Oleh : HERU K WIBAWA
Adakah cara untuk memperbaiki negeri ini?
Apakah dengan memotong 'satu generasi'? atau bahkan 'dua generasi'? seperti
yang diyakini oleh sekelompok orang yang ditempel pada spanduk-spanduk di
pinggir jalan Jakarta. Tidur panjang seluruh penghuni negeri berbuah kesesatan,
kehilangan jati diri dan kemanusiaan, berujungkan pemutarbalikkan bukan saja
sejarah tetapi juga norma-norma kehidupan. Masih adakah harapan negeri ini
menjadi negeri yang aman, tenteram, sejahtera dengan masyarakatnya yang santun
dan saling menghormati ?
Ataukah inilah sejarah dan tragedi
kemanusiaan yang akan terus berputar dinegeri tercinta ini, bukankah hasrat
suci menegakkan hak dan jati diri kemanusiaan manakala para leluhur kita
berjuang melawan ketidakadilan penjajah? Tetapi bukankah sejarah yang
membuktikan bahwa setelah merdeka kita harus bertikai dengan diri kita sendiri,
rakyat melawan pemimpin, mahasiswa melawan politikus? Kebobrokan moral orde
lama bukanlah telah mengkristalkan tekad membentuk pemerintahan yang berpihak
pada kepentingan rakyat, yang terjelma pada munculnya orde baru, orde harapan
dan orde pembangunan? Tetapi bukankah ujungnya juga kekecewaan? Dan reformasi
mahasiswa dengan niat sucinya, bukankah telah membawa pada kekecewaan-kekecewaan
yang semakin menyusahkan hati dan kehidupan rakyat?
Adakah harapan untuk menyelesaikan begitu
banyaknya dan rumitnya serta mendesaknya berbagai persoalan di negeri ini? Kita
ini bangsa yang paling kreatif menciptakan masalah, tetapi paling bodoh menyadari
dan menyelesaikannya. Dan yang lebih bodoh lagi karena kebanyakan kita akan
segera bersimpuh di depan orang asing untuk mendapatkan petunjuk, petuah,
bantuan dan bimbingan. Mengapa? Karena telinga kita terlalu tuli untuk
mendengar suara hati kita (yang telah lama dibiarkan tidak bersuara), dan mata
kita telah buta serta hati kita telah membatu untuk insaf dan bertobat dan
kembali pada kesadaran potensi diri yang dikaruniakanNya cukup bagi hidup kita.
Pergilah ke toko-toko buku, betapa
banyaknya pemikiran-pemikiran asing tentang pengembangan pribadi (self
development), pembaruan diri (self renewal), kepemimpinan (leadership), etika
bisnis, kiat sukses dunia bisnis. Dengan label best seller, the most inivative
book, break through ditambah dengan banjirnya seminar-seminar yang didasarkan
konsep-konsep itu, seakan-akan telah membawa bangsa ini pada pemahaman era
globalisasi dengan konsep-konsep serta perilaku globalnya. Mana tulisan para
Doktor, Profesor yang sekolah dibiayai pemerintah, dengan uang rakyat itu?
Saya merinding membayangkan kesesatan
bangsa ini yang akan semakin jauh dari jati dirinya. Adakah obat bagi penyakit
negeri ini? Benarkah hanya dengan obat asing, benarkah konsep manajemen, etika,
moral, bisnis asing itu cocok dan terbaik buat negeri ini? Ataukah kita sekedar
menghibur diri mencari obat gosok untuk mengobati kanker kronis yang perlu
dioperasi. Ataukah kita terlalu naif dan malu mencari jati diri yang telah lama
hilang dari hidup kita. Lihatlah apa yang menjadi ungkapan kunci sukses orang
Amerika dalam kurun 200 tahun dari 1776 sampai 1976 adalah melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang efektif (The Seven Habits/ S Covey) bandingkan dengan
diskripsi manusia Indonesia versi Mochtar Lubis (yang dikutip dalam buku
Menerobos badai krisis/A Harefa), antara lain munafik atau hipokrit; segan dan
enggan betanggungjawab atas perbuatannya; berjiwa feodal; masih percaya
takhayul; artistik; memiliki watak yang lemah; dan beberapa ciri lain seperti:
tidak hemat, kurang sabar, tukang menggerutu, tukang tiru, sok, cenderung
bermalas-malasan, dan kurang peduli terhadap nasib orang lain, selama tidak
mengenai dirinya atau orang yang dekat dengannya.
