Oleh: J Drost SJ
Apakah dalam pendidikan kita ada unsur
humaniora? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu lebih dulu menjawab pertanyaan,
"Apa itu humaniora?" Yang disebut human sciences, atau humanities,
bukan humaniora. Bahkan disiplin-disiplin yang tergolong dalam human sciences
belum ada ketika humaniora dibentuk.
Dalam humaniora klasik, bahasa tidak
disebut sebagai disiplin. Maka bahasa Latin bukan unsur humaniora. Bahasa
Latin, karena perkembangan historis, merupakan bahasa yang dipakai sebagai
lingua franca, seperti halnya bahasa Melayu yang dulu merupakan lingua franca
di Indonesia. Bahkan, bahasa Latin bukan merupakan bahasa "dasar"
Bahasa yang paling tua di Eropa dan sebagian dari Asia adalah bahasa
Indo-European.
Bahasa Yunani, Celtic, Italic, Germanic,
Slavic, Baltic, dan Indo-Iranian merupakan anak bahasa. Bahasa Latin adalah
dialek dari bahasa Italic. Selain itu, bahasa Latin tidak pernah menghasilkan
karya filosofis, drama, dan literatur yang berarti.
Kebanyakan karya Latin adalah mengenai
hukum, administrasi, dan politik. Namun, karena suku Latinum berhasil merebut
kekuasaan di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara, mereka berhasil menjadikan
bahasa Latin sebagai bahasa pemerintah dengan mendesak bahasa Yunani sebagai
bahasa budaya. Karya Yunani tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin,
tetapi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan lewat Spanyol dari bahasa Arab ke
bahasa Latin.
Logika
Humaniora, yang menjadikan manusia
(humanus) lebih manusiawi (humanior), mula-mula terdiri atas gramatika, logika,
dan retorika; trivium. Pada awalnya segala tekanan diletakkan pada gramatika
yang sering dipelajari selama tiga tahun lebih. Ini terjadi karena penguasaan
bahasa Latin (bahasa studi dan pergaulan di universitas, bukan bahasa ibu para
mahasiswa) sama sekali belum cukup untuk mengkomunikasikan hasil proses
belajar. Dan apabila bahasa komunikasi tidak dikuasai secara mutlak, logika dan
retorika tidak mungkin berjalan baik. Lama-kelamaan keadaan itu diubah; logika
dan retorika ditekankan juga. Ada perkembangan dari trivium ke quadrivium:
teologi, aritmetika, musik (teori akustik) dan astrologi (sekarang disebut
astronomi).
Jadi jelas, pendidikan humaniora bukan
bahasa sebagai bahasa. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia
terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara mutlak. Logika bermaksud
membentuk manusia terdidik yang dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikan
sedemikian rupa, hingga dapat diterima karena dapat dimengerti dan masuk akal.
Retorika bermaksud membentuk manusia terdidik yang mampu merasakan perasaan dan
kebutuhan para pendengar, dan mampu menyesuaikan dirinya dari uraian dengan
perasaan dan kebutuhan itu.
Apa yang diharapkan dari humaniora zaman
sekarang ini? Sebagai bahan perbandingan, kiranya tidak salah apabila kita
dengar apa yang diharapkan dari para calon mahasiswa oleh
universitas-universitas di Jerman. Tuntutan itu dapat dipadatkan dalam satu
kata hochschulreife. Semua calon harus telah mencapai hochschulreife, artinya:
kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi
akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang
telah terbentuk.
Jadi, yang siap memulai studi di perguruan
tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan bernalarnya, yaitu dia yang kritis.
Seorang yang kritis adalah seorang yang, antara lain, mampu membedakan
macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa
terbawa perasaan, menolak perampatan-perampatan (generalisasi), tidak membeo
semboyan-semboyan, dan tidak menerima propaganda sebagai pembuktian. Unsur lain
yang perlu adalah kritik diri yang memungkinkan orang bernalar dan bertindak
objektif.
Ciri khas dari seseorang yang
"matang" masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah penguasaan bahasa
Indonesia, baik saat bertutur maupun saat menulis. Tata bahasa dan ejaan harus
dikuasai secara mutlak. Logika mencirikan segala cara berkomunikasi. Bernalar
dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa.
Matematika mengajar kita bernalar logis.
Namun, karena matematika adalah ilmu kuantitas, padahal ilmu-ilmu pengetahuan
mencakup lebih dari kuantitas, perlu juga memperoleh kematangan masuk
universitas lewat ilmu-ilmu yang lain. Yang paling menunjang dan memperluas
perolehan lewat matematika adalah bahasa. Seseorang baru bisa bernalar dan
bertutur secara dewasa, kalau dia sudah menguasai ortografi, gramatika, dan
sintaksis bahasanya sendiri.
