Oleh: Andrias Harefa
Kita harus berhenti
mengasingkan sekolah
dari kehidupan nyata
sehari-hari.
"Nenek saya ingin
saya memperoleh pendidikan, karenanya, ia tidak mengijinkan saya sekolah,"
demikian
Everett Reimer mengutip kalimat Margaret Mead ketika menulis bagian Pendahuluan
bukunya School is Dead. Dari judul yang dipilihnya, dan diperkuat dengan
kalimat pertama itu, nampak benar ketajaman kritik Reimer terhadap lembaga
persekolahan, baik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Bagi mereka yang
tahu bahwa Reimer adalah rekan Ivan Illich, hal itu mungkin akan mengurangi
rasa terkejut dalam mempelajari kritik Reimer terhadap pembelajaran di
persekolahan. Sebab Illich sendiri pada saat yang hampir bersamaan menulis
sebuah buku yang tak kalah menyeramkan judulnya: Deschooling Society.
Apalagi bagi mereka yang terbiasa dengan gagasan Paulo Freire, ide-ide Reimer
menjadi 'generik' dalam arti 'biasa-biasa' saja.
Pemikiran-pemikiran
kritis Reimer, Illich, dan Freire itulah agaknya yang mempengaruhi Roem
Topatimasang ketika sedang kuliah di IKIP Bandung tahun 80-an. Dalam banyak
makalahnya yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku kecil
beberapa saat setelah runtuhnya "Sekolah Orde Baru", Topatimasang berusaha
mengingatkan hakikat dan peran sekolah yang telah menyimpang jauh dari sejarah
awalnya. Namun suara kritis Topatimasang dianggap bagai angin lalu oleh
birokrat pendidikan yang sedang berkuasa saat itu, sehingga tidak pernah ada
wacana yang mengangkat persoalan dasar pendidikan di tanah air. "Sekolah
Orde Baru" yang dimanajemeni oleh seorang Smiling General itu
memang sukses memasung segala bentuk kreativitas dan sikap kritis anak-anak
bangsa lewat sistem pendidikan yang dipolitisir untuk menopang status quo.
Benarkah sekolah sudah
mati? Mungkinkah ada masyarakat tanpa sekolah? Mengapa pendidikan hakikatnya
adalah upaya pembebasan? Bagaimana mungkin pendidikan dapat menindas? Sejauh
mana sekolah telah menjadi candu? Demikian beberapa pertanyaan mendasar yang
selama Orde Baru tidak pernah dijawab secara memuaskan. Tulisan ini tidak
bermaksud memberikan jawaban langsung terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam
itu. Yang ingin dilakukan adalah menelusuri asal usul sekolah dan secara
ringkas, melihat bagaimana dunia persekolahan itu tumbuh dan berkembang di
Indonesia, lalu mencoba memetakan persoalan dasar pendidikan yang kita hadapi
saat ini, serta apa 'peluang' yang perlu kita tanggapi untuk mereformasi sistem
pendidikan ke arah yang lebih baik, yang lebih berkesesuaian dengan setiap
upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia-manusia Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat dunia.
Sejarah
"Pendidikan" atau "Pengajaran"?