Bukankah secara mendasar terdapat
perbedaan antara masyarakat kita dengan masyarakat Amerika. Bukankah masyarakat
kita masih dalam taraf kehidupan pasif, menunggu, sementara masyarakat global
adalah masyarakat yang proaktif. Mungkinkah dasar yang sangat berbeda ini
dibangun konsep dan pola pengembangan yang sama? Saya sangat mengkhawatirkan
apabila kita merasa telah membangunnya sebenarnya kita melakukan kesia-siaan.
Paling tidak situasi ini telah mendorong
Cak Nur (dengan Paramadina) dengan 15 prinsip rohaniah manajemennya, Sri
Adyanti (dengan Tazkia Sejati), Anand Krishna (dengan Meditasi) mencoba
menggali nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki bangsa ini untuk digali dan
dipakai kembali. Saya bukan anti barat/asing, bahkan dalam tulisan ini akan
banyak saya bandingkan dengan referensi dari konsep-konsep tulisan lain, tetapi
keyakinan saya tidak ada satu halpun (konsep, pemikiran dll) yang begitu saja
dapat diterapkan untuk bangsa kita tanpa adanya jembatan yang menghubungkannya
dengan latar belakang, pendidikan, budaya, serta penghayatan agama yang kita
miliki.
Adakah buku hasil perenungan anak negeri
yang lahir dan dibesarkan dinegeri sendiri, dan memahami dan mungkin mengalami
pendidikan dan kehidupan dinegeri barat serta bergaul cukup intensif dengan
berbagai orang barat dan timur dengan tetap berusaha untuk tidak kehilangan
dirinya. Sehingga pemikiran dan konsepnya akan dekat dengan kita dan menyentuh
aspek-aspek kehidupan nyata.
Di manakah pemikiran atau sumbang saran
yang akan dapat dijadikan jembatan yang mencoba menghubungkan konsep dan
pemikiran serta budaya asing yang terus akan menghujani kita dengan tingkat pemahaman
yang sudah kita miliki? Sehingga dari keadaan 'riil' posisi kita, dapat
mendinamisasi diri sesuai dengan tuntutan zaman. Pilihan terhadap arus
globalisasi tidaklah begitu banyak, karena bagaimanapun kita tidak akan mampu
membendung pengaruhnya. Bukankah seharusnya tindakan proaktif yang kita lakukan
adalah menyerap dan menggunakannya dengan berlandaskan nilai-nilai luhur yang
kita miliki.
Seberapa keluhuran nilai yang kita miliki
sebenarnya? Apakah itu bukan sekedar slogan kosong tak bermakna? Saya tidak
ingin terjebak pada perdebatan sosiologis yang akan mempertentangkan tata nilai
lama dan baru, tetapi saya akan memusatkan perhatian pada tata nilai yang telah
kita miliki dengan kritis, dan mencoba menggali esensinya, sehingga akan mampu
dipakai dalam lingkungan baru. Karena esensi suatu nilai tidak akan luntur oleh
zaman.
Sehingga, sebagaimana A Harefa dalam
mendiskripsikan manusia modern dalam bukunya Sukses tanpa gelar, janganlah kita
terjebak pada gambaran diri semu manusia modern yang kebanyakan dikejar orang
yang lebih bersifat ornamental (tidak esensi) yang lebih mencerminkan kegagapan
menghadapi arus globalisasi. Hal mana terjadi karena segala sesuatu yang baru
tidak disikapi dengan filterisasi atau proses seleksi berdasarkan ukuran-ukuran
atau, ketepatan dan kesesuaian, dengan kebutuhan dan adaptasi, melainkan dengan
semangat taken for granted. [bersambung]
No comments:
Post a Comment