Onno
W. Purbo
"Lulusan perguruan tinggi tidak siap pakai!" begitu komentar
klasik terhadap sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Tentunya ada
argumen lain dari pihak perguruan tinggi, misalnya "Perguruan tinggi
bertugas untuk menelurkan pemikir / perencana bukan sekedar tukang; polyteknik
yang menelurkan tukang". Akibatnya apa? industri / perusahaan mau tidak
mau harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendidik para sarjana agar
"siap pakai". Syukur-syukur kalau pekerjaan yang dilakukan para
sarjana ini sesuai dengan bidang yang ditekuni di perguruan tinggi. Yang
disayangkan (dan sudah menjadi rahasia umum), banyak sarjana yang terpaksa
"melacur" dan mengambil pekerjaan yang berbeda dengan apa yang
dipelajari diperguruan tinggi (contohnya: customer service). Tentunya sudah
banyak usaha untuk mengatasi hal ini misalnya dengan mendirikan Pusat Antar
Universitas (PAU) dan lembaga-lembaga penelitian yang diharapkan dapat
bekerjasama dengan industri dan secara tidak langsung menelurkan
sarjana-sarjana yang siap pakai selain meningkatkan mutu pendidikan tinggi.
Kerjasama ini tampaknya sudah mulai berjalan walaupun disana sini kebanyakan
tersendat-sendat.
Pada kesempatan ini, saya mencoba mengupas kemungkinan pendayagunaan
lebih lanjut pra-sarana dan lembaga-lembaga di perguruan tinggi terutama untuk
meningkatkan bargaining position perguruan tinggi terhadap industri.
Mudah-mudahan hal ini bisa memperlancar kerjasama yang tersendat-sendat tadi.
Hal ini penting, terutama untuk menarik dana dari industri untuk penelitian di
perguruan tinggi yang secara langsung akan meningkatkan mutu perguruan tinggi
dan lulusannya. Jadi semacam simbiosa mutualisma - industri senang memperoleh
sarjana yang baik dan lebih siap pakai beserta hasil penelitiannya; perguruan
tinggi juga senang memperoleh dana untuk memperbaiki mutu pendidikan maupun
kesempatan untuk meneliti.
Mengapa peningkatan bargaining position ini penting? Bayangkan jika
seorang dosen / peneliti diperguruan tinggi yang ingin berdedikasi (tidak ingin
ngobyek) bermaksud mengadakan penelitian untuk mengembangkan ilmunya.
Mengharapkan uang penelitian dari DIP? barangkali harus menunggu sampai 2-3
tahun sebelum dana turun; belum lagi terkadang harus melalui proses tender yang
bertele-tele. Itupun dana yang diperoleh tidak seberapa. Akhirnya sang dosen
menengok kepada Industri dengan harapan bisa memperoleh dana yang lebih baik.
Apakah industri akan dengan senang hati memberikan dana? bagaimana industri
bisa menjustifikasi bahwa proposal yang diajukan memang bisa dilaksanakan?
apakah memungkinkan untuk memproduksi dan memasarkan ide sang dosen ini? apakah
sang dosen cukup berkualifikasi dan berpengalaman? dan yang terpenting apakah
industri diuntungkan dengan ide sang dosen / peneliti ini? begitu sebagian
pertanyaan yang mungkin terlintas dibenak para manager di
perusahaan-perusahaan. Jelas bahwa saat ini bargaining position dosen perguruan
tinggi sangat lemah, apalagi sebagai pihak yang membutuhkan dana.
Apakah inti permasalahan diatas? sebetulnya sederhana, semua berkisar
pada masalah pertukaran informasi antara perguruan tinggi dan industri. Sebagai
contoh, berapa banyak industri elektronika dan pabrik perakitan komputer mikro
yang tahu bahwa beberapa dosen di perguruan tinggi di Indonesia mampu membuat
sendiri transistor, chip (IC), perangkat lunak untuk komputer dan bahkan sempat
berkomunikasi lewat komputer dengan Indonesia selama belajar di luar negeri?
tanpa ada usaha untuk menerangkan dari para dosen ini, saya yakin tidak banyak
industri yang tahu tentang kemampuan yang terkandung dalam perguruan tinggi.
Dilain pihak, berapa banyak dosen yang tahu persis kemampuan dan kebutuhan
industri di Indonesia? Hal yang sama berlaku untuk industri. Jelas disini,
proses pertukaran informasi antara industri dan perguruan merupakan inti untuk
mengetahui kekuatan yang ada dikedua belah pihak dan akhirnya akan menaikan
bargaining position dari perguruan tinggi.
Dengan semakin berkembangnya komputer, teknologi informasi elektronik
komputer akan sangat memperlancar proses pertukaran informasi. Proses ini jauh
lebih cepat dan sangat effisien dibandingkan media konvensional lainnya,
seperti surat kabar, majalah, seminar, konferensi, fax, telepon dll. Apakah
jaringan komputer telah berkembang di Indonesia? YA! beberapa perusahaan yang
cukup besar seperti USI/IBM, Schlumberger dan Astra Graphia telah menyambungkan
komputernya dengan jaringan komputer internasional. Saya di Canada sering
berhubungan dengan teman-teman di perusahaan tersebut melalui komputer.
