Oleh: Gede Prama
Karena sudah lama
mencintai kegiatan tertawa, ada saja teman yang bersedia membagi cerita ke
saya. Alkisah, ada seorang wanita yang amat setia pada suaminya. Tidak pernah
sekalipun, ia melakukan kegiatan perselingkuhan. Oleh karena itu, bisa
dimaklumi kalau ketika meninggal ia masuk surga. Dan yang paling penting, ia
berangkat ke surga dengan mengemudikan mobil mewah Jaguar.
Tetangga wanita tadi lain
lagi. Ketika ditanya oleh petugas pintu surga dan neraka, apakah ia pernah
selingkuh atau tidak, dengan jujur ia menjawab, hanya pernah selingkuh sepuluh
kali. Menyadari, bahwa angka sepuluh terakhir masih di bawah rata-rata, maka
tetangga inipun bisa masuk surga. Bedanya, ia pergi ke surga hanya dengan
menaiki Toyota Kijang. Alangkah terkejutnya pengemudi Kijang terakhir, ketika
menemui wanita tetangganya yang naik Jaguar tadi, berhenti di tengah jalan
sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa kali ditanya, tetap saja tidak bisa
menjawab karena hisak tangisnya yang tidak berhenti-berhenti.
Ketika semua air matanya
habis, sambil menyesal ia bertutur : 'bukannya saya tidak mensyukuri naik
Jaguar, namun ketika menoleh ke jalan bawah sana, dengan terang kelihatan kalau
suami saya sedang menuju ke sini hanya dengan mengendarai sepeda'.
Demokrasi sudah lama
memasuki wilayah tawa. Jadi, Anda bebas sebebas-bebasnya tertawa dengan cerita
ini. Hanya saja, setiap kali saya membaca dan mendengar kisah republik ini yang
demikian terpuruknya - lengkap dengan banknya yang terkena negative spread,
serta nilai rupiahnya yang tidak kunjung menggembirakan - saya teringat lagi
lelucon di atas.
Antara lelucon di atas di
satu sisi, dengan krisis ekonomi Indonesia di lain sisi, sepintas memang tidak
ada hubungannya. Atau kalau dicari hubungannya, hanya akan mencari-cari saja.
Entah di dunia lelucon, atau di dunia ilmiah, sebenarnya keduanya disatukan
oleh sebuah benang merah : mau bepergian, membeli tiket pesawat, tapi tidak
tahu tujuannya mau ke mana.
Serupa dengan sang suami
yang naik sepeda ke surga, demikian juga nasib ekonomi dan perbankan di negeri
ini. Kesakitan, lelah, habis keringat dikuras oleh kegiatan-kegiatan yang tidak
jelas mau kemana. Coba lihat intervensi BI untuk memperkuat rupiah, ia seperti
menggarami laut. Perhatikan saja kebijakan geregetan di sektor perpajakan, ia
lebih menyerupai kepanikan dibandingkan kejernihan. Cermati juga cara sejumlah
bank besar melakukan ekspansi, ia mirip dengan kegiatan menjaring air kolam.
Demikian juga penanganan banyak bank dalam memecahkan masalah negative spread,
politisi dalam mencari jalan keluar, atau juga perseteruan MPR/DPR dengan
presiden dalam mencari jalan keluar.
Tidak jauh berbeda dengan
orang bepergian yang mesti mulai dengan tujuan, demikian juga dengan
pengelolaan perekonomian dan perbankan. Kebijakan dan strategi yang dibangun di
atas tujuan yang tidak jelas, hanya akan membawa kita pada kepanikan-kepanikan
baru. Demikian banyak dan menumpuknya kepanikan, sampai-sampai banyak orang
tidak sadar lagi, kalau sedang menaiki pesawat yang terbang tinggi dengan
kecepatan yang tinggi juga, tapi tidak memiliki tujuan.
Sebagaimana kita semua
sudah tahu, seberapa cepatpun kita terbang, tidak akan pernah bisa sampai di
tujuan, kalau tujuannya tidak jelas dari awal hingga akhir. Ia hanya akan
membuat semua orang berputar lelah di wilayah yang tanpa arah.
Kadang ada sahabat yang
bertanya : kenapa setelah demikian banyak intelektual yang dihasilkan negeri
ini, toh kita semakin terpuruk dengan krisis-krisis berikutnya ?. Entah
bagaimana pendapat Anda, bagi saya intelektualitas bukanlah segala-galanya. Ia
hanyalah salah satu sudut pandang, di tengah banyak sekali sudut pandang
lainnya.
Tujuan dan kebenaran
lainnya, lebih mungkin didekati, kalau kita bersedia merangkum, merangkai dan
menggandengkan beragam pendekatan ini. Seperti cermin yang sudah pecah, wajah
kita akan tampil utuh, kalau kegiatan merangkai terakhir bisa dilakukan.
Sayangnya, kegiatan
merangkai inilah yang sulit sekali dilakukan di negeri ini. Ekonom menuduh
polititisi sebagai biang keladi. Politisi mengatakan ekonom tidak becus dalam
membangun fundamen-fundamen ekonomi. Dan seterusnya tanpa mengenal kata henti.
Seolah-olah, semua orang sedang 'berselingkuh' demikian asiknnya dengan
kebenaran dan profesi masing-masing. Maka jadilah negeri ini sebuah skandal
'selingkuh' terbesar.
Bagaimana tidak terbesar,
bila suami atau isteri yang berselingkuh, ia masih dihinggapi perasaan bersalah
dan berdosa. Ekonom, politisi dan pembela-pembela kebenaran parsial lainnya,
berselingkuh tanpa menyadari sedikitpun kekeliruannya.
Mungkin benar anggapan
semua orang, bahwa kita memang sekumpulan manusia yang amat 'setia' pada bangsa
dan negara. Dan salah seorang sahabat yang entah melawak entah frustrasi,
menyebut setia itu kepanjangannya adalah selingkuh tiada akhir. Dan bahkan
tulisan inipun sebenarnya bentuk lain dari selingkuh. Bagaimana tidak
selingkuh, kalau hanya bermodalkan selembar halaman majalah, namun mau
menyelesaika persoalan bangsa ?
No comments:
Post a Comment