Oleh: Khoiruddin Bashori
Guru, sadar atau tidak, sering kali
beranggapan kelas yang baik itu tenang dan serius. Dengan asumsi seperti guru
akan merasa telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik jika sanggup membuat
kelas menjadi tenang dan siswa serius belajar. Sebaliknya, mereka akan sedih
dan merasa tertekan jika kelas gaduh dan siswa tampak kurang serius. Dalam
suasana kelas seperti ini, guru terkadang lupa menghitung berapa banyak anak
yang terkantuk-kantuk dan 'terpaksa' tertidur pulas dalam kelas. Apa yang dapat
dipelajari siswa dalam mimpi?
Konon, salah satu tanda kehidupan adalah
pergerakan. Kelas akan hidup jika siswa banyak melakukan pergerakan. Kelas
berubah menjadi kuburan jika siswa tidak lagi hidup, tidak belajar melakukan
sesuatu dengan menyenangkan. Sekolah kemudian terasa seperti penjara yang
menyesakkan. Dalam iklim pembelajaran seperti ini, energi psikis siswa lebih
banyak tersedot untuk membuat mata tetap terjaga, atau melawan kebosanan, daripada
untuk mempelajari materi pelajaran. Sementara suasana kelas yang menyenangkan
(fun) akan memberikan daya dorong bagi kegairahan siswa untuk mengembangkan
diri secara lebih optimal.
Pendidikan
Lawan Hiburan
Dalam praktik, tidak sedikit guru yang
memahami pendidikan sebagai lawan dari hiburan. Pendidikan selalu diasosiasikan
dengan hal-hal yang serius, sementara hiburan identik dengan sikap santai dan
main-main. Keduanya seolah-olah merupakan dua hal terpisah, bahkan bertolak
belakang. Dalam teori pembelajaran modern, keduanya ternyata dapat dikawinkan.
Hasil perkawinan antara pendidikan dan hiburan ini ternyata menghasilkan
keluaran yang jauh lebih dahsyat. Survai membuktikan, pembelajaran akan lebih
memuaskan hasilnya jika dilakukan dengan menyenangkan.
Pembelajaran yang menyenangkan disebut
Edutainment, perpaduan antara education (pendidikan) dan entertainment
(hiburan). Sebuah proses pembelajaran yang didesain sedemikian rupa sehingga
muatan pendidikan dan hiburan dapat dikombinasikan dengan harmonis.
Pembelajaran, oleh karenanya, terasa lebih menyenangkan. Pembelajaran yang
menyenangkan dapat dilakukan dengan humor, permainan (game), bermain peran
(role play), kuis, berselancar di internet mencari informasi baru tentang topik
yang sedang dipelajari (webquest), dan sebagainya. Sebuah proses pembelajaran
interaktif yang lebih memberi ruang kepada siswa untuk mengalami, mencoba,
merasakan, dan menemukan sendiri.
Dave Meier (2000) dalam bukunya The
Accelerated Learning Handbook menyatakan, sudah saatnya pembelajaran pola lama
diganti dengan pendekatan SAVI, agar pembelajaran berlangsung lebih efektif.
Guru, dalam mengelola kelas, sebaiknya menggunakan pendekatan Somatic,
Auditory, Visual, dan intellectual (SAVI). Somatic didefinisikan sebagai
learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory
adalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan
mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar
dengan mengamati dan menggambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by
problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan
refleksi).
Keempat pendekatan belajar tersebut
diintegrasikan sedemikian rupa sehingga siswa dan guru dapat secara
bersama-sama 'menghidupkan' suasana kelas. Kelas, dengan pendekatan ini, tidak
lagi seperti kuburan yang menakutkan, akan tetapi merupakan 'arena bermain'
yang menyenangkan bagi anak. Pelajaran dikemas dalam suasana bermain dan
bereksperimen. Suasana kelas yang 'menggairahkan' ini sangat bermanfaat tidak
saja bagi peningkatan prestasi belajar siswa akan tetapi juga menurunkan
stress, meningkatkan ketrampilan interpersonal, dan kreativitas siswa. Dengan
kata lain, humor, canda-tawa, dan kegiatan kelas yang dinamis merupakan bumbu
penyedap yang akan menambah selera anak untuk giat belajar.
Lebih lanjut Meier menyarankan
pengembangan program pembelajaran hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Learning involves the whole mind and
body. Pembelajaran melibatkan keseluruhan jiwa dan raga. Pembelajaran tidak
boleh hanya sekadar menyentuh 'kepala' (kesadaran, berpikir rasional, 'otak
kiri', dan verbal) akan tetapi melibatkan keseluruhan body/mind dengan emosi,
rasa, dan intuisinya.
2. Learning is creation, not consumption.
Pembelajaran adalah kreasi, bukan konsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
dikonsumsi, namun sesuatu yang diciptakan siswa. Pembelajaran terjadi ketika
siswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan baru ke dalam struktur diri
(Self) yang telah ada. Dengan kata lain belajar adalah proses penciptaan makna
baru, hubungan baru, dan pola baru.
3. Collaboration aids learning. Kerjasama
membantu pembelajaran. Seluruh pembelajaran yang baik memiliki basis sosial.
