Siapapun yang datang – entah kiai, pastor. pendeta, pelacur sampai
dengan pembunuh berdarah dingin sekalipun – pasti dipersilahkan untuk berteduh.
Penolakan terhadap salah satu saja species orang maupun ide manapun, berakibat
pemiskinan. Sama dengan pohon yang menolak pelacur berteduh, ia mengingkari
hakekatnya sebagai pohon.
Intelektualitas sebagai sumber inspirasi
dan inovasi juga demikian. Siapa saja yang terjebak dalam dikotomi dan dualisme
(benar-salah, tepat-keliru, dll), lebih-lebih dibungkus fanatisme, ia mudah
sekali mati secara intelektual. Untuk kemudian, mengubur diri hidup-hidup dalam
keyakinan yang memabukkan.
Jangan fikir hanya anggur yang memabukkan,
anggur pengetahuanpun memabukkan. Terutama kalau sudah sampai di tingkat
pemujaan yang berlebihan. Atau juga bila sampai pada kebencian yang mematikan.
Marx menyebutnya dengan dialecticalism. Derrida memberinya stempel
deconstruction. Anda terserah sajalah.
Christopher Norris dalam Deconstruction,
Theory And Practice, pernah menulis : “To present deconstruction as if it were
a method, a system or a settled body of ideas would be to falsify its nature
and lay oneself open to charges of reductive misunderstanding”. Jika demikian,
sebelum Anda tergelincir ke dalam ketidakmengertian yang sempit, sebaiknya
lupakan saja semua fikiran yang sempat timbul saat membaca tulisan brengsek
ini.
Orang saya saja sejak mengawali menulis
tulisan ini sudah dikurangajari dan mengkurangajari diri, koq Anda malah
membacanya sampai selesai.
No comments:
Post a Comment