Sekolah atau school dapat
dilacak dari kata Latin seperti skhole, scola, scolae, yang dipergunakan
sekitar awal abad XII. Arti harafiahnya adalah "waktu luang" atau
"waktu senggang". Dengan demikian agaknya bersekolah pada awalnya tak
lain adalah leisure devoted to learning (waktu luang yang digunakan
secara khusus untuk belajar). Dan bila dewasa ini murid-murid yang bersekolah
'dirampok' waktu senggangnya oleh berbagai kursus dan les privat tambahan untuk
'melengkapi' pelajaran sekolah, maka itulah pertanda telah terjadi penyesatan
dalam masyarakat mengenai fungsi sekolah. Kapankah persekolahan dalam arti
mulai sekolah dasar hingga universitas sebagaimana kita kenal dewasa ini,
dimulai? Dan siapakah para 'praktisi' persekolahan itu pada awalnya? Hal ini
membawa kita pada pertanyaan mengenai sejarah pendidikan. Deskripsi yang
diberikan Everett Reimer berikut ini mungkin dapat sedikit menolong proses
pemahaman mengenai sejarah pendidikan:
Pendidikan timbul dari
praktik pemujaan dan pemerintahan. Tanah asalnya ialah halaman kuil dan
praktisi-praktisinya yang mula-mula adalah pendeta-pendeta khusus. Mungkin
menulis itu sendiri juga diketemukan oleh ahli-ahli tersebut. Jadi para dukun
dan pendeta ini berada dalam garis pusat pembentukan, bukan saja pembentukan
guru dan sekolah, melainkan juga evolusi manusia. Otak, tangan dan lidah,
kelompok desa dan kota, tenung, agama, semuanya adalah tonggak-tonggak pedoman
dalam perkembangan fisik, sosial, dan spiritual manusia. Para ulama agama
modern telah mewarisi (dari para dukun negara-negara sepupunya) suatu campuran
antara ilmu tenung, agama, seni dan ilmu yang mulai mereka uraikan dan
spesialisasikan. Telah cukup dikenal bahwa bukan hanya menulis, tetapi juga
ilmu pasti, astronomi dan kimia, melukis dan bersajak (puisi) pada mulanya
tersusun di halam-halaman kuil orang-orang Mesir Sumer dan kasta-kasta yang
berkuasa, yang memadukan fungsi ulama dan raja. Pengajaran seni (art) yang
pertama-tama diformalkan ini, yang masih merupakan bagian terbesar dari
kurikulum modern, tentulah dulu merupakan jenis pengajaran guru dan sistem
magang. Pada zaman dahulu pun tentu ada jenis pengajaran antar orang-orang yang
sederajat yaitu kalau seseorang menularkan penemuan atau kemampuannya kepada
orang lain. Disini letak satu di antara dua akar utama sekolah modern, letak
asal mula pengetahuan yang sistematis. Akar ini tidak muncul lagi, letak bentuk
yang menonjol secara institusional. Akar lainnya yang jauh lebih sederhana,
muncul pertama kali berupa ruang kelas orang-orang Mesir Sumer yang dibangun
untuk menampung sekitar 30 orang anak. Penemuan ini membawa orang kepada spekulasi
bahwa ukuran ruang kelas umum di zaman modern mungkin didasarkan atas
ruang-ruang kelas dari batu merah dan arsitektur orang-orang Sumer.
Plato dan Aristophanes
adalah orang pertama yang meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas
dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena Kuno memang sederhana. Sekolah itu
hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang dititikberatkan
pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran membaca,
menulis dan berhitung boleh dikatakan hanya sebagai pertimbangan sampingan.
Aslinya pendidikan di Athena bersifat tutorial, suatu aspek hubungan perorangan
yang seringkali juga bersifat erotik. Ketika Athena menjadi lebih demokratis
dan jumlah muridnya mulai lebih banyak dari gurunya, maka secara
berangsur-angsur hubungan tutorial digantikan dengan pengajaran
kelompok/klasikal.
Uraian Reimer di atas
mungkin memberikan pemahaman mengenai masa-masa awal pendidikan di Mesir Kuno,
yakni sekitar tahun 3000 hingga 500 sebelum Masehi. Sementara di India, pada
pendeta mengajarkan Kitab Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di
sekitar tahun 1200 sebelum Masehi. Di Cina, pendidikan formal (pengajaran)
diperkirakan muncul pada masa Dinasti Zhou berkuasa, yakni antara tahun 770-256
sebelum Masehi. Konfusius, Mensius, Laotzu, termasuk di antara guru-guru
pertama di Cina Kuno.
Di Yunani Kuno, tempat
asal Filsafat Barat, kaum Shopis mulai mengajar di Athena sekitar tahun 400
sebelum Masehi. Socrates, yang meninggal tahun 399 sebelum Masehi, boleh jadi
orang pertama yang mengatakan bahwa, "true knowledge existed within
everyone and needed to be brought to consciousness". Dengan dalil ini
pendekatan Socrates adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan penggalian (probing
questions) untuk memicu pikiran-pikiran murid-muridnya guna memahami makna
kehidupan, kebenaran, dan keadilan secara lebih mendalam (inside out method).
