Oleh: Andrias Harefa*
Ada banyak pengusaha dan ada banyak petani di negeri ini. Namun
pengusaha yang sekaligus petani modern mungkin tak banyak, apalagi yang
bermukim di Jakarta. Salah satunya adalah Bob Sadino, petani kaya yang memiliki
Kem Chicks di Jakarta Selatan (supermarket dengan sekitar 18.00 item dagangan
dan dikunjungi sekitar 2.500 orang per hari), Kem Foods (memproduksi aneka
ragam daging beku berbentuk sosis, burger, bakso), dan Kem Farms di Jawa Tengah
(penghasil sayuran dan buah-buahan, dimana budidaya hidroponik dilakukan dengan
berhasil). Tidak kurang dari 1.300 karyawan menggantungkan hidupnya dari usaha
milik Tuan Sadino ini.
Bob Sadino adalah entrepreneur farmer yang unik. Keunikannya
langsung nampak secara fisik sejak ia mengenakan "pakaian dinasnya"
yang sampai sekarang masih itu-itu juga: celana jins belel pendek, baju lengan
pendek yang potongannya tak berjahit, dan sepatu tanpa kaos kaki. Dan dengan
"seragam kiwir-kiwir" khas itulah ia pernah berbincang-bincang dengan
para pejabat pemerintahan sampai tingkat presiden, sejak jaman Soeharto
berkuasa.
Liputan media tentang sepak terjangnya selama dua dekade terakhir
ini sudah tak terbilang banyaknya. Nama dan potret dirinya tampil dimana-mana,
baik di media cetak maupun elektronik, baik di dalam negeri maupun dari luar
negeri. Lelaki kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933, ini memang
memiliki banyak sisi kehidupan yang menarik untuk disimak. Ia memulai usahanya
dari nol, dan didukung penuh oleh Soelami, istri yang dinikahinya 31 Juli 1967
dan memberinya dua putri, Myra Andiani dan Shanti Dwi Ratih.
Pada awalnya, sekitar 30 tahun silam, Bob meninggalkan pekerjaan
sebagai pelaut, tukang batu, dan sopir taksi, untuk memulai bisnisnya dengan 50
ekor ayam ras dan bertelur lima kilogram. Dari jualan telur ia kemudian mulai
menjual ayam potong, lalu secara bertahap toko kecilnya itu berkembang hingga
menjadi supermarket yang sangat dikenal orang. Penampilan fisiknya yang lebih
mirip seniman ketimbang pengusaha adalah sisi lain yang mengundang
perbincangan. Kepiawaiannya mengolah kata dalam berbagai seminar memberikan
nuansa lain lagi pada dirinya. Belum lagi konsep suksesnya bahwa sukses tidak
perlu konsep. Semua itu, langsung atau tidak, ikut berperan membuatnya bagai
magnit bagi pemberitaan di berbagai peliputan.
Secara pribadi saya pertama kali bertemu dengan Om Bob, begitu
saya memanggilnya, tahun 1990. Waktu itu, bersama wartawati senior Atiek
Wishnubrata, saya mewawancarainya seharian sejak pagi hingga sore hari. Dari
rumahnya yang dulu, kami diajak berbincang lama di "kandang kuda"
seluas 2 hektar di kawasan Lebak Bulus, yang sekarang menjadi tempat ia
bermukim di Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu sisi intelektualnya yang
menonjol. Ia dengan tangkas memberikan tanggapan terhadap konsep-konsep sukses
versi Dale Carnegie dan Stephen R. Covey, dua nama besar dalam bidang personal
and people development kala itu. Ia juga mahir mengutip teori Abraham Maslow,
salah seorang pelopor psikologi humanistik.
Lama tak berkomunikasi, siapa sangka saya kembali bertemu dengan
Om Bob di panggung seminar awal tahun 2001 lalu. Ia sendiri tak terlalu ingat
pada saya. Namun agaknya ia merasa ada sedikit persamaan di antara kami, ketika
saya menggagas Indonesia School of Life. Kalau dalam buku-buku saya yang terbit
sejak akhir 1998 saya sering menggunakan istilah "sekolah dan universitas
kehidupan", maka dalam buku bertajuk Agribisnis yang Membumi - Kisah
Sukses Bob Sadino karya Sjamsoe'oed Sadjad (Grasindo, 2001), Om Bob juga
menggunakan istilah yang sama. Suatu kebetulan yang sama sekali tak
direncanakan, saya kira. Dan boleh jadi itulah sebabnya ia kemudian kembali
mengundang saya untuk "main" ke "kandang kuda" yang sudah
berubah menjadi "kandang keluarga" itu.