Bagaimana dengan dunia perguruan tinggi dan lembaga penelitian?
PUSILKOM-UI telah beberapa lama berusaha mengembangkan jaringan komputer.
Sayangnya tarif telepon interlokal dan SKDP relatif cukup mahal untuk perguruan
tinggi negeri, akhirnya jaringan komputer ini tersendat-sendat. Mungkinkah ini
salah satu contoh lemahnya bargaining position perguruan tinggi terhadap
industri? Dengan adanya banyak SBK di perguruan tinggi, seperti ITB, ITS, IPB
dan Universitas Indonesia Timur, alangkah bermanfa'atnya jika bisa dialokasikan
1-2% dari kapasitas sebuah transponder PALAPA untuk keperluan jaringan komputer
untuk penelitian dan pendidikan di Indonesia. Bukankah salah satu misi PALAPA
adalah untuk membantu dunia pendidikan? Alternatif lain (menggunakan radio),
tengah digalakkan oleh ITB dengan dimotori oleh Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana,
Dr. Nasserie dan Dr. Kusmayanto Kadiman. Bahkan Prof. Alisyahbana telah
berhasil memasang sebuah stasiun bumi sederhana untuk masuk ke satelit
internasional komunikasi komputer radio yang memungkinkan hubungan
internasional tanpa melalui SKDP. Hal ini memungkinkan pembentukan jaringan
komputer biaya murah tanpa perlu bergantung sepenuhnya pada telepon.
Jelas dari penjelasan di atas bahwa infra-struktur jaringan komputer
dikedua belah pihak baik industri maupun perguruan tinggi telah mulai
berkembang. Tinggal bagaimana menghubungkan jaringan-jaringan komputer yang ada
menjadi satu kesatuan agar diperoleh manfa'at bagi kedua belah pihak. Secara
teknis sebetulnya sangat mudah. Masalah terberat adalah birokrasi dan masalah
administratif dari kedua belah pihak.
Mari kita renungkan bersama, apa yang akan kita peroleh dengan menyatukan
infra- struktur informasi di perguruan tinggi dan industri. Bayangkan, waktu
untuk menyiapkan seorang sarjana "siap pakai" di industri menjadi
lebih singkat. Di samping itu, industri memperoleh masukan alternatif solusi /
rancang bangun dari hasil penelitian di perguruan tinggi untuk produksinya.
Bahkan, dapat diharapkan akan terjadi perbaikan mutu barang / jasa yang
dipasarkan. Dilain pihak, mutu pendidikan tinggi menjadi naik dengan adanya
masukan dana tambahan dari industri. Di samping itu, ilmu pengetahuan dan
pengalaman dosen dalam meneliti akan meningkat. Hal ini sangat bermanfa'at
untuk memperkaya pengetahuan para mahasiswa di perguruan tinggi. Hal lain yang
akan sangat positif, perguruan tinggi akan dipaksa untuk memacu diri dalam
membentuk dan membenahi jenjang pendidikan S2 dan S3 untuk menyediakan tenaga
peneliti di perguruan tinggi yang secara langsung akan meningkatkan ilmu
pengetahuan dan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Akhirnya, perguruan tinggi
dan industri menjadi saling mengetahui akan kebutuhan, kemampuan maupun
kekuatan yang ada di samping kemungkinan untuk bertukar informasi dan
pengalaman.
Hal lain yang terpenting, dengan adanya jaringan komputer, seluruh
jaringan birokrasi dan administratif yang sangat menghambat pekerjaan dapat
dengan mudah dihilangkan / dilewati. Tidak perlu lagi kita membuang waktu
menunggu di ruang tunggu hanya untuk meminta tanda tangan / bertemu dengan
seorang kepala biro. Jejang administratif secara tidak sadar dapat dipersempit,
contohnya, seorang dosen muda di perguruan tinggi dapat langsung berhubungan
dengan direktur perusahaan tanpa menanti di ruang tunggu serta berhadapan
dengan berbagai prosedur administratif melalui berlapis sekertaris. Tidak perlu
lagi bersusah payah mengumpulkan seluruh staf ahli / peneliti hanya untuk rapat
bulanan. Rapat dapat dilakukan tanpa perlu bertatap muka setiap hari bahkan
setiap menit melalui surat elektronis. Jelas bahwa waktu untuk pemroses suatu
pekerjaan dapat sangat dipersingkat.
Bukan mustahil dengan terbentuknya jaringan komputer ini, kita akan
melihat sebuah revolusi informasi, industri dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Memang untuk merealisasi semua ini dibutuhkan kerja keras (terutama membenahi
masalah birokrasi dan administratisi) dari pihak industri maupun perguruan
tinggi. Tapi saya pribadi yakin bahwa semua ini bukan hal yang mustahil melihat
potensi yang terkandung di perguruan tinggi maupun industri, apalagi jika
didasari dengan keinginan dan niat baik dari berbagai pihak yang terkait. Bukan
hanya perguruan tinggi dan industri yang akan memperoleh keuntungan oleh sistem
ini, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Semoga!
Onno W. Purbo. Staf jurusan teknik
elektro dan PAU Mikroelektronika ITB. Sedang menempuh program Ph.D di
University of Waterloo, Canada.
No comments:
Post a Comment