Sepeninggal Socrates,
Plato mendirikan Academy di tahun 387 sebelum Masehi, dan 52 tahun
berikutnya Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri bernama Lyceum,
juga di Athena. Lalu di abad yang sama, Isocrates mengembangan metode
pendidikan untuk mempersiapkan para orator yang bekerja di kantor-kantor
pemerintah. Ia diyakini ikut mempengaruhi secara langsung para ahli pendidikan
Romawi seperti Cicero, penulis De Oratore, dan Quintillian, yang membagi
pelajaran-pelajaran secara khusus berdasarkan pentahapan di awal tahun Masehi.
Pada tahap primary school diajarkan soal membaca dan menulis. Lalu di secondary
school para budak Yunani (dipanggil pedagogues) ditugaskan untuk
mengajar tata bahasa Latin dan Yunani kepada anak-anak Romawi waktu itu
(khususnya laki-laki). Dan akhirnya sedikit anak-anak laki-laki yang kaya masuk
ke sekolah untuk belajar menjadi orator dalam rangka persiapan agar mereka kelak
menjadi pemimpin-pemimpin di pemerintahan dan administrasi negara (seperti
pegawai negeri).
Pada masa awal Masehi,
orang-orang Yahudi juga telah memberikan pengajaran di tempat yang disebut
Sinagoga. Utamanya yang diajarkan adalah Kitab Taurat Musa. Dan ketika
kekristenan telah berkembang, maka Gereja Romawi kemudian juga menggunakan
bangunan yang di sebut gereja sebagai tempat pengajaran yang utamanya
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci serta mempersiapkan
pemimpin-pemimpin agama yang mengajar di gereja. Pada masa itu wanita masih
sangat sedikit memperoleh kesempatan untuk ikut belajar bersama anak-anak
laki-laki sebayanya.
Sekitar abad X-XI,
pendidikan Islam dari Arab mulai mempengaruhi sistem pendidikan Barat. Melalui
interaksi kaum Muslimin dengan pendidik-pendidik Barat, terutama di Afrika
Utara dan Spanyol, dunia Barat mulai belajar dari kaum Muslimin tentang
matematika, ilmu alam, ilmu pengobatan, dan filsafat. Sistem angka yang menjadi
fondasi dari aritmetika di dunia Barat diyakini sebagian orang sebagai
kontribusi terpenting dari pendidikan Islam dari Arab itu.
Kita tahu bahwa sekitar
abad XIII telah dikenal adanya University of Paris, tempat dimana Thomas
Aquinas mengajar. Lalu pada masa Renaisance di abad XIV dan XV dikenal tokoh-tokoh
penulis seperti Dante Aleghieri, Petrarch, dan Giovanni Boccaccio. Desiderius
Erasmus dari Jerman juga memberikan pengaruh besar dalam sistem pendidikan masa
itu, terutama dalam perkembangan ilmu arkeologi, astronomi, mitologi, sejarah,
dan Kitab Suci (Scripture).
Penemuan mesin cetak
Gutenberg di pertengahan Abad XV membuat buku makin mudah tersedia dan pada
gilirannya mengakselerasi proses pembelajaran di dunia. Ditambah lagi dengan
arus Reformasi Luther, Calvin, dan Zwingli, yang melahirkan Protestantisme,
peran orangtua kembali ditekankan sebagai pendidik utama anak-anaknya, terutama
dalam membentuk karakter mereka sebagai "orang-orang beriman". Dan
karena Protestanisme tidak menabukan studi Kitab Suci oleh kaum awam, seperti
Roma Katholik kala itu, maka peran Protestantisme dalam konteks pendidikan
Barat tidak dapat disepelekan. Pada masa ini pula, dimulai dari reformis Jerman
bernama Melanchthon, pemerintah dianggap bertanggung jawab untuk mensupervisi
sekolah-sekolah dan memberikan lisensi untuk mengajar.
