Oleh: Andias Harefa*
Ada yang berpendapat bahwa sebagai bangsa kita inii sudah merdeka dua kali, yakni: pertama,
merdeka dari kolonialisme Belanda; kedua, merdeka dari penjajahan oleh
(penguasa) bangsa sendiri. Yang pertama di tahun 1945 dan ditandai antara lain
dengan naiknya Bung Karno dan Bung Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden
pertama republik ini. Yang kedua di tahun 1998 dan ditandai dengan lengser-nya
Pak Harto, 21 Mei 1998. Lalu sampai tulisan ini dibuat awal tahun 2001, kita
semua baru dalam tahap belajar merdeka.
Karena relatif baru belajar merdeka, maka sebagian (besar?)
manusia Indonesia dewasa ini masih bermental budak. Tidak banyak kita jumpai
orang-orang yang suka mengambil inisiatif atau memprakarsai proses-proses
pembaruan, apalagi bila prakarsa itu mengandung konsekuensi tanggung jawab yang
besar alias berisiko. Di bidang pemerintahan, misalnya, aparat-aparat di
tingkat daerah, yang memang telah terbiasa dan dibiasakan menunggu perintah
dari para "raja-raja" di pusat kekuasaan, lebih suka menunggu komando,
instruksi, atau petunjuk.
Pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dan otonomi daerah
menunjukkan kepada kita bagaimana sukarnya menemukan pemimpin-pemimpin di
daerah yang dapat menyampaikan usulan program kerja jangka panjang bila mereka
dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan kepemimpinan. Mereka lebih suka
menunggu segala sesuatu diselesaikan oleh "pusat" dan mereka ditunjuk
untuk "melaksanakannya" saja. Tidak terlalu jelas, misalnya, seberapa
jauh "orang daerah" terlibat dalam arti melibatkan diri secara pro-aktif,
dalam proses penyusunan perangkat hukum otonomi daerah. Yang jelas, peran
"orang pusat" sangat dominan. "Orang daerah" bukan tidak
terlibat sama sekali, tetapi mereka "dilibatkan" oleh "orang
pusat" dan bukannya "melibatkan diri" (aktif).
Di bidang ekonomi, jangankan pegawai BUMN, karyawan swasta pun
sangat kurang menunjukkan inisiatif dalam bekerja. Menunggu perintah atasan
adalah "kebiasaan nasional" yang juga mudah dijumpai di
perusahaan-perusahaan lokal domestik. Hanya orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan
asing yang didorong untuk lebih banyak mengambil inisiatif kalau mereka ingin
proses kariernya berkembang. Suasana kerja di banyak perusahaan lokal domestik
masih saja suasana "kerajaan" dimana eksekutif dan manajer merupakan
"raja" atau "bapak", serta "punggawa-punggawa"
atau "pengawas". Sikap birokratis yang sangat tidak efisien masih
relatif dominan.
Di bidang pendidikan hal yang sama masih nampak menonjol. Ambillah
contoh mengenai wacana otonomi pendidikan, khususnya otonomi persekolahan
(termasuk perguruan tinggi). Sedikit sekali kita ketahui adanya prakarsa dari
para kepala sekolah dan rektor untuk mengajukan usulan program kerja yang
menunjukkan kemampuan mereka untuk mengatur dirinya sendiri (auto=sendiri,
nomos=mengatur). Tidak nampak keyakinan akan kemampuan diri untuk, misalnya,
mengusahakan kemandirian dalam aspek pendanaan aktivitas pembelajaran di
persekolahan itu. Yang nampak menonjol adalah tuntutan agar dunia persekolahan
diberikan bantuan dana sebesar-besarnya dari "pusat".
Lalu bagaimana dengan kreativitas aparat persekolahan itu, baik
swasta maupun terutama yang negeri, dapat berkembang jika persoalan-persoalan
yang riil selalu dipecahkan oleh "pusat" (pihak lain di luar dirinya
sendiri)? Bagaimana mungkin dunia persekolahan dapat otonom bila aktivitas
pembelajaran di sana sebagian besar di dukung oleh dana dari "pihak
lain" yang bukan "dirinya" sendiri? Bukankah "bantuan
dana" itu harus juga dipahami sebagai peluang "intervensi" atau
"campur tangan" pihak-pihak yang memberikan "bantuan"?
Dalam pandangan cendikiawan kondang Nurcholish Madjid, mentalitas
budak itu antara lain ditandai pula dengan penggunaan beberapa kata, baik dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, seperti "saya" (sahaya),
"kawula", "abdi", "ambo", yang semuanya
mengandung makna budak. Orang Indonesia agaknya memang lebih suka menempatkan
dirinya sebagai budak, sehingga mereka yang duduk di jabatan-jabatan formal
tertentu ditempatkan dan menempatkan dirinya sebagai "raja". Ethos
swasta, yang mengutamakan inisiatif dan tanggung jawab, masih sangat kurang
diperkembangkan. Dan ini merupakan persoalan serius dalam upaya desentralisasi
pemerintahan, otonomi daerah, otonomi pendidikan, otonomi sekolah, dan segala
proses yang mengasumsikan adanya inisiatif dan kemampuan untuk menerima
tanggung jawab sebagai daerah yang mandiri, sekolah yang mandiri, dan
pribadi-pribadi yang mandiri.
Suatu kali saya diundang memberikan semacam kuliah umum untuk
salah satu jurusan di Universitas Bina Nusantara (BiNus) di Jakarta. Yang hadir
sekitar 120-an mahasiswa tingkat akhir. Dan ketika saya tanyakan siapakah di
antara mereka yang berani memutuskan untuk tidak akan membuat surat lamaran
kerja untuk menjadi karyawan dimanapun, maka hanya ada satu orang yang angkat
tangan. Rupanya, lebih dari 99 persen mahasiswa yang hadir saat itu masih
memiliki impian untuk menjadi pegawai, tentu saja di perusahaan terkemuka.
Menjadi wirausaha yang relatif mandiri, agaknya bahkan belum menjadi cita-cita
banyak kaum muda yang terpelajar di negeri ini. Pandangan "lebih baik
menjadi wirausaha kecil tapi mandiri" masih dikalahkan oleh pandangan
"lebih baik menjadi karyawan kecil tapi di perusahaan besar dan
terkemuka".
Jadi, bangsa kita ini agaknya memang masih lebih suka menjadi
"budak" yang diatur oleh pihak lain yang bukan dirinya sendiri. Hal
ini membuat saya sangat prihatin. Untuk menghibur diri, saya mengatakan kita
toh baru belajar merdeka. Artinya, proses mendorong lahirnya sebuah generasi
yang punya ethos swasta, yang memberi nilai tinggi kepada jalur-jalur
"non-karier" yang bukan pegawai, yang mengandalkan prakarsa dan
kesediaan menerima tanggung jawab, baru di mulai. Masih perlu waktu untuk
melihat hasil-hasil yang lebih baik. Begitukah?
No comments:
Post a Comment