Kita sering kali belajar lebih baik ketika berinteraksi dengan teman.
Kolaborasi antar siswa mempercepat pembelajaran. Masyarakat pembelajar selalu
lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar daripada sekadar kumpulan
individu-individu yang terisolasi.
4. Learning takes place on may levels
simultaniously. Pembelajaran berlangsung simultan pada berbagai tingkatan
Pembelajaran bukanlah persoalan menyerap satu hal kecil pada suatu ketika
secara linear, akan tetapi menyerap berbagai hal sekaligus. Oleh karena itu
pembelajaran yang baik mendorong siswa untuk menyerap berbagai hal itu secara
simultan (kesadaran dan parakesadaran, mental dan fisik). Otak akan lebih
terangsang untuk bekerja optimal jika menerima stimulus tidak hanya satu level.
5. Learning comes from doing the work
itself (with feedback). Pembelajaran muncul dari pelaksanaan kegiatan itu
sendiri (dengan umpan balik). Orang belajar dengan baik justru dalam konteks.
Sesuatu yang dipelajari dalam isolasi sulit diingat dan mudah hilang. Kita
belajar bagaimana cara berenang dengan berenang, belajar menyanyi dengan
bernyanyi, belajar menjual langsung dengan praktik menjadi penjual. Hal-hal
yang nyata dan konkrit merupakan guru yang lebih baik dari pembelajaran
hipotesis dan abstrak. Sudah barang tentu ditambah dengan umpan balik dan
refleksi.
6. Positive emotion greatly improve
learning. Emosi-emosi positif sangat membantu peningkatan pembelajaran.
Perasaan, suasana hati, menentukan baik kuantitas maupun kualitas pembelajaran
siswa. Perasaan-perasaan negatif menghambat pembelajaran, sementara perasaan-perasaan
positif memberikan akselerasi. Pembelajaran yang penuh tekanan dan rasa sakit
tidak akan melahirkan suasana yang menyenangkan, santai, dan menggairahkan.
7. The image brain absorbs information
instanly and automatically. Otak menyerap informasi berupa citra/gambar secara
instan dan otomatis. Sistem susunan syaraf manusia lebih merupakan pemroses
citra/gambar daripada pemroses kata. Citra/gambar yang konkrit lebih mudah
ditangkap dan diingat daripada abstraksi-abstraksi verbal. Menerjemahkan abstraksi-abstraksi
verbal materi pembelajaran ke dalam citra/gambar yang konkrit akan membuat
abstraksi-abstraksi verbal itu lebih cepat dipelajari dan lebih mudah diingat.
Pendidikan
Masa Depan
Pembelajaran sebagaimana diuraikan
sebelumnya adalah pendekatan baru yang lebih cocok dengan dinamika masa depan.
Setelah mencermati kecenderungan masa depan yang semakin rumit dan kompleks,
Dryden dan Vos (2001) dalam bukunya The Learning Revolution (Revolusi Cara
Belajar) sampai pada kesimpulan, 'pendidikan adalah kunci utama untuk membuka
masa depan alternatif'. Sudah barang tentu bukan sembarang pendidikan, akan
tetapi pendidikan yang mampu 'menyiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata'.
Di sekolah siswa perlu disadarkan tentang harapan yang mereka pikul, tantangan
yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai. Sekolah yang baik,
di mata Dryden dan Vos, adalah sebuah sekolah tanpa kegagalan. Semua murid
teridentifikasi bakat, keterampilan, dan kecerdasannya sehingga memungkinkan
mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan.
Di masa depan, proses belajar akan semakin
mandiri: diarahkan sendiri dan dipenuhi sendiri. Ini berarti siswa perlu diberi
cukup ruang untuk mengeksplorasi, bereksperimen dan mengajari dirinya sendiri.
Model pendidikan tradisional yang 'serius' dan over regulasi perlu diganti
dengan belajar 'mandiri', berdasarkan prinsip-prinsip ilmu kognitif
modern--termasuk penemuan, pemaknaan, keterlibatan penuh, dan pengujian. Dengan
model ini kecintaan belajar secara alami akan tumbuh dalam diri setiap orang.
Semangat otodidak dapat berkembang subur.
Setiap individu memiliki gaya belajar dan
gaya bekerja yang unik, maka sekolah semestinya dapat melayani setiap gaya
belajar individu. "Sebagian orang lebih mudah belajar secara visual:
melihat gambar dan diagram. Sebagian yang lain secara auditorial: suka
mendengarkan. Sebagian lain mungkin adalah pelajar haptic: menggunakan indera
perasa (pelajar tactile) atau menggerakkan tubuh (pelajar kinestik). Beberapa
orang berorientasi pada teks tercetak: membaca buku. Yang lainnya adalah
'kelompok interaktif': berinteraksi dengan orang lain" (Dryden & Vos,
2001). Semangat ini pula barangkali yang mendorong ungkapan Presiden Bush
ketika menyampaikan proposal pendidikannya di hadapan kongres, 'Education is
not to serve the system. It is to serve the children'. Pendidikan bukan untuk
melayani sistem, akan tetapi untuk melayani anak-anak.
*******************************************************
No comments:
Post a Comment