By : benyamin harefa
Salah. Anda salah kalau Anda berpikir tentang pisang goreng atau
tahu tempe goreng yang biasanya dijajakan di pinggir-pinggir jalan. Anda juga
salah kalau Anda mengasosiasikannya dengan rokok, tisu, atau aneka permen
penghilang kantuk yang biasanya dijajakan di perhentian-perhentian traffic
light. O, mungkin dagangan pinggir jalan yang dimaksud adalah kaset atau
baju-baju yang sering di gelar di pinggir toko atau pinggir jalan. Pedagang
kaki lima? Bukan. Bukan itu. Dagangan pinggir jalan yang satu ini agak unik.
Anda memang harus mengeluarkan uang, tetapi Anda tidak akan mendapatkan barang
apapun. Uang yang Anda keluarkan pun biasanya hanya sedikit. Tidak perlu sampai
mengeluarkan dompet Anda. Lebih unik lagi, dagangan ini adalah satu-satunya
dagangan yang mungkin jarang sekali direncanakan untuk dibeli. Mungkin ini
adalah dagangan yang paling sering dibeli untuk kategori barang yang tidak
pernah direncanakan untuk dibeli.
Seringkali kita membelinya tanpa sungguh-sungguh bermaksud
membelinya. Kadang-kadang malah terkesan kita hanya sekadar membuang-buang
uang. Bahkan, dagangan ini seringkali dibeli tanpa disadari oleh pembelinya.
Sejujurnya, Anda mungkin tidak pernah berpikir itu adalah sebuah dagangan.
Orang pada umumnya menyebut mereka pengemis atau peminta-minta.
Bingung? Tentu saja dan memang bisa dimaklumi. Mereka tidak menjual apapun,
kata Anda. Benar sekali. Tetapi, tunggu! Memang mereka tidak menggendong kotak
berisi rokok atau permen. Memang mereka tidak menjajakan koran berisi
berita-berita aktual atau majalah-majalah sensasional. Memang mereka tidak
menawarkan makanan kecil kesukaan Anda (dan saya): pisang goreng, tahu tempe
goreng, ubi goreng, bakwan. Memang tidak ada gerobak, tidak ada penggorengan,
tidak ada dus atau kotak yang mereka gendong kesana kemari.
Bahkan, tidak salah kalau sedikit didramatisir bahwa tidak ada
apapun, tidak ada satupun yang dijual. Tetapi, bukankah seringkali, bahkan
mungkin setiap kali melihat mereka, hati dan pikiran kita bergelut,
menimbang-nimbang apakah kita harus memberi uang atau tidak. Bukankah
seringkali ketika kita berlalu tanpa mengeluarkan uang sepeserpun, kita
kemudian menyesal, meskipun mungkin hanya sebentar, persis seperti orang yang
menyesal membiarkan makanan kesukaannya lewat tanpa dibeli. Bukankah seringkali
ketika berpapasan dengan mereka, kita berpura-pura tidak melihat, berpura-pura
tidak tahu, persis seperti orang yang berusaha menolak tawaran barang yang
tidak ingin ia beli. Bukankah seringkali juga setelah kita memutuskan akan
memberi, maka kita melihat mereka dengan lebih seksama, menilai berapa
kira-kira harga yang pas untuk mereka. Seratus, dua ratus, lima ratus, atau
seribu? Bukankah sering juga setelah itu kemudian kita menyesal karena memberi
terlalu sedikit atau terlalu banyak?
Sekarang mungkin Anda sudah mulai mengerti yang saya maksudkan.
Kalau kita merenung sejenak dan berpikir lebih dalam, semua reaksi kita
terhadap mereka mirip sekali seperti negosiasi antara pedagang dan pembeli. Ada
pergulatan antara keinginan untuk "membeli" atau tidak. Ada uang yang
harus dikeluarkan. Ada pertimbangan berapa harga yang kira-kira pantas. Ada
sedikit penyesalan bila ternyata agak kemahalan. Ada "pilihan lain"
seandainya yang satu ini dilewatkan. Satu-satunya unsur penting yang hilang di
sini adalah barang. Negosiasi antara pedagang dan pembeli adalah tentang
barang. Nah, mari saya beritahukan Anda apa nama barang yang diperjualbelikan
di sini. Namanya adalah hati nurani.
No comments:
Post a Comment