Oleh: Waidi
Dekade terakhir ini merupakan puncak
pergeseran paradigma pendidikan, yaitu bergesernya “ideologi pragmatis” ke
“ideologi holistik”. Ini ditandai dengan pergeseraran pendekatan kurikulum dari
kecerdasan intelektual (intelectual quotient, IQ) menuju kecerdasan spiritual
(spiritual quotient, SQ) dan kecerdasan emosional/sosial (emotional quotient,
EQ).
Beberapa karya fenomenal di bidang
pendidikan yang menandai pergeseran tersebut diantaranya adalah terbitnya
buku-buku: “Kecerdasan Emosional” (Daniel Goleman, 1996); “Kecerdasan
Spiritual” (Donah Zohar dan Ian Marshal, 2000); “Quantum Learning” dan “Quantum
Teaching” (Bobbi De Portter dan kawan-kawan, 1999) dan “Learning Revolution”
(Gordon Dryden dan Jeanette Vos, 1999).
Buku-buku tersebut telah menyadarkan kita
bahwa kurikulum pembelajaran (delivering curriculum), tidak cukup hanya dengan
satu pendekantan saja yakni IQ misalnya. Dua pendekatan lainnya yakni SQ dan EQ
memegang peranan sangat penting dalam pembelajaran. Tulisan ini ingin mencoba
mengungkap bahwa kurikulum pembelajaran berbasis SQ merupakan “pintu pembuka”
dua kecerdasan lainnya.
Tiga Lingkaran
spiral kecerdasan
Dalam buku “Kecerdasan Spiritual”,
disebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga lingkaran spiral kecerdasan:
SQ, EQ, dan IQ. Lingkaran pertama (poros) adalah lingkaran SQ; disusul
lingkaran kedua: linkaran EQ; dan lingkaran ketiga adalah lingkaran IQ. Dalam
teori psikologinya Freud itu semua dilukiskan sebagai: id, super ego, dan ego.
Tiga kecerdasan tersebut memiliki tugas
dan fungsi yang berbeda-beda. Dimulai dari lingkaran ketiga, tugas IQ adalah
untuk berfikir logis, rasional: jika saya melakukan ini maka akibatnya itu.
Sifat dasar dari otak IQ adalah ia bekerja
sesui dengan aturan yang belaku, bekerja sesuai dengan “program” yang sudah
ditentukan (finite game): ketika saya mengoperasikan komputer saya selalu
bekerja dengan program/menu komputer, tidak lebih dan tidak boleh kurang. Kalau
tidak sesuai program/menu pasti hasilnya salah. Otak IQ selalu berfikir,
mekanis,apa saja yang sudah diketahui tanpa sentuhan emosinal. Dalam bahasa
yang sakartis, otak IQ bersifat “robotik”.
Tugas-tugas yang bersifat emosinal,
diserahkan kepada otak EQ. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah, kemampuan
menglola emosi, menganali diri dan orang lain (empati), percaya diri, sabar,
dan rasa ingin tahu (curiouscity).
Kalau otak IQ cara berpikirnya adalah
rasional, dan terprogram, otak EQ berpikir asosiatif dan imajinatif. Otak ini
sering berangan-angan terhadap sesuatu objek tertentu. Dan otak inilah
merupakan sumber lahirnya motif-motif tertentu dalam tindakan seseorang:
disebut juga otak motivasional. Sorang siswa yang cerdas emosinya, ia akan
pandai dalam memotvasi diri agar cita-citanya tercapai.
Lain lagi dengan otak SQ. Otak ini berada
pada pusat diri seseorang yang disebut “nurani”, atau jiwa. Bedanya dengan otak
EQ, otak EQ tidak saja bisa bertidak positif (memotivasi diri, sabar, tekun dan
sebagainya) namun bisa juga berntindak negatif (marah, beringas, dan bohong).
Sedangkan otak SQ selalu netral dan tidak pernah bohong dan selalu benar.
Seorang yang cerdas spiritualnya, ia akan selalu menuruti panggilan jiwanya
untuk hal-hal yang positif. Puncak dari kecerdasan spiritual adalah jiwa besar.
Otak SQ yang berada di pusat spiral tiga
kecerdasan tersebut, ia merupakan penggerak sekaligus pemersatu (unitif) dari
dua kecerdasan lainnya. Kekuatan pusat spiral tersebut, merupakan penentu dua
kecerdasan lainnya. Siswa yang berjiwa besar (cerdas SQ-nya) , tidak saja akan
berani karena benar, jujur dan sportif, tetapi juga mau belajar keras (cerdas
EQ-nya) untuk mencapai panggilan jiwanya (cita-cita). Ini berarti ia tidak
takut sama sekali dengan kesulitan-kesulitan belajar yang pada gilirannya akan
memiliki kemampuan akademik (intelektual) yang bagus.