Selanjutnya abad XVII
hingga XIX tercatat beberapa nama tokoh yang berpengaruh dalam pendidikan Barat
seperti antara lain:
Comenius atau Jan
Komensky, John Locke di Inggris, Benyamin Franklin dan Thomas Jefferson di
Amerika, Johann Heinrich Pestalozzi di Swiss, Jean Jacques Rousseau di
Perancis, dan lainnya. Dalam rentang waktu 200 tahun ini pula muncul perdebatan
tentang perlu tidaknya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, khususnya di
Eropa (Kristen) pada pertengahan abad XIX. Pemerintahan tertentu, seperti
Belanda waktu itu, bahkan menetapkan sekolah yang bercirikan agama tidak akan
mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Yang juga menarik untuk
disebutkan secara khusus adalah peran Fiedrich Froebel yang pertama kali
membuka kindergarten di Blankenburg, Jerman, dengan kurikulum berisi
pelajaran menyanyi, cerita, permainan, hadiah, dan occupations, di tahun
1837. Konsep kinderganten Froebel ini kemudian dibawa ke Amerika oleh
Margarethe Meyer Schurz dengan membuka taman kanak-kanak berbahasa Jerman di
Watertown, Wisconsin, tahun 1855. Tahun 1860 Elizabeth Peabody melanjutkan hal
ini dengan membuka sekolah sejenis berbahasa Inggris dan juga mengajar serta
melatih para pengajar taman-kanak-kanak di Boston. William Torrey Harris
memberikan kontribusi ketika memasukkan taman kanak-kanak sebagai bagian dari
sekolah umum di Amerika.
Pada awal abad XX, Ellen
Key, seorang feminis, penulis, dan ahli pendidikan Swedia, ikut mempengaruhi
sejarah pendidikan dunia. Bukunya The Century of the Child (1909) menawarkan
pendekatan pendidikan yang menekankan kebutuhan dan potensi anak ketimbang
kebutuhan masyarakat atau prinsip-prinsip agama. Ia antara lain diikuti oleh
ahli pendidikan Jerman Herman Liets dan Georg Michael Kerschensteiner, ahli
pendidikan dan filosof Inggis Bertrand Russel, dan Maria Montessori dari
Italia. Konsep pendidikan anak yang dikembangkan Montessori kemudian
mempengaruhi Amerika dan kembali menarik perhatian ahli pendidikan di sana pada
tahun 1950-an. John Dewey di Amerika dan Jean Piaget di Swiss juga memberikan
pengaruh terhadap sistem pendidikan Barat. Dan setelah itu Paulo Freire, Ivan
Illich, dan Everett Reimer, mulai mengkritisi sistem pendidikan yang berkembang
di banyak negara waktu itu.
Dari sejarah pendidikan
yang utamanya dirangkum dari Encarta Encyclopedia itu, apa yang sekarang kita
kenal sebagai sekolah dan universitas boleh jadi berakar dari Academy-nya
Plato dan Lyceum-nya Aristoteles. Namun, dalam artinya yang lebih luas
pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Dalam
bentuknya yang informal dan nonformal (pelatihan), pendidikan diberikan oleh
orangtua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi
(sharing) informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh,
membuat senjata dan perlengkapan hidup lainnya, belajar bahasa, dan nilai-nilai
serta perilaku yang mengekspresikan ritus-ritus dalam budaya mereka
masing-masing. Apa yang kemudian disebut sebagai "sejarah pendidikan"
tadi lebih menunjukkan pada sejarah "pengajaran" atau sejarah
"persekolahan" yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah ilmu
pengetahuan modern. Dan kalau itu yang maksud, maka rujukan kepada
filosof-filosof Athena sebagai pelopornya dapatlah diterima.
Demikianlah sejarah
pendidikan formal atau pengajaran dan persekolahan memperlihatkan bahwa para
praktisi pendidikan pada awalnya adalah kaum pendeta, dukun-dukun, ulama, dan
mereka yang memiliki posisi kepemimpinan atau manajerial dalam organisasi
keagamaan dan pemerintahan. Praktisi pendidikan itu awalnya merupakan ahli-ahli
ilmu agama (teolog), ahli-ahli ilmu pengetahuan modern (filosof, cendikiawan)
dan negarawan serta pejabat administrasi pemerintahan (ambtenaar,
pegawai negeri). Meski budak-budak Yunani pada masa penjajahan Romawi Kuno juga
dilibatkan, namun secara bertahap peran mereka digantikan oleh orang-orang yang
lebih "terpelajar" dan "berkuasa".
No comments:
Post a Comment