Oleh Martua Risman Kurniadi, S.Th
Dibawa-Nya-lah semuanya
kepada manusia itu untuk melihat bagaimana ia menamainya..." (Kejadian
2:19)
Seorang
murid mengeluh kepada Gurunya, "Bapak menuturkan banyak cerita, tetapi
tidak pernah menerangkan maknanya kepada kami." Jawab sang Guru:
"Bagaimana pendapatmu, Nak, andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu,
namun mengunyahkannya dahulu bagimu?" (A. de Mello SJ, Burung Berkicau)
Apa makna percakapan murid
dan guru tersebut? Ah, saya rasa jauh lebih baik Anda menjawabnya sendiri.
Sebab saya yakin Anda tidak ingin memakan buah yang sudah saya kunyahkan dulu
bagi Anda.
Tetapi
izinkanlah saya untuk mengunyah buah saya sendiri, dan menuturkan kepada Anda
rasa buah itu, lalu Anda juga menuturkan rasa buah yang Anda kunyah sendiri.
Nah, bukankah ini sebenarnya salah satu aspek dari pendidikan?
Saya sering membayangkan
hidup di sebuah dunia di mana setiap penghuninya dapat dengan bebas dan terbuka
saling berbagi cerita dan pengalaman, membuka dirinya bagi kehadiran dan
keberadaan pihak lain. Menerima keberadaan orang lain apa adanya, dan saling
menjunjung kedaulatan serta kemerdekaan pihak lain. Apakah itu semua dapat kita
temukan dalam dunia pendidikan?
Sayangnya,
kita tak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak orang yang (baik
disadari maupun tidak) lebih senang memakan buah yang lebih dulu dikunyahkan
orang lain yang dianggap lebih tahu, lebih bijaksana, lebih pengalaman, lebih
pintar... .
Saya sendiri sering
mengalami bagaimana murid-murid merasa lebih "aman" bila tahu apa
pendapat gurunya tentang sesuatu hal, dan akhirnya menjadikan pendapat gurunya
tersebut sebagai pendapatnya juga. Lalu ketika saatnya ujian, jawaban yang
diberikan murid adalah jawaban yang sama persis dengan pendapat sang guru,
meskipun soal di kertas ujian sangat jelas terbaca: "Uraikan pendapatmu
tentang..." Celakanya lagi, sang guru tampak senang dan memberi nilai yang
baik, atas jawaban si murid, sebab dianggap muridnya sudah dapat memberikan
jawaban dan pendapat yang baik dan tepat, sama seperti pendapatnya.
Jika hal ini cenderung
(atau bahkan mungkin sudah) menjadi kenyataan dalam proses pendidikan kita,
maka tampaknya kita pantas mengurut dada bila pendidikan tidak lagi dipandang
sebagai upaya memanusiakan manusia, melainkan mem-beo-kan manusia. Moga-moga
tidak!
Marilah kita belajar dari
Sang Maha-Guru Agung, Allah kita. Allah memberikan hak dan kesempatan kepada
Adam untuk menamai ciptaan yang lain. Kisah ini bukan semata-mata kisah saja,
terlebih bila kita mengingat bahwa manusia itu dicipta menurut gambar dan rupa
Allah. Dalam kisah tersebut kita melihat betapa tingginya harkat dan martabat
manusia dan betapa luhurnya fitrah manusia.
Pengakuan
bahwa Allah sendiri memberi manusia kebebasan untuk menamai ciptaan yang lain,
menunjukkan bahwa fitrah, harkat dan martabat manusia yang agung itu
dimungkinkan dan ditetapkan sejak penciptaan manusia oleh Allah sendiri.
Tindakan menghargai fitrah, harkat dan martabat manusia merupakan tindakan
ilahi.
Tindakan Allah
tersebut memberikan kepada kita suatu kerangka dasar bagi pengakuan atas
kebebasan dan kedaulatan manusia, yang sejak awalnya telah diberi kebebasan
oleh Allah untuk menamai bahkan menanggungjawabi perbuatannya. Kebebasan itu
ternyata pula diletakkan dalam relasi yang erat dengan ciptaan yang lain (yaitu
alam) dalam harmoni cinta.