Implikasi
Karena SQ merupakan penggerak keberhasilan
siswa kurikulum pembelajaran hendaknya dimulai dari SQ yang berada di pusat
spiral kecerdasan siswa menuju ke kecerdasan intelekual (inside out). Atau
dalam bahasanya Covey, dalam bukunya “The Seven Highly Efective People” , dari
kemenangan pribadi menuju kemenangan publik.
Sayangnya, disadari atau tidak, kurikulum
pembelajaran kita selama ini masih berputar-putar pada lingkaran IQ. Kurikulum
kita –kurikulum berbasis komptensi sekalipun—masih bersifat academic oriented.
Jam pelajaran di kelas- dan bahkan di rumah—dihabiskan hanya untuk mengejar
prestasi akademik khusunya NEM. Siswa terus dijejali tugas-tugas rutin akademik
demi target kurikulum terpenuhi. Tugas guru pun disulap, dari tugas
pembelajaran (motivasional) ke tugas pengajaran, dari tugas transformasional ke
tugas transaksional.
Kurikulum pembelajaran yang demikian,
menurut Mochtar Buchori (2000), telah memperkosa hak azasi siswa karena mereka
tidak pernah tahu dan disadarkan oleh gurunya siapa diri siswa itu. Dengan
logikanya yang keras (salah- benar) itu, siswa menjadi terasing dengan dirinya
sendiri (Gede Prama, 2001). Unsur-unsur motivasional, dan pengembangan sikap
mental positif agar siswa memiliki jiwa yang tangguh kurang tersentuh dalam
kurikulum berbasis IQ.
Desain kurikulum, oleh karenanya,
hendaknya mampu merubah budaya pengajaran ke budaya pembelajaran. Hal ini bisa
terwujud ketika desain kurikulum mendasarkan diri pada SQ. Kurikulum berbasis
SQ adalah kurikulum pembelajaran yang memungkinkan siswa terbentuk sikap mental
positifnya sehingga memiliki kebesaran jiwa dalam mengatasi kesulitan hidup.
Meminjanm istilahnya, Prof. Dr. S. Hamid Hasan, Kompas 2 Januari 2001, kurikulum
SQ adalah kurikulum yang mengembangkan karakter siswa.
Jiwa adalah potensi diri siswa yang paling
eksistensial. Ia, menurut, Gede Prama, adalah “wajah” asli siswa. Artinya,
perliku siswa berupa prestasi-prestasi akademik, dan prestasi hidup nantinya,
ditentukan oleh seberapa besar jiwa siswa. Jiwa adalah potensi tak terhingga
harganya. Dan kurikulum hendaknya berawal dan diperuntukan untuk pembetukan
jiwa: jiwa merdeka, jiwa berani, jiwa jujur, jiwa prestasi akademik, jiwa
prestasi hidup dan lain-lain.
Baik dalam “Quantum Learning”, “Quantum
Teaching” hingga “Learning Revolution”, kurikulumnya berbasis SQ yakni
bagaimana agar siswa memiliki jiwa pembelajar yang kuat. Pengembangan
kepribadian, oleh karenanya, dijadikan titik pasat spiral kecerdasan siswa, menuju
kecerdasan lainnya.
Dalam “Quantum Learning” misalnya, siswa
dihadapkan pada tiga tantangan: tantangan fisik, tantangan keterampilan hidup,
dan tantangan akademik. Tujuan utama dari tiga tantangan tersebut adalah
mendidik siswa memiliki kematangan jiwa, emosi, semangat belajar, ketangguhan
mental dan fifik dalam rangka meraih keterampilan hidup dan prestasi akademik.
Prinsip pembelajaran dalam kurikulum
berbasis SQ adalah “belajar yang menyenangkan”. Musik mozart, memang dijadikan
piranti kurikulumnya. Namun lebih dari itu, kurikulum SQ sesungguh adalah
kurikulum yang menyenangkan. Sentuhan-sentuhan motivasional yang menggetarkan
jiwa, memanggil jiwa, secara inheren sudah ada di SQ. Belajar menyenangkan akan
terjadi ketika, jiwa siswa terpanggil melalui sentuhan motivasional guru.
Sesulit apapun pelajaran itu, dan sesulit
apapun tantangan hidup yang akan dihadapi siswa, ketika jiwanya terpanggil
untuk itu, ia dengan senang hapi menhadapinya. Bukan malah ditinggalkannya.
Kumpulan dari “cara mengatasi kesulitan” itulah yang disebut “keterampilan
hidup”.
Ibarat kurikulum adalah rumah, maka
kurikulum SQ merupakan pintu masuk. Rumah itu bisa digunakan jika pintunya
dibuka. Begitupun dengan kita, kecerdasan lainnya bisa dibuka apabila SQ-nya
dibuka. Bukan malah ditutupi sperti kurikulum kita saat ini.
* Waidi, alumni UT, dan MBA Education
Leicester University UK, bekerja di UNSOED, Purwokerto. Dapat dihubungi di
waidius@yahoo.com.
source : [kolom bersama] pembelajar.com
No comments:
Post a Comment