Oleh: Gede Prama
Tatkala matahari pertama
tahun 2002 menyongsong di upuk timur, banyak manusia yang merasa kalau
tahun-tahun berlalu demikian cepat. Baru saja kaki menginjak di angka tahun
2001, belum sempat mengerjakan kegiatan-kegiatan yang teramat penting, eh sang
waktu sudah membawa kita ke tahun 2002. Ada sahabat yang mau protes, dan
bingung entah ke siapa protes ini ditujukan. Yang jelas, ada sebuah lelucon
yang bertutur tentang seorang pengkotbah yang bepidato di depan ribuan umatnya.
Dengan suara lantang dan meyakinkan ia menggugah pengagumnya : ‘Hai orang-orang
yang beriman, janganlah minum bir karena bir minuman setan. Lagian kalau Anda
minum bir, nanti setan minum apa ?’.
Entah positif entah
negatif, demikianlah banyak orang mengisi waktu yang berjalan demikian cepat.
Melalui canda dan tawa, kita manusia memang bisa dibuat lebih sehat. Dan lebih
dari sekadar dibuat sehat, tawa dan canda juga menghadirkan serangkaian renungan
dalam menelusuri sang waktu. Bahkan kadang menghadirkan kedalaman renungan yang
lebih dalam dari sejumlah karya sastra. Menyangkut canda yang berisi ajakan
untuk tidak minum bir, sekilas memang tidak menghadirkan apa-apa selain
mengundang tawa. Namun dalam wajah Indonesia di awal 2002 yang demikian babak
belur di hampir setiap sisinya, layak direnungkan untuk menapak ke masa depan
dengan kewaspadaan untuk tidak lagi mabuk.
Bir yang berlebihan memang
bisa membuat orang mabuk, demikian juga dengan kekuasaan. Mirip dengan bir,
dalam jumlah yang tepat dan pas, kekuasaan adalah sahabatnya manusia. Namun,
begitu diminum dalam jumlah yang amat berlebihan, maka siapapun akan
sempoyongan. Dalam bahasa dan intensitas yang tidak banyak berbeda, dinamika
reformasi setelah tumbangnya presiden Suharto, ditandai oleh banyak sekali
pihak yang meminum ‘bir’ kekuasaan dalam jumlah yang melebihi batas.
Ada demonstrasi yang sudah
melebihi batas, ada DPR yang demikian berkuasanya, ada pengadilan jalanan yang
bisa menghakimi siapa saja, ada bom, teror dan peluru yang dimuntahkan di
mana-mana, ada korupsi yang jumlah angkanya tidak terbayangkan, ada kebebasan
pers yang keluar jauh dari batas-batas etika. Sehingga dalam totalitas, jadilah
Indonesia dengan banyak wajah rekor tertinggi. Dan kalau dikaitkan dengan
lelucon tentang minum bir tadi, apa lagi yang ada di balik semua ini kalau
bukan karena kumpulan manusia yang tidak minum bir kekuasaan terlalu lama,
kemudian begitu kita menemukannya di mana-mana, dengan kemaruknya memasukkan
semua bir ke dalam mulut.
Sebagai hasilnya, tidak
saja ular krisis semakin melilit seluruh bagian tubuh bangsa ini, tetapi juga
semakin banyaknya orang maupun institusi yang berjalan sempoyongan kehilangan
arah. Dan yang membuat kita tambah ngeri, kalau yang sempoyongan tadi adalah
orang yang menentukan wajah dan arah bangsa ini dalam jangka panjang.
Menoleh pada sejumlah tradisi timur yang sejuk dan teduh, penderitaan manusia manapun adalah ciptaan kita sendiri. Cobalah kosongkan kota Jakarta yang demikian bermasalah ini dengan manusia hanya dalam beberapa hari, pasti masalah yang tadinya menggunung, mendadak sontak jadi hilang. Dengan kesadaran bahwa masalah adalah ciptaan kita sendiri, mungkin layak untuk direnungkan dalam-dalam lelucon tentang minum bir di atas. Di mana kesediaan untuk senantiasa menjaga titik optimal sampai sejumlah mana bir kekuasaan boleh kita minum, sangat dan amatlah penting.
Menoleh pada sejumlah tradisi timur yang sejuk dan teduh, penderitaan manusia manapun adalah ciptaan kita sendiri. Cobalah kosongkan kota Jakarta yang demikian bermasalah ini dengan manusia hanya dalam beberapa hari, pasti masalah yang tadinya menggunung, mendadak sontak jadi hilang. Dengan kesadaran bahwa masalah adalah ciptaan kita sendiri, mungkin layak untuk direnungkan dalam-dalam lelucon tentang minum bir di atas. Di mana kesediaan untuk senantiasa menjaga titik optimal sampai sejumlah mana bir kekuasaan boleh kita minum, sangat dan amatlah penting.
Sebagaimana bir, kekuasaan
memang enak, menarik dan menggairahkan. Akan tetapi, ada sesuatu yang lebih tinggi
dari sekadar hidup enak dan menggairahkan. Ia bernama kedamaian di dalam diri
(inner peacefulness). Ya, kedamaian di dalam diri.
Ada orang yang menyebutkan
bahwa menemukan kedamaian seperti itu di Indonesia amatlah sulit. Dan agak
berbeda dengan sahabat yang berpandangan demikian, bagi saya kita bisa membuat
Indonesia berwajah inner peacefully dengan upaya yang tidak terlalu sulit.
Meminjam sejumlah argumen dalam tradisi timur, ‘melihatlah dan mataharipun
tersenyum’. Sayangnya, di tengah kisruhnya wacana, ‘melihat’ bukanlah perkara
yang terlalu mudah. Sebab, yang banyak terjadi adalah melihat dengan
kerangka-keranga yang sudah baku. Ada kerangka bahwa orde baru pasti jelek, ada
kerangka orde sekarang tidak bisa apa-apa, ada kerangka korupsi sudah demikian
membudaya, ada kerangka pers yang kisruh.
Dalam kerangka-kerangka
demikian, praktis kita tidak lagi bisa melihat. Yang kita lihat sebenarnya
adalah kerangka kita sendiri. Bila benar demikian, siapapun yang memerintah,
siapa saja yang berusaha untuk memperbaiki negeri akan senantiasa duduk di
kursi ‘terdakwa’. Memiliki seorang putera yang suka menonton film kartun
membuat saya suka berimajinasi, dan saya mengimajinasikan matahari bisa
berbisik kepada Indonesia : ‘melihatlah !’.
Matahari adalah perwujudan
kemampuan melihat yang amat mengagumkan. Ia hanya melihat, melihat dan melihat
titik. Tidak perduli tahi sapi sampai wanita cantik nan menawan ia lihat dengan
penglihatan yang segar. Entah tahi sapi tadi datang dari sapi yang terkena
anthrax, entah wanita cantik tadi anak seorang germo, matahari hanya bisa
melihat. Tidak lebih dan tidak kurang.
Dalam perspektif demikian,
kadang diri ini suka berimajinasi bertemu matahari untuk diajarkan bagaimana
bisa melihat dengan segar. Dan dalam kesegaran, ada banyak bir kekuasaan yang
tidak perlu membuat kita jadi mabuk.
No comments:
Post a Comment