Ada banyak hal yang saya pelajari dari Om Bob. Di antaranya
adalah: pertama, kepekaannya terhadap peluang usaha. Ia selalu "membaca
pasar" dan sering mengaku bahwa "saya ini orang pasar". Artinya,
ia hanya menjual apa yang memang ingin dibeli orang darinya. Kedua,
kreativitasnya untuk menciptakan aneka produk dan ide-ide bernas untuk dijual.
Produk dijual lewat perusahaannya, sementara ide-ide dijual kepada peserta
berbagai jenis seminar yang melibatkan dirinya. Ketiga, keberaniannya mengambil
risiko, tidak saja dalam berbisnis, tetapi juga dalam bentuk penampilan
fisiknya yang unik itu. Ada banyak orang yang ingin tampil unik. Namun yang
berani untuk benar-benar tampil unik sangatlah sedikit. Saya masih ingat
bagaimana para anggota DPR yang mengundang Om Bob untuk suatu acara dengar
pendapat, menolak kehadirannya karena penampilan fisiknya dianggap "kurang
menghormati" lembaga tinggi negara. Potretnya dengan "seragam
kiwir-kiwir" saat bersama Presiden Soeharto di lahan pertaniannya
mendemonstrasikan keberanian untuk tampil beda itu dalam bentuknya yang paling
ekstrim, saya kira. Jadi, secara keseluruhan, ketika orang belum banyak bicara
soal pentingnya merek dan brand, Om Bob sudah tampil dengan "merek"
dan "brand"-nya sendiri.
Sisi lain yang paling saya kagumi dari Om Bob adalah kerendahan
hati dan kejujurannya. Ia tidak sungkan datang menjadi peserta seminar yang
diminatinya dan rela hanya duduk diam mengunyah-nguyah ide-ide yang dihidang
narasumber yang jauh lebih muda dan "lebih miskin" darinya. Terkadang
ia membawa "anak-anaknya" (karyawan yang menduduki posisi strategis
di berbagai perusahaannya) dan dengan demikian secara langsung mendidik mereka
untuk terus belajar. Dan jika dibandingkan dengan banyak pengusaha karbitan
yang melambung karena ber-KKN dengan penguasa, Om Bob saya kira termasuk dalam
kategori pengusaha yang relatif jujur.
Meski kami sama-sama bersepakat bahwa "sekolah" dan
"universitas" sejati adalah "kehidupan", namun posisi kami
berbeda. Om Bob lebih pantas menjadi "guru" dan "dosen",
sementara saya masih berstatus sebagai "pembelajar". Karenanya, kalau
saya diminta membuat daftar seratus hal yang saya syukuri dalam hidup saya di
"Sekolah Kehidupan Indonesia", maka salah satunya adalah kesempatan
untuk bertemu dengan "guru" saya yang kumis dan rambutnya semakin
memutih, namun semangat dan pikirannya masih terang benderang seperti saat
pertama kali kami bertemu sebelas tahun silam.
Setiap kali saya berbicara mengenai konsep "sukses tanpa
gelar" --judul buku saya yang pertama-- maka ingatan saya segera melayang
ke sosok Om Bob. Ia telah menjadi salah satu evidence tak terbantahkan bahwa
bagi mereka yang hanya sempat mengenyam pendidikan formal (pengajaran) sampai
tingkat sekolah menengah pun menjadi petani modern yang sukses itu masih
dimungkinkan. Dan sekali pun saya tidak pernah ingin menjadi petani kaya raya
atau Bob Sadino nomor dua, mudah-mudahan sebagai "murid", apa yang
saya sumbangkan bagi proses "revolusi pembelajaran" di negeri ini
tidak mempermalukan sang "guru" yang "sukses tanpa gelar"
itu.
*) andrias harefa, pemrakarsa dan pengelola pembelajar.com,
pendiri indonesia school of life, knowledge entrepreneur,
sales-financial-learning motivator/facilitator/consultant, telah menulis 20-an
buku yang kebanyakan diterbitkan gramedia dan penerbit buku kompas.
No comments:
Post a Comment