Tetapi dalam kisah
selanjutnya kita juga melihat bahwa kebebasan dan kedaulatan itu dibayangi oleh
krisis. Krisis yang mengancam dan mampu menghancurkan manakala kebebasan dan
kedaulatan tidak lagi diikuti oleh tanggung jawab dan kesadaran akan hakikat
keberadaan diri. Adam dan Hawa melepas tanggung jawab untuk taat kepada
batas-batas yang Allah tetapkan. Keinginan untuk menjadi seperti Allah, yang
juga berarti keinginan untuk berkuasa dan menguasai pihak lain, mengakibatkan
Adam dan Hawa lupa akan keberadaan diri mereka. Selanjutnya kita tahu apa yang
terjadi.
Baik Adam maupun Hawa
tidak mampu bersikap kritis dan waspada atas apa yang dinyatakan oleh ular.
Kebebasan dan kedaulatan mereka tidak disertai oleh sikap kritis dan waspada.
Kritis dan waspada terhadap krisis-krisis yang mungkin ada di dalam kebebasan
dan kedaulatan itu sendiri. Ketika diperhadapkan pada pilihan yang menggiurkan,
segala pertimbangan hanya memusat pada diri mereka sendiri. Saat itu sebenarnya
harmoni dengan alam, terlebih dengan Pencipta tidak lagi masuk dalam
pertimbangan. Harmoni yang indah tersebut dikalahkan oleh ego mereka.
Kita melihat bahwa di satu
sisi kebebasan dan kedaulatan merupakan milik yang berharga bagi manusia sebab
hal itu merupakan bagian dari fitrah, harkat dan martabat manusia. Namun di
sisi lain kita juga tak dapat melupakan tanggung jawab dan kesadaran akan
keberadaan diri kita.
Dikaitkan dengan
pendidikan, maka kita harus senantiasa mengingat bahwa fitrah, harkat dan
martabat manusia menjadi kerangka dasar pendidikan. Itu berarti, pendidikan
semestinya menjunjung tinggi kebebasan dan kedaulatan tiap individu yang
terlibat di dalamnya, terlebih dalam diri murid.
Sebagaimana telah
dikatakan di atas, bahwa tindakan penghargaan akan kebebasan dan kedaulatan
merupakan tindakan ilahi. Namun kebebasan dan kedaulatan tersebut bukanlah
kebebasan dan kedaulatan yang memusat pada diri sendiri. Kebebasan dan
kedaulatan pada akhirnya harus bermuara pada kesadaran akan relasi manusia
dengan sesamanya, manusia dengan alam dan manusia dengan Pencipta-Nya.
Kesadaran ini diarahkan dalam harmoni dan semangat kebersamaan.
Oleh karena itu,
pendidikan harus menjadi suatu upaya untuk membebaskan manusia dari pemusatan
segala sesuatu kepada diri sendiri dan mengarahkan kebebasan serta kedaulatan
manusia bagi perjuangan untuk mengupayakan kebebasan dan kedaulatan sesamanya.
Pendidikan yang membebaskan berarti juga upaya untuk memungkinkan berkembangnya
sikap kritis, terlebih kritis terhadap diri sendiri (yang ditandai dengan
berkembangnya otokritik dan introspeksi). Hal ini dilakukan dalam kesadaran
akan keterkaitan diri dengan sesama dan dunianya serta terhadap Penciptanya.
Mungkinkah dan kapankah
upaya itu dapat kita lihat hasilnya? Menurut saya sangat mungkin. Kapan? Ketika
murid-murid sudah dapat berkata: "Pak Guru, Bu Guru, biarkan saya
mengunyah buah saya sendiri...!"
Martua Risman Kurniadi,
S.Th.
Staf P4 Bid. Kerohanian dan Guru
Agama SMUK 3.
No comments:
Post a Comment