Membaca itu semua, kita tidak heran
mendengar seorang rektor universitas di Jerman berkata, "Setiap mahasiswa
yang ingin studi kimia harus mempunyai nilai tinggi untuk matematika dan bahasa
Jerman. Nilai baik untuk bahasa Latin dan bahasa Yunani diharapkan. Tidak
begitu penting nilai-nilai fisika dan kimia." Dan, seorang rektor lain
mengatakan, "Kalau mau studi fisika, nilai untuk fisika dan kimia tidak
penting, karena fisika dan kimia akan dipelajari di sini. Akan tetapi nilai
matematika dan bahasa Jerman harus tinggi, karena nilai-nilai itu
memperlihatkan apakah calon itu pandai atau tidak."
Sementara di Indonesia, cara kita
menangani proses penerimaan mahasiswa lain sama sekali dan tidak memperhatikan
aspek itu. Kiranya, karena unsur pokok pendidikan humaniora tidak ada dalam
pendidikan kita. Oleh karena itu, sistem Jerman lebih baik diterapkan di
Indonesia.
Humaniora adalah gramatika, logika, dan
retorika. Logika dan retorika tidak dapat berkembang, karena penguasaan
gramatika bahasa Indonesia sangat lemah.
Sebab apa? Sebab mereka yang menulis, yang
berbicara, yang berkhotbah, yang memberi kuliah, yang mengajar membuat
kesalahan, yang oleh negara lain akan ditanggapi secara sinis dengan pertanyaan
apakah orang itu sudah lulus SD atau belum. Reaksi itu juga timbul di
Indonesia.
Bahasa Budaya
Dari tahun 1960 sampai tahun 1976, setiap
hari Minggu penulis pergi ke desa-desa di DIY, berkhotbah memakai bahasa Jawa.
Ketika penulis membuat kesalahan, penulis tetap dipuji karena bukan orang Jawa.
Akan tetapi, kalau seorang pastor Jawa membuat kesalahan yang sama, dia dikritik
habis-habisan.
Seorang Jawa yang telah berpendidikan
tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan itu. Dan, penulis kira itu berlaku juga
untuk semua suku bangsa.
Namun, ketika mengajar atau memberi kuliah
atau menyusun skripsi untuk ujian sarjana, mereka memakai bahasa Indonesia yang
salah, mereka dibiarkan. Karena seperti bahasa Jawa bukan bahasa penulis,
demikian pula bahasa Indonesia bukan bahasa mereka!
Untuk kebanyakan orang Indonesia, bahasa
Indonesia adalah de facto "a second language", sementara bahasa ibu
mereka sudah tidak dikuasai lagi. Itu berarti, bahasa Indonesia untuk calon
intelektual kita bukan merupakan sarana humaniora. Bagaimana logika dan
retorika bisa dikembangkan, kalau gramatika dari bahasa Indonesia tidak
dikuasai secara mutlak.
Kesimpulan penulis ialah bahwa pendidikan
humaniora modern mungkin sekali di Indonesia, asal bahasa Indonesia
sungguh-sungguh menjadi bahasa budaya kita. Kalau bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa budaya kita, kita akan mampu juga menguasai bahasa asing. Mustahil
mempelajari bahasa asing, kalau di sekolah dasar bahasa Indonesia tidak
diajarkan secara optimal.
Jadi, syarat mutlak ialah tidak ada
pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, karena mengganggu pengajaran bahasa
Indonesia. Di Eropa dan Amerika, tidak ada satu negara pun yang mengajarkan
bahasa asing di tingkat sekolah dasar.
Di kelas 1 SLTP sampai dengan kelas 3 SMU,
setiap minggu ada lima jam pelajaran bahasa Indonesia dan empat jam pelajaran
bahasa asing; paling banyak dua bahasa asing, yaitu bahasa Inggris dan satu
bahasa asing lainnya.
Itulah syarat bagi kita, orang yang
berbudaya, menguasi dua bahasa asing. Hanya ada satu kesulitan. Kalau
masing-masing bahasa asing mendapat dua jam pelajaran seminggu, mustahil dapat
belajar sebuah bahasa. Oleh karena itu penulis menganjurkan: satu bahasa asing
saja, bahasa Inggris. Dengan empat jam seminggu selama enam tahun, hasil akan
cukup memuaskan.
Source : [ kliping opini ] www.pembelajar.com
* Penulis adalah pendidik. (SP 290601)
No comments:
Post a Comment