Pemimpin "di
atas" menggunakan hanya jari telunjukknya untuk menyatakan
"kerjakan", sementara pemimpin yang "di depan" menggunakan
seluruh jari tangannya untuk menyatakan "mari kita lakukan". Pemimpin
"di atas", menggunakan seluruh jari tangannya untuk
"memukul", sementara yang "di depan" menggunakan seluruh
jari tangannya untuk "mengajak". Pemimpin "di atas"
menggunakan tangannya untuk "mematahkan", sementara pemimpin "di
depan" menggunakan tangannya untuk "menyatukan". Pemimpin yang
"di atas", menggunakan jempolnya untuk memuji sementara keempat
jemari lainnya terarah kepadanya, sementara pemimpin yang "di depan"
menggunakan kelima jarinya untuk "menarik" dan "mendorong".
Begitulah.
Menjadi pemimpin yang "di depan", memang tidak gampang. Yang berada
di depan berarti bersiap untuk dinilai oleh yang dibelakang. Tetapi pada saat
yang sama, juga harus menjadi pedoman bagi yang di belakang. Di Skotlandia,
bebek-bebek (terbang) biasanya hijrah ke Selatan. Mereka terbang melintasi
perjalanan bermil-mil jauhnya, dan membentuk formasi untuk memudahkan
perjalanan. Untuk itu, mereka menempatkan seekor bebek pemimpin di depan,
bukannya di belakang, terlebih bukan di atas.
Pemimpin
memang bukan bebek yang hanya bisa membebek. Tetapi bebek bisa menjadi
pelajaran. Bahwa pemimpin yang berada di depan memang harus bisa menjadi
panutan. Menjadi panutan, yang mampu mengarahkan, memberi pedoman, termasuk
mengetahui kondisi yang dibelakang.
Bagi bangsa
sebesar kita, menjadi pemimpin yang "di depan", memang akan sangat sukar.
Bukan hanya karena memang tidak credible untuk menjadi yang "di
depan", tetapi karena ada lebih banyak orang yang memilih untuk "di
atas". "Di atas", lebih gampang, dan lebih berkuasa. Menjadi
yang "di atas", penuh dengan kekaguman yang memabukkan. Sementara
kalau berada "di depan", jangan harap mendapatkan pujian. Wong tidak
akan ada yang mendongakkan kepala, lalu bertepuk tangan. Bahkan mustahil
menunggu orang-orang standing ovasion kepada kita. Maka jadilah kita bangsa
yang besar, tanpa pemimpin.
Bukan hanya
itu. Kesulitan mencari pemimpin yang "di depan" juga terjadi karena
tidak ada tempat bagi yang "di depan". Yang ada hanyalah tempat bagi
orang-orang yang "di atas". Dalam suatu organisasi, CEO yang berada
"di atas" menjadi idaman dan cita-cita. Medali emas, perak dan
perunggu tersedia bagi mereka yang pelan-pelan naik, naik, dan naik hingga
berada "di atas". Betapa akan sangat berbahagianya melihat kita
merintis karier pelan-pelan, lalu mencapai posisi puncak. Indonesia, sama saja.
Jabatan-jabatan puncak, yaitu yang "di atas", adalah kejaran yang
harus dicapai dengan jalan apapun, termasuk yang tidak halal. Yang
inkonstitusional, bahasa hukumnya. Yang penting "ke atas".
Menjadi
manusia pembelajar berarti belajar berada "di depan". Saya teringat dengan
kata-kata yang dulu-sewaktu SD-sudah saya tahu dan hafal. Ing ngarsa sung
tulodo. Kira-kira artinya: yang di depan memberi teladan. Apakah kita kesulitan
mencari pemimpin yang berada "di depan" karena kita tidak bisa
menjadi teladan? Apakah menjadi teladan begitu sukarnya?
Benar. Berada
"di depan", memang begitu sukar. Bersiap-siap menolong mereka yang
kelelahan dalam perjalanan hidup ini, mengulurkan tangan bagi mereka yang
membutuhkan bantuan, mendorong mereka yang lemah, bahkan mengangkat mereka yang
terluka. Berada "di depan" juga harus merelakan diri untuk menunggu,
kalau perlu membiarkan mereka yang berada di belakang melepas dahaga, barulah
meneruskan perjalanan. Bagi mereka yang berada "di depan", hidup ini
bukanlah tujuan, tetapi memberi arti hidup adalah tujuan yang harus
dikedepankan.
Berada
"di depan". Kalau saja semuanya berkehendak berada "di
depan", maka siapa yang akan di belakang? Tiada lagi. Karena semuanya
sudah "di depan". Tidak akan ada lagi yang perlu diatur, karena
semuanya sudah bisa mengatur, bahkan menjalankan. Tidak akan ada lagi yang
perlu ditunggu. Karena semuanya sudah maju bersama.
Kalau saja
saya diberikan kesempatan untuk berbicara kepada semua pemimpin bangsa di dunia
mengenai filosofi kepemimpinan, maka saya akan maju ke depan-benar-benar ke
depan-lalu berkata : mari ikut saya "ke depan".
Saya harap
tulisan ini membawa pemikiran kita "ke depan", bukan "ke
atas" (lagi).
No comments:
Post a Comment