Ketika
memasuki rutinitas kerja sehari-hari, kita sering lupa menyatukan pikiran dan
hati, sehingga mengalami split personality (kepribadian terpecah) dan
sulit memaknai hasil kerjanya sendiri. Oleh karena itu, kita membutuhkan emotional
spiritual quotient (ESQ) sebagai bekal untuk menyatukan intelligent
quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ).Hal itu dijelaskan oleh
Ary Ginanjar Agustian-pengarang buku ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual-dalam seminar nasional bertajuk "Spiritual
Quotient, Cerdas Akal-Cerdas Hati-Cerdas Nurani" di Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS), Rabu (21/11), di Solo. Seminar yang diselenggarakan
dalam rangka Dies Natalis ke-43 Fakultas Psikologi UMS ini juga menghadirkan
pembicara Drs Yadi Purwanto MM dan Juliani Prasetyaningrum (keduanya dosen
Fakultas Psikologi UMS), serta Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
(UGM) Djamaludin Ancok.
Agustian
menjelaskan, sejak SD, kemampuan kita sering diukur oleh kecerdasan rasional
atau biasa disebut IQ. Semua diukur berdasarkan angka. Kemudian, pada tahun
1990, Daniel Goleman mengembangkan EQ untuk bekal mengukur kesuksesan manusia.
"Padahal,
keduanya tertuju pada sikap materialistis dan antroposentris. Kita cenderung
mengejar kemewahan, uang, pesta pora, dan kesuksesan dalam berbagai usaha,
tetapi lupa memaknai setiap hasil usaha dan perilaku kita," jelasnya.
Manusia yang
mengandalkan IQ dan EQ, katanya, cenderung berorientasi pada materi, keinginan
untuk menjadi orang terkenal, dan mencari jabatan. Pengalaman Hitler
menunjukkan, tokoh ini memang memiliki IQ dan EQ tinggi, sehingga dengan
kemampuannya dia sanggup mengajak warga Jerman untuk menjadi pengikutnya, lalu
melakukan tindakan-tindakan anarkis.
Di Indonesia,
tambahnya, di saat krisis multidimensi melanda, gerakan hati untuk bersama-sama
memelihara kasih sayang sulit untuk dipergunakan lagi. Akibatnya, manusia tidak
lagi malu berbuat korupsi, membakar orang, berkelahi, dan tidak malu menjadi
pasukan berani mati. Kesadaran diri berdasarkan nurani yang universal menjadi
tumpul.
Kekuatan
spritual
Menanggapi
pandangan Agustian, Yadi Purwanto mengatakan, pengarang buku ini meneruskan
pandangan dari Danah Zohar dan Marshall (2000) yang menerbitkan buku tentang
SQ. SQ yang dikembangkan kedua orang ini lebih luas menjelaskan dahsyatnya
kekuatan spiritual, meskipun akhirnya mereka terjebak oleh paralogismenya,
yakni kata quotient.
Menurut Agustian,
dua unsur, yakni aspek nilai dan makna, sebagai unsur penting kecerdasan
spiritual. SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna
dan nilai, sementara kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Selain itu,
ujarnya, SQ juga memperlihatkan kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan hidup
atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan lainnya. Kecerdasan ini
tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara
kreatif menemukan nilai baru.
No comments:
Post a Comment