By : benyamin harefa
Saya yakin kita semua pasti pernah mendengar kalimat di atas
diucapkan diucapkan oleh guru kita atau dosen atau pendeta atau ulama. Dan bagi
yang suka membaca, pasti pernah membacanya di paling tidak satu buku atau
majalah.
Menjadi diri sendiri.
Sewaktu saya masih kecil, saya sudah mendengar dan membaca kalimat
tersebut berulang kali. Tapi terus terang saja, saya menerimanya sebagai satu
dari sekian banyak kata-kata mutiara. Enak didengar.
Sewaktu saya remaja, menjadi diri sendiri adalah kalimat yang
seringkali muncul dan didiskusikan di berbagai forum dan media. Saya menjadi
sadar bahwa kalimat itu bukan sekadar kata-kata mutiara. Ada kandungan nilai
yang sungguh luar biasa besarnya.
Sekarang, ketika saya dewasa, saya menjadi lebih banyak memahami
arti kalimat tersebut dibandingkan waktu-waktu lalu. Dan, ini anehnya, saya
merasa bahwa pemahaman saya saat ini masih akan terus berkembang. Saya akan
menjadi lebih mengerti lagi tentang menjadi diri sendiri di waktu yang akan
datang.
Aneh? Ya. Bagi saya agak aneh. Bagaimana mungkin satu kalimat yang
sederhana seperti itu mengandung pengertian yang seakan-akan tidak habis
digali. Apakah benar pengertian menjadi diri sendiri terus berkembang? Apakah
definisinya berubah dan menjadi semakin lengkap dan panjang dari tahun ke
tahun? Tidak. Tidak sama sekali. Bahkan pengertian dan definisi yang saya baca
tentangnya 10 tahun lalu, tetap merupakan pengertian dan definisi yang lengkap
dan utuh.
Tapi ini bukan tulisan yang dimaksudkan untuk membahas secara
memadai masalah menjadi diri sendiri. Saya hanya bisa menulis yang
ringan-ringan saja. Membahas pengertian dan makna tidak pernah ringan. Tapi
kesan adalah ringan. Jadi, saya ingin menulis sedikit tentang kesan saya mengenai
arti menjadi diri sendiri sebagaimana saya rasakan dan saya 'tangkap' dari
sekitar saya.
Tapi karena kesan adalah ringan, sebenarnya begitu ringannya,
sehingga ada banyak sekali kesan yang dapat saya (dan Anda) tulis. Karena itu
saya mencoba mencari kesan yang terkuat saja. Dan, dengan mudah saya
menemukannya.
Menjadi diri sendiri adalah menerima diri. Beberapa orang
menambahkan: menerima diri apa adanya. Agak berbeda (saya pikir sebenarnya
sangat berbeda). Saya tidak ingin membuat hal ini menjadi perdebatan panjang.
Yang ingin saya sampaikan adalah salah satu kesan paling kuat dari menjadi diri
sendiri adalah menerima diri kita, kondisi (fisik) kita, dan banyak hal lain
yang sudah dari sononya begitu. Ada ruang diskusi yang luas juga untuk hal-hal
apa saja yang dapat dikategorikan sebagai sudah dari sononya sehingga harus
diterima dan tidak perlu/bisa berubah.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesan menerima diri sebagai
wujud dari menjadi diri sendiri sangatlah kuat. Kesan ini biasanya bergandengan
dengan penekanan pada fakta bahwa manusia diciptakan berbeda-beda,.
Kesan tersebut tidaklah salah (memang tidak ada kesan yang salah).
Namun kesan tersebut kadang-kadang mengganggu pikiran saya. Terutama ketika
orang mulai berkata: "Ya memang saya begini. Mau apa lagi?" atau
"Saya memang terlalu sensitif atau emosional. Itulah saya". Menjadi
diri sendiri berarti bereaksi sebagaimana kecenderungan saya. Kalau saya
pemarah, maka adalah wajar kalau saya seringkali marah, bahkan untuk hal-hal
sepele. Kalau saya sensitif, maka adalah wajar kalau saya selalu tersinggung,
bahkan ketika orang lain tersungging pada saya. Padahal, saya rasa, bukan itu
maksud dari menjadi diri sendiri.
Karena itu saya memikirkan bagaimana menghilangkan kesan yang
cenderung negatif dari menjadi diri sendiri. Dan saya pikir sumbernya ada pada
kalimat itu sendiri. Menjadi diri sendiri adalah kalimat yang terlalu netral,
mati, pasif. Kita harus mengubahnya menjadi lebih membangkitkan semangat,
hidup, dan aktif. Dan saya usulkan agar kita menambah beberapa kata sehingga
berbunyi: Menjadi (yang terbaik dari) diri sendiri. Bagaimana menurut Anda?
No comments:
Post a Comment