Oleh: Gede Prama
Terus terang,
lama saya memendam keingintahuan, kenapa banyak lukisan yang datang dari Cina
dan Jepang berlatar belakang pohon bambu? Sampai-sampai sempat bertanya ke sana
ke mari. Dan rasa ingin tahu ini sedikit terobati ketika bertemu buku dengan
judul The Bamboo Oracle karangan Chao-Hsiu Chen. Karya jernih ini bertutur
banyak tentang kebijakan-kebijakan Confusius melalui simbul-simbul bambu.
Rupanya, pohon yang menarik perhatian saya ini, menyimpan banyak sekali simbul
dari sifat-sifat mulia.
Sebutlah sifat bambu yang
tidak memiliki bunga dan buah. Tidak sama dengan pohon lainnya yang senantiasa
sombong dengan bunga dan buahnya, bambu tetap berdiri tegak tanpa sumber
kesombongan terakhir. Semua ini seperti sedang mengingatkan kita manusia, hasil
dalam kehidupan, kalau dibiarkan menjadi kekuatan pendikte kesombongan dan
kecongkakan, maka mudah sekali membuat orang ‘berakar ke luar’.
Berbeda dengan bambu yang
berakar kuat ke dalam, orang-orang yang didikte kesombongan dan kecongkakan,
amat dan sangat tergantung pada komentar, pendapat, pujian dan makian orang lain.
Dan sebagaimana semua kita tahu, di kaki langit manapun, dengan sikap dan
prestasi setinggi apapun, pujian dan makian orang akan senantiasa datang
mengikuti. Sehingga kalau pujian dan makian orang yang digunakan sebagai
barometer keberhasilan, maka siklus naik dan turun akan senantiasa ikut bersama
kita. Ketika dipuji naik siklusnya, tatkala dimaki turun mood-nya.
Kalau boleh jujur, tidak
sedikit manusia yang hidupnya dibuat lelah karena senantiasa mendaki dan
menuruni siklus pujian dan makian. Dibandingkan lelah naik turun, orang-orang
seperti Kabir (salah seorang seniman besar India), memilih untuk berakar ke
dalam persis seperti bambu. Dalam kehidupan yang berakar ke dalam, energi utama
yang mendorong perubahan dan kehidupan bukan lagi pujian dan makian orang lain,
namun kenikmatan untuk senantiasa bersyukur dalam melakukan perjalanan.
Mirip dengan anak-anak
sekolah yang pergi tamasya dan di dalam perjalanan selalu bernyanyi ‘di sini
senang, di sana senang’, demikianlah kira-kira kehidupan orang-orang yang
berakar ke dalam. Kabir bahkan pernah menyarankan untuk tidak perlu pergi ke
taman, gunung, pantai dan tempat rekreasi lainnya. Sebab, di dalam sini sudah
tersedia keindahan dan kenikmatan yang tidak terbatas jumlahnya. Dan kalau
rekreasi ke luar kita membayar mahal, rekreasi ke dalam biayanya amatlah murah
secara materi. Hanya diperlukan duduk, hening, syukur dan tersenyum.
Mirip dengan bambu yang
kuat dan kokoh karena berakar ke dalam, demikian juga kehidupan banyak orang
yang berakar ke dalam. Tidak ada satupun kekuatan pendikte dari luar yang bisa
merobohkannya. Sayang sekali, kehidupan manusia modern tidak mau mendengarkan
bambu, untuk kemudian berakar ke luar. Sebagai hasilnya, kebencian, peperangan,
penderitaan dan sejenisnya, dating tanpa mengenal rasa lelah.
Sebutlah tragedi
meledaknya World Trade Centers New York yang dibumi hanguskan oleh teroris 11
September 2001 lalu, yang belakangan membuka pintu kebencian yang amat
mencekam, apa lagi penyebab utamanya kalau bukan kehidupan yang berakar ke
luar. Dengan judul-judul seperti memberi pelajaran pada adi kuasa, menegakkan
martabat bangsa, ada orang yang bahkan rela mati dan menghancurkan surga di
dalam diri, hanya untuk mengundang decak kagum orang lain.
Disamping berakar kuat ke
dalam, bambu juga senantiasa hidup dalam keheningan dan kerendahhatian.
Lihatlah ketika angin bertiup, ia hanya bergesek-gesek kecil dengan sahabatnya,
dan kemudian menimbulkan suara desis yang hening. Dan hening terakhir adalah
sejenis kualitas yang sudah lama hilang dari dunia manusia, untuk kemudian
diganti dengan kekisruhan, dendam dan sejenisnya. Berbeda dengan dendam dan
kekisurhan lain yang mengenal kotak dan pagar-pagar pemisah, keheningan ala
bambu sudah lama membuang kotak dan pagar-pagar terakhir. Ketika angin lembut
datang, ia berdesis hening, ketika angin ribut datang ia juga berdesis hening.
Seolah-olah sedang
mengingatkan, hanya dengan keheninganlah kejernihan pandangan bisa
dipertahankan. Ketika peledakan gedung WTC New York baru terjadi, sebagai pribadi
hati sayapun menangis, sambil berharap inilah saatnya bagi Amerika untuk
menunjukkan kedigdayaannya yang sebenarnya. Ketika itu, lewat dalam bayangan
saya sebagai manusia, George W. Bush berpidato penuh senyum : ‘Kita amat
terpukul dan berduka dengan kejadian ini. Namun, karena kita bangsa besar,
inilah saatnya untuk menunjukkan pada dunia kebesaran kita. Di mana dalam
kebesaran dan kedigdayaan, kebencian tidaklah sepantasnya dilawan dengan
kebencian, kedengkian tidaklah selayaknya direspons dengan kekisruhan pikiran’.
Setidak-tidaknya itulah prediksi saya tentang pidato Bush di hari berikutnya.
Sayang sekali, prediksi
saya tentang pidato Bush salah besar. Kedigdayaan Amerika yang dibangun dalam
kurun waktu lama bahkan dijatuhkan oleh serangkaian kebencian dan kekisruhan.
Ketika tulisan ini dibuat, wajah dunia memang terbelah. Sebagaimana cerita
kehidupan yang berakar ke luar, ada yang memuji Amerika, ada juga yang mencaci
Amerika. Dan memang demikianlah hakekat kehidupan.
Anda bebas memilih sikap
dalam hal ini, dan saya memilih untuk duduk hening mendengarkan suara-suara
bambu. Dan sebagaimana disarikan secara ringkas oleh Chao-Hsiu Chen, bambu
senantiasa silent, modest, deeply rooted. Hening, sopan dan berakar ke dalam.
Setidak-tidaknya demikianlah cita-cita saya dalam perjalanan panjang yang
bernama kehidupan.
Gede Prama adalah seorang
pembicara publik, presiden Dynamics Consulting dan beralamat di
www.gedepramaideas.com
No comments:
